Hobnail [1]

51 4 1
                                    

Fannie duduk bersila di depan beranda rumah paman John, dengan satu lengan mengapit boneka kesayangannya. Cahaya senja bersinar melalui celah-celah dedaunan pohon ek, dan menerangi beranda rumah pamannya. Sinarnya yang berwarna keemasan membuat Fannie terpesona dan duduk terpaku dengan wajah menengadah ke atas seolah terhipnotis oleh keindahannya. Bisikan percakapan terdengar mengalir dari dalam rumah.

“Ellen, aku senang kau dapat datang ke gereja bersama kami hari ini. Bagaimana kalau sekalian menginap saja di sini? Sekarang sudah sangat sore dan sebentar lagi hari akan gelap.”

“Tenang saja, Sally. Aku akan baik-baik saja,” jawab ibu Fannie. “Lagipula, kau tahu sendirilah bagaimana sifat Lige. Aku memang telah memasakkan makanan untuknya dan anak-anak, tapi dia pasti tetap ingin aku dan Fannie hadir di meja makan. Ditambah lagi, dia pasti ingin tahu apakah istri Sam Bosworth berhasil memaksa suaminya datang ke gereja.”

Gelak tawa pun menggema dan memecahkan lamunan Fannie. Dia akhirnya berdiri, meluruskan roknya, lalu masuk ke dalam rumah.

“Ambil syalmu, Fannie. Setelah matahari terbenam, udara akan mulai dingin.”

Saat gadis kecil itu hendak meraih syalnya yang diletakkan di atas kursi dekat perapian, pamannya datang dari belakang dengan membawa lentera.

“Bawalah ini, Ellen. Sumbunya baru, dan minyaknya sudah kuisi penuh.”

“Terima kasih, Johnny,” ujar Ellen. “Nanti akan kuminta Lige untuk mengembalikannya ketika dia pergi ke kota minggu depan.”

Ellen mencium dan mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya, Johnny, lalu memeluk Sally dengan lembut. Sambil mengusap perut Sally yang membuncit, dia berkata, “Akhir bulan nanti aku akan kembali lagi. Jangan banyak mengangkat beban yang berat. Kalau kau terus merasa mual, seduh teh mint yang kutinggalkan di dapur. Aku belum pernah melihat ibu hamil yang terus-terusan merasa mual sepertimu. Pasti bayimu laki-laki.”

Mendengar hal ini, kening Fannie jadi mengkerut. Dia terlahir sebagai anak bungsu, dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya. Karena hidup dengan empat saudara laki-laki, dia selalu berdoa kepada Tuhan agar Dia memberikan bibinya anak perempuan. Satu-satunya teman bermain Fannie hanyalah boneka yang dibuatkan ibunya. Dengan satu lengan mengapit boneka kesayangannya, dan memakai syal dengan tangan yang sama, Fannie menunggu ibunya dengan sabar. Bibi Sally mengecup pipinya dengan lembut lalu memeluknya dengan pelan. “Kalau bibi mendapatkan anak perempuan, bibi berdoa semoga nanti dia semanis dirimu,” bisik bibinya. Paman John mengusap kepala Fannie dan berkata, “Dah, anak manis. Kalau induk kucing paman sudah melahirkan, nanti paman akan memberikanmu yang tercantik.”

Hal ini membuat Fannie langsung tersenyum dan pikiran tentang anak laki-laki dengan cepat menghilang dari dalam kepalanya.

Ellen kemudian menggulung syalnya di sekitar bahu, lalu mengambil lentera yang telah dinyalakan adiknya. Dengan menggandeng tangan kanan Fannie, mereka berdua berjalan pulang ke rumah mereka yang berjarak tiga mil dari sana. Hujan deras selama sepekan terakhir telah membuat jalan tanah tidak lagi dapat dilewati dengan berjalan kaki. Ellen dan putrinya terpaksa harus melewati jalan di sepanjang rel kereta. Trek tersebut dibangun di atas tumpukan batu kerikil setinggi setengah mil sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki di musim hujan. Treknya berliku-liku melewati pegunungan dan bukit. Begitu sampai di atas jalur kereta, Fannie dan ibunya segera berjalan ke arah rumah mereka. Ellen menceritakan kepada Fannie tentang tempat-tempat yang dilalui kereta di sana. Fannie senang mendengarkan cerita ibunya tentang kota-kota besar di tempat yang jauh. Dia hanya pernah ke kota beberapa kali dan tidak pernah berjalan keluar dari Wise County. Fannie ingat papanya pernah bercerita tentang saudaranya yang bernama Jack.

Paman Jack telah pergi meninggalkan Wise County dan juga Virginia. Sekarang dia berada di tempat yang jauh bernama Kuba. Dia kini sedang berjuang demi seseorang yang bernama Roosevelt. Dia penasaran tempat seperti apa Kuba, dan apakah tempat tersebut sama seperti tempat tinggalnya sekarang.

                                  - bersambung-

Horor Thriller Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang