Hobnail [2]

38 3 0
                                    

Sinar mentari kini telah terbenam sepenuhnya di balik pepohonan yang berbaris menyelimuti gunung. Kegelapan mulai merayap dari rimbunan pepohonan di sekeliling jalur kereta. Suara gemerisik semak-semak membuat Fannie terkejut setengah mati, namun suara ibunya yang menenangkan mengusir rasa takutnya.

“Tidak apa-apa, nak. Hanya rubah dan tupai.”

Teriakan suara burung hantu yang menggema dari dalam kegelapan membuat Fannie mengencangkan genggaman tangan yang digandeng ibunya.

Malam akhirnya menyelimuti seluruh tempat tersebut, dan satu-satunya yang dapat terlihat hanyalah cahaya lentera dan bayangan mereka sendiri. Bulan tak menghiasi malam, dan kerlipan cahaya bintang bersinar redup di antara gerakan awan. Fannie tersandung oleh kerikil yang berserakan di landasan rel kereta. Ellen baru tersadar bahwa putrinya kelelahan.

“Istirahatlah sebentar, anak manis. Setengah mil lagi kita akan tiba di rumah.”

Ellen meletakkan lenteranya di bawah. Mereka lalu mencari posisi duduk yang nyaman di atas bantalan rel.

“Mammy, aku takut gelap. Apakah Tuhan akan menjaga dan melindungi kita?”

“Ya, Fannie. Ingat apa yang dikatakan oleh pendeta di gereja tadi. ‘Tuhan yang Maha Pengasih akan selalu bersamamu, dan jika kau membutuhkan-Nya, maka sebutlah nama-Nya’. Atau kalau mau yang lebih baik lagi, lakukan seperti apa yang dulu sering ibu lakukan.”

“Apa itu, Mammy?”

“Ibu menyanyikan salah satu himne kesukaan ibu.” Ujar Ellen sambil mengelus rambut putrinya.

Ketika Fannie sedang merenungkan nasehat ibunya, dia dikejutkan oleh sebuah suara. Suara tersebut datang dari arah datangnya mereka, dan matanya menyisir ke dalam kegelapan yang pekat. Suara itu sunguh pelan, tapi tidak seperti suara apapun yang pernah didengarnya. Suara tersebut seperti suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekati mereka.

“Apa Mammy mendengarnya?”

“Mendengar apa, sayang?”

Fannie bergeser lebih dekat dengan ibunya dan berkata, “Suara seseorang yang berjalan mendekat!”

Ellen mendekap putrinya dan menjawab, “Itu hanya khayalanmu saja, Fannie. Kita sudah cukup istirahat. Ayo, jalan lagi. Nanti ayahmu cemas.”

Ellen mengambil lentera, dan menggandeng tangan Fannie. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa saat kemudian, suara yang membuat Fannie ketakutan kini terdengar lagi. Suara langkah kaki tersebut semakin jelas dan lebih dekat. Suara hentakan sepatu but yang berat menggema dari dalam kegelapan.

“Mammy, aku mendengarnya lagi!”

“Jangan teriak, nak.”

Ellen kemudian mengayun-ayunkan lenteranya.

“Lihat, tidak ada apa-apa, ‘kan?”

Fannie mengencangkan genggaman tangannya dan mengapit bonekanya dengan lebih kencang. Teriakan burung hantu menggaung dari kejauhan, dan angin malam membuat dedaunan bergemerisik.

“Masih ada bau hujan di udara,” ujar Ellen. “Angin juga hanya berhembus sedikit kencang. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah, sayang. Di sana belokan terakhir.”

Fannie merasa tenang mendengar suara ibunya, namun dari balik kegelapan di belakang mereka, suara langkah sepatu but semakin keras.

“Mammy, suaranya semakin dekat!”

Ellen mengayunkan lenteranya lagi dan berkata, “Nak, tidak ada apa-apa di sana. Begini saja, ayo kita bernyanyi ‘Tuhan yang Maha Mulia’”

Fannie bernyanyi bersama ibunya, tapi suaranya gemetar karena ketakutan saat suara langkah kaki tersebut semakin dekat. Dia tidak mengerti kenapa ibunya terlihat tidak tahu menahu dengan suara tersebut.

Nyanyian Ellen semakin kencang, dan di depan sana, sinar lampu rumah mereka mulai terlihat berkedip-kedip dari balik pepohonan. Saat mendengar gonggongan anjing di kejauhan, mereka berhenti bernyanyi.

“Lihat, nak? Kita hampir sampai. Tinker akan berlari menyambut kita. Dia dulu pernah mengejar harimau hutan. Dia akan memastikan kita sampai di rumah dengan selamat.”

“Kalau begitu, ayo kita berjalan lebih cepat, Mammy. Apa Mammy tidak dengar? Aku takut. Suara itu semakin dekat. Ayo kita lari!”

“Baiklah, nak, tapi lihat sendiri, ‘kan? Tidak ada apa-apa di sana.”

Ellen sekali lagi mengayunkan lenteranya dan ketika mereka semakin dekat dia berteriak, “Tinker! Ayo kemari!”

Tinker, sang anjing, segera berlari mendekati Fannie dan Ellen. Mereka berdua hampir bertabrakan dengan Tinker saat mereka berjalan turun dari jalur kereta.

“Ellen, apa itu kau?”

Hati Fannie membuncah gembira saat mendengar suara ayahnya dari dalam kegelapan.

“Ya, Lige. Maaf kami pulang larut. Kurasa aku berjalan agak cepat sehingga Fannie kelelahan.”

Elijah mengangkat putrinya, lalu menggendongnya sampai ke rumah mereka. Ketika sudah berada di dalam rumah, Ellen membantu Fannie melepaskan bajunya dan membawanya ke tempat tidur.

Suara percakapan orang tuanya terdengar dari arah dapur. Bahkan suara dengkuran kakak-kakaknya yang tidur di kamar sebelah membuat Fannie tersenyum dan bersyukur karena dia dan ibunya dapat sampai di rumah dengan selamat. Sebelum terlelap, Fannie mendengar suara ibunya.

“Lige, tadi aku mendengar suara langkah kaki seseorang. Aku tidak ingin membuat Fannie ketakutan, jadi aku tetap bernyanyi dan mengayun-ayunkan lentera dan mengatakan pada Fannie bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi Lige, tepat sebelum kami turun dari jalur kereta, aku mengayunkan lentera untuk terakhir kalinya. Saat itulah aku melihat siapa yang sedang mengikuti kami. Aku melihat sosok seseorang. Seorang manusia tanpa kepala!”

-End-
Crystal Arbog

Horor Thriller Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang