The Signal Man[4]

25 3 1
                                    

Suasana esok malamnya terasa menyenangkan, aku pun berjalan lebih awal untuk menikmatinya. Matahari belum sepenuhnya terbenam saat aku melintasi jalan dekat ujung pengkolan. Aku akan memperpanjang waktu jalan-jalanku selama satu jam, bantinku, berjalan pergi selama setengah jam, dan pulang selama setengah jam, lalu tibalah saatnya bagiku untuk menemui penjaga perlintasan.

Sebelum aku memulai jalan-jalanku, aku melangkah ke pinggir, dan secara otomatis melihat ke bawah, dari tempat pertama kali aku melihatnya. Aku tidak dapat mengungkapkan getaran dalam jiwaku saat aku melihat, di dekat mulut terowongan, ada penampakan sesosok manusia dengan lengan kirinya menutupi mata sambil melambaikan tangan kanannya dengan keras.

Kengerian yang menekan jiwaku berlalu dengan cepat, karena sekilas aku melihat bahwa penampakan ini memanglah seorang manusia, dan ada sekumpulan kecil orang yang berdiri tidak jauh darinya. Dia tampak seperti melatih sikap melambaikan tangannya dengan mereka. Lampu Tanda Bahaya belum menyala. Di depan palang, ada tenda kecil yang dibuat dari kayu dan terpal. Aku tidak pernah melihat tenda itu ada di sana sebelumnya. Ukurannya tidak lebih besar daripada kasur.

Dengan firasat kuat bahwa ada hal yang sangat janggal—dengan ketakutan dan rasa bersalah bahwa kalau saja telah terjadi kekacauan fatal karena aku telah meninggalkan pria itu seorang diri di sana, sehingga tidak ada orang yang dapat mencegah tindakannya—aku menuruni jalan berliku secepat yang kubisa.

“Ada apa?” tanyaku pada gerombolan orang di sana.

“Penjaga perlintasan itu tewas pagi ini, sir.”

“Maksudmu penjaga perlintasan yang posnya di sana itu?”

“Ya, sir.”

“Apa aku dapat mengenalinya?”

“Kau pasti bisa mengenalinya, sir, kalau kau memang tahu dia,” ujar pria yang berbicara mewakili yang lain. Dia melepaskan topinya dan menaikkan ujung terpal, “karena wajahnya terlihat sangat tenang.”

“Astaga, astaga, bagaimana ini bisa terjadi?” tanyaku dengan menatap satu per satu orang di sana ketika terpalnya ditutup kembali.

“Dia tertabrak kereta, sir. Tidak ada satupun orang di Inggris yang lebih tahu tentang pekerjaannya. Tapi entah kenapa saat itu dia malah berada di pinggir rel. Kejadiannya terjadi pada tengah hari. Dia menyalakan senter dan memegangnya di tangan. Saat kereta muncul dari dalam terowongan, dia tampak memunggunginya, dan kereta itu pun menabraknya. Masinis yang mengemudikan kereta menjelaskan kejadiannya. Ceritakan padanya, Tom.”

Seorang pria yang mengenakan pakaian hitam kasar melangkah maju dari tempatnya berdiri di mulut terowongan.

“Kereta datang dari tikungan di dalam terowongan, sir” ucapnya, “dan aku melihat dengan jelas pria itu berdiri di ujung terowongan. Tidak ada waktu untuk mengecek kecepatan kereta, dan aku tahu dia orang yang selalu berhati-hati. Karena dia kelihatannya tidak mengindahkan peluit kereta, maka kumatikan peluitnya ketika kereta sudah dekat dengannya, dan aku pun bereteriak padanya sekencang mungkin.”

“Apa yang kau teriakkan?”

“Aku beretriak, ‘Yang di bawah sana! Awas! Awas! Ya Tuhan, minggir!”

Aku terkejut mendengarnya.

“Ah, waktu itu sungguh mengerikan sekali, sir. Aku tidak henti-hentinya berteriak padanya. Aku menutup mata dengan lenganku ini karena tidak sanggup membayangkan apa yang akan kulihat, dan kulambaikan tangan ini sekencang-kencangnya, tapi itu semua sia-sia.”

Tanpa bertele-tele untuk membuat kejadian aneh ini semakin aneh, maka izinkan aku untuk menutupnya dengan menekankan kebetulan yang terjadi; peringatan dan gerakan si masinis, yang ditirukan oleh penjaga perlintasan kepadaku untuk menceritakan hal yang menghantuinya, juga sikap meratap sambil bersandar di tiang lampu yang aku—bukan dia—tambahkan ke sikap yang ditirukannya.

-End-
Charles Dickens

Horor Thriller Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang