Pagi harinya, Bobby terbangun dan merasa aneh.
Dia duduk di pinggir ranjang sebentar, mencoba mencari tahu apa yang aneh.
Kemudian dia tersadar; energi aneh yang telah merasukinya selama sebulan terakhir ini telah lenyap. Sekarang digantikan oleh kekakuan di dalam dirinya seolah darahnya terlalu kental untuk dapat mengalir di pembuluh darahnya.
Ada pula sebuah rasa di mulutnya, sebuah rasa yang tidak mengenakkan, terasa seperti sesuatu yang busuk seolah giginya terinfeksi.
Rasanya seperti daging mayat yang manis.
Bobby lalu menyibakkan selimutnya dan berdiri, kemudian pergi ke kamar mandi dan melihat ke kaca di atas wastafel. Wajahnya menggembung, matanya muram, dia terlihat seperti orang yang mabuk berat.
Namun ada sesuatu yang amat sangat salah, mungkin karena pencahayaan di kamar mandinya.
Kulitnya berwarna kuning gelap. Bahkan putih matanya berwarna keemasan, telapaknya, kuku jarinya.
Dengan menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke toilet dan mencoba untuk buang air kecil.
Hampir satu menit berlalu. Dia membuka matanya, lalu melihat ke bawah. Dari tadi tidak ada air yang keluar.
Ada sesuatu di dalam kandung kemihnya, terasa seperti aliran cairan.
Kemudian muncullah rasa perih, perih yang sangat tiba-tiba, sangat kuat sehingga kakinya berguncang-guncang, lututnya pun menekuk. Perutnya keram, dan dia merasa seolah mengeluarkan tali yang terbuat dari api.
Dia berharap melihat darah di toilet, tapi yang dilihatnya bahkan lebih buruk dari itu.
Dia berhasil kencing, namun itu bukanlah urin yang biasa dikeluarkannya.
Itu adalah aliran keemasan kental yang bergerak perlahan seperti sirup.
Dan rasanya sangat sakit, terlalu kental untuk dapat dikeluarkan.
Cairan tersebut jatuh ke dalam toilet, lalu melingkar di dasarnya.
Saat bulir-bulir keringat mulai membasahi dahinya, baunya mulai tercium olehnya; semerbak bunga, dan manis.
Sambil bergetar kesakitan dan ketakutan, dia mencolet sebagian dengan jarinya lalu mengecapnya.
Madu… dia kencing madu.
Saat dia tersadar akan hal ini, sebuah gelombang rasa sakit membuncah di perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai toilet yang dingin.
Saat kesadarannya mulai menurun, dia teringat dengan seribu dolar yang diberikannya pada Aziz.
Dia dulu berpikir betapa murah harganya.
***
Toko permen tersebut belum buka, tapi dia tidak peduli. Dia memarkirkan mobilnya di perhentian di depan jendela kaca toko tersebut. Sambil mengintip melalui tirai di balik jendela dia tahu bahwa tokonya sudah kosong dan lampunya padam.
“Aziz!” teriaknya, sambil memukul-mukul jeruji besi di jendelanya. “Aziz! buka pintunya!”
Orang-orang yang lewat di sana semua menoleh ke arahnya. Dia tidak sempat berpakaian, jadi dia masih mengenakan celana pendek dan kaus yang dibawanya tidur semalam.
Haran dengan mata lebar membuka kunci pintunya.
“Mr. Jenkins?” tanyanya terkejut. “Ada yang dapat saya…”
“Aziz,” gumam Bobby. “Aku ingin bertemu dengannya.”
Dia menyeret tubuhnya melewati Haran yang kembali menutup pintu toko.
Bobby tersandung-sandung saat melewati ruangan yang gelap dan menabrak seluruh pajangan permen.
“Mari,” kata Haran sambil mengambil lengannya. “Biar saya bantu.”
***
Di taman, Bobby bergerak secepat mungkin menuju Aziz yang sedang duduk di meja sambil meminum kopi.
Saat Bobby mendekat, Aziz sama sekali tidak terkejut melihatnya.
“Atheeth,” teriak Bobby melalui tenggorokannya yang telah parau dan mengerut. “Apha yhang thelah khau lhakhukan phadhakhu?”
Mr. Aziz menyambutnya dengan riang, matanya berbinar-binar seperti saat pertama kali mereka bertemu.
“Anda benar-benar orang yang sangat tepat, Mr. Jenkins,” ujarnya. “Kita memang sejenis.”
Bobby kini menjadi sulit bernapas, paru-parunya seolah terisi oleh cairan kental.
“Apha?”
“Pembuat permen dan permennya. Anda tidak pernah menyadarinya?”
Bobby merasakan air mata seperti sirup merembes dari matanya, lalu bergulir di pipinya. Ketika menyentuh mulutnya, dia tidak terkejut kalau terasa manis.
“Bagian terakhir manusia permen biasanya digunakan untuk membuat manusia permen yang baru,” Aziz menjelaskan, dia kemudian berdiri dan mendekat. Dia mengambil tangan Bobby. Tangannya membengkak dan berwarna coklat keemasan.
Bobby melihat Aziz mengeluarkan belati yang membengkok dengan tajam dari jaketnya.
“Ini tidak akan sakit… tidak sedikit pun, lihat saja.”
Pisau itu masuk ke dalam dadanya dengan perlahan dan saat Bobby merasakannya masuk ke dalam tubuhnya, dia tidak merasa sakit, seperti yang dijanjikan Aziz. Dan dari luka tersebut keluarlah madu.
Samar-samar dia melihat Haran membawa kotak kayu, kemudian mereka memasukkannya ke dalam sana.
“Maaf, tapi peti kayu ini hanya untuk sementara,” Aziz meminta maaf. “Beberapa hari setelah perubahannya selesai dan Anda telah mati, kami akan menempatkanmu ke sarkofagus batu, lalu menutupimu dengan madu. Di sanalah Anda akan terendam selama setahun sebelum…”
Aziz mengulurkan tangannya lalu menyentuh pipi Bobby.
Bobby merasakan air mata menjalar turun di kedua sisi wajahnya dan terbendung di telinganya.
“Anda akan menolong banyak orang,” ujarnya, matanya besar, basah, dan terlihat hampir seperti mengasihani.
Bobby mencoba mengatakan sesuatu, untuk memohon, tapi tidak ada yang dapat keluar dari mulutnya sekarang; tidak ada kata-kata; setumpuk madu mengalir sampai ke bawah dagunya.
Aziz memberikannya senyuman terakhir. “Anda adalah pelanggan yang manis, Mr. Jenkins, mungkin yang termanis. Sekarang Anda akan menjadi permen termanis yang pernah saya buat, juga yang paling menakutkan.”
Penutup petinya menutupi wajah Bobby, dan kegelapan pun menyelimutinya, kegelapan yang tebal seperti madu.
-End-
John F.D. Taff