Kini giliran aku yang melangkah mundur. Tapi sekilas aku melihat di matanya ada ketakutan terpendam padaku. Hal ini melenyapkan pikiran burukku.
“Kau melihatku,” ucapku dengan memaksakan senyuman, “seolah kau sangat ketakutan padaku.”
“Aku hanya penasaran,” jawabnya, “apakah aku pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
“Di mana?”
Dia menunjuk lampu merah yang tadi diperhatikannya.
“Di sana?” tanyaku dengan heran.
Sambil memperhatikanku lekat-lekat, dia menjawab (tapi hampir tanpa suara), “Ya.”
“Teman baikku, memangnya apa yang kulakukan di sana? Lagipula aku tidak pernah ke sana, sumpah.”
“Kurasa aku pernah,” sanggahnya. “Ya, kurasa aku memang pernah bertemu denganmu.”
Sikapnya kemudian menjadi lebih sopan sepertiku. Dia menjawab semua ucapanku dengan sigap dan kata-kata yang dipilih dengan baik. Apa dia sibuk di sana? Ya. Itu pasti, dia mengemban tanggung jawab yang cukup besar, tapi pekerjaan yang sebenarnya lebih menuntut ketepatan dan ketelitian darinya. Tidak ada pekerjaan lain yang lebih melelahkan daripada ini. Yang ada dalam kepalanya hanyalah mengganti sinyal, memosisikan lampu, dan memutar gagang besi untuk mengubah jalur kereta. Menurutnya dia sudah terbiasa menghabiskan jam kerjanya yang panjang dalam kesendirian, dan semua itu sudah membentuk menjadi sebuah rutinitas dalam kehidupannya. Dia bahkan belajar bahasa asing di sini—jika saja mengetahui sepintas lalu, dan membuat-buat sendiri pengucapannya dapat dikatakan sebagai belajar. Dia juga belajar pembagian, hitungan desimal, dan sedikit aljabar. Tapi semenjak kecil nasibnya sudah memprihatinkan. Apa dia memang perlu untuk selalu berada di terowongan lembab tersebut selama menjalankan tugas, dan apakah dia tidak boleh memanjat dinding batu yang menjulang tinggi di sana untuk menikmati cahaya mentari? Tentu saja boleh, tapi itu tergantung waktu dan kondisi. Dalam situasi tertentu, tidak ada banyak pekerjaan yang dapat dilakukannya di atas rel, dan kesempatan itu biasanya dapat muncul di jam-jam tertentu di siang dan malam hari. Jika cuaca sedang cerah, dia terkadang mendaki ke atas, keluar dari kegelapan di bawah. Namun bukan berarti dia dapat sepenuhnya bersantai, karena dia wajib menjawab semua panggilan yang datang dari lonceng listriknya, dan terkadang dia menunggu loncengnya berdering dengan sangat was-was. Jadi, walaupun dia memiliki kesempatan untuk bersantai, dia tidak dapat sepenuhnya lega.
Dia membawaku masuk ke dalam posnya yang memiliki perapian, meja yang di atasnya terdapat sebuah buku untuk menulis catatan, alat telegraf dengan tombol, layar, jarum, dan lonceng kecil yang tadi telah disebutkannya. Aku berkomentar bahwa dia adalah orang yang berpendidikan (kuharap caraku mengatakannya tidak membuatnya tersinggung), bahkan mungkin terlalu berpendidikan untuk bekerja sebagai penjaga rel kereta api, dan kepandaiannya ini sulit ditemukan di antara orang-orang yang pekerjaannya hanya mengandalkan fisik. Dia setuju denganku. Menurutnya tidak ada orang yang seperti dirinya di antara para buruh, polisi, dan bahkan yang paling mencolok, tentara. Begitu juga di antara staff kereta api lainnya. Katanya, ketika dia masih muda, dia pernah menjadi mahasiswa filosofi alam dan menghadiri perkuliahan (tapi aku tidak begitu percaya dengan ini), namun dia bertindak liar, menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya, dan terperosok jatuh tanpa sanggup berdiri lagi. Dia tidak ingin mengeluh tentang itu. Dia telah menuai apa yang ditanamnya. Sudah terlambat baginya untuk menanam benih lain.
Yang dapat kulakukan hanyalah mendengarkan kisahnya dengan penuh perhatian. Selagi bercerita, tatapannya yang serius terbagi antara aku dan perapian. Dia mengucapkan kata, “Sir,’ dari waktu ke waktu, khususnya ketika dia berkisah tentang masa mudanya—seolah dia ingin agar aku mengerti bahwa dia dulu sama sekali tidak seperti apa yang kulihat sekarang. Beberapa kali kisahnya disela oleh deringan lonceng yang membawa pesan untuk diartikannya, dan dijawab segera. Sekali waktu dia harus berdiri di ambang pintu, mengibarkan bendera ketika kereta melintas, dan melakukan komunikasi verbal dengan sang masinis. Ketika sedang bekerja, aku perhatikan dia sungguh teliti dan waspada. Jika sedang di tengah kalimat, dia menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu, lalu diam tak bergeming sampai apa yang sedang dikerjakannya selesai.
Singkatnya, dia adalah orang yang sangat cocok untuk menjalankan pekerjaan seperti ini, tapi sudah dua kali dia berbicara padaku dengan wajah pusat pasi, menoleh ke lonceng kecil ketika TIDAK sedang berdering, membuka pintu pos (yang ditutup rapat untuk mencegah udara lembab masuk kemari), lalu melihat lampu merah yang berada di mulut terowongan. Pada kedua kejadian tersebut, dia selalu kembali duduk di samping perapian yang letaknya jauh dari tempat dudukku dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
Ketika aku berdiri dan hendak meninggalnya, aku berkata, “Kau membuatku merasa seperti telah bertemu dengan orang yang bahagia.”
(Harus kuakui bahwa aku mengucapkannya untuk sekedar menyenangkan hatinya.)
“Ya, dulunya aku memang begitu,” ucapnya setelah dia tersadar kembali, namun suaranya masih sangat pelan seperti saat pertama kami bertemu, “tapi sekarang ada banyak hal yang merisaukanku, sir.”
Kalau dia bisa, dia pasti sudah mengatakan apa itu yang membuatnya risau. Namun karena sudah terlanjur tidak dikatakan, aku harus cepat balik bertanya padanya.
“Apa yang membuatmu risau?”
“Sulit untuk dijelaskan, sir. Amat sangat sulit untuk dikatakan. Jika kau mengunjungiku lagi di kemudian hari, maka saat itu akan kukatakan padamu.”
“Tapi aku memang berniat untuk mengunjungimu lagi. Kira-kira kapan?”
“Jam kerjaku selesai di pagi hari, dan mulai kembali bekerja jam sepuluh esok malam, sir.”
“Kalau begitu aku akan datang jam sebelas.”
Dia berterima kasih padaku dan menemaniku sampai ke pintu. “Akan kuterangi jalanmu, sir,” ujarnya dengan suara pelan yang aneh, “sampai kau menemukan jalan ke atas. Ketika sudah ketemu, jangan berteriak memanggilku! Dan kalau kau sudah sampai di atas, jangan teriak juga!”
Sikapnya membuatku merasa tempat ini menjadi lebih mencekam daripada sebelumnya, tapi yang bisa kuucapkan hanya, “Baiklah.”
“Dan kalau kau ingin turun besok malam, jangan berteriak memanggilku! Ada yang ingin kutanyakan sebelum kau pergi. Kenapa kau tadi berteriak, ‘Hei, yang di bawah sana!’?”
“Entahlah,” ujarku. “Sepertinya aku juga meneriakkan sesuatu yang lain—“
“Tidak ada kata lain, sir. Hanya itulah kata-kata yang kau teriakkan. Aku masih ingat dengan jelas.”
- bersambung-