“Mungkin kau sedang diet?” Tanya bosnya.
“Ya, hanya sekedar diet.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Oke, kalau begitu, jaga dirimu. Kau sangat berharga.” Bobby maupun bos-nya tidak tahu betapa benarnya perkataan itu.
***
Tubuh Bobby gemetaran saat dia tiba, dia tidak tahu apakah itu bentuk antisipasi atau fakta bahwa setiap molekul di tubuhnya bergetar dengan frekuensi yang sangat cepat.
Haran membukakan pintu untuknya, membimbingnya ke taman di atas atap. Malam itu sangat dingin, musim panas mulai beralih menjadi musim gugur. Matahari sudah turun di kaki langit, membuatnya sewarna mawar. Tepat seperti di mimpinya, Mr. Aziz sedang duduk di meja.
“Saya senang Anda datang kemari,” sahutnya, lalu mendekat untuk memeluknya. Bobby menerima pelukannya, merasa kebingungan, lalu memeluknya juga. Dia dapat mencium aroma sisa cukurannya.
Aziz mengajaknya untuk duduk, lalu menyuruh Haran pergi agar mereka dapat berbincang berdua. “Jadi, Anda sudah siap?”
“Ya, sangat.”
“Bagus sekali. Kalau begitu, mari kita mulai.”
“Kau ingin aku membayarmu sekarang? Aku membawa uangnya.” Bobby lalu mengeluarkan sebuah amplop putih polos.
Lagi-lagi Aziz terlihat terkejut. “Oh, ya, baiklah.” Dia mengambil amplop tersebut dan menaruhnya dengan sangat cekatan seperti seorang pesulap ke saku di dalam setelan gelapnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku yang sama lalu menaruhnya di atas meja.
“Bagian terakhir dari manusia permen.”
Kotak itu terlihat sederhana dan seukuran kotak korek api. Bobby menyentuh permukaan besi kotak tersebut, kemudian menaruhnya di telapak tangan, lalu mengangkatnya. Dia membuka penutupnya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk dapat mengetahui dengan jelas apa yang dilihatnya.
Bersarang di dalam kotak tersebut adalah benda yang telah berkerut seukuran permen karet.
Kuku yang masih menempel di sana membuktikan bahwa itu adalah ujung jari manusia.
Warnanya coklat keemasan, sewarna masakan Prancis yang dimasak dengan baik. Kukunya sedikit lebih panjang daripada jarinya, namun telah melunak dan lembut di ujungnya.
Aromanya sangat tajam; manis dan aromatis, semerbak bunga dan terasa sedikit tajam.
Bobby sangat terkejut sampai membuatnya mengeluarkan air liur.
Dia menyentuh jari tersebut sebentar. Rasanya lembut, tapi tidak seperti jelly; lembab tapi tidak basah; lengket tapi tidak merekat.
Dia mengangkatnya dari kotak sampai ke hidungnya.
Aromanya memabukkan, tercium olehnya semua aroma dari permen yang pernah dimakannya selama ini—coklat, licorice, almond, dan karamel.
Hampir tanpa ragu-ragu ia membuka mulutnya, menaruhnya di atas lidah, lalu menutup bibir dan matanya.
Dia tidak bergerak, tidak pula mengunyah, hanya membiarkannya di lidahnya sampai meleleh.
Rasanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Permen tersebut menghangatkan mulutnya, mengirim aliran rasa lezat ke seluruh permukaan lidahnya, aliran rasa madu, namun juga rasa yang lebih mendasar.
Daging… iya, benar… daging.
Perutnya mungkin ingin memaksanya untuk memuntahkan ujung jari tersebut ke atas meja, tapi tidak, dia tidak melakukannya karena rasanya amat sangat lezat.
Rasanya merupakan campuran dari berbagai macam rasa; rasa manis, rasa asin, rasa lezat…
…dan tidak ada lagi… tidak ada lagi yang terasa seperti ini sebelumnya.
Kemudian dia menggigitnya, dan daging tersebut berpindah, menempel di bawah giginya dengan rasa seperti tekstur karamel; awalnya padat, namun kemudian melunak.
Matanya masih tertutup, dia mengunyah. Mulutnya dipenuhi liur dan dia berusaha agar tidak menelannya, kalau dia menelannya, maka ini semua akan berakhir dengan cepat.
Kemudian semua itu benar-benar selesai saat potongan terakhir tersebut turun melalui tenggorokannya. Ada rasa daging busuk yang bertahan sebentar. Namun itu tertutupi oleh ledakan aroma bunga yang manis—rasanya seperti kembang gula.
Kemudian dia berpikir, berpikir di saat-saat terakhir tersebut, bahwa seperti inilah rasa bunga yang dirasakan oleh lebah yang membuat madu; sari madunya, kemurniannya, dan terasa manis oleh aromanya.
Dia menelan bagian akhirnya, kemudian melihat Mr. Aziz.
Ada air mata turun dari matanya.
“Terima kasih… ya, Tuhan… terima kasih.”
“Terima kasih,” Aziz balik tersenyum kepadanya. “Anda tidak dapat membayangkan betapa bahagianya saya saat ini.”
Bobby tidak tahu lagi jam berapa sekarang, dia tidak tahu sudah berapa lama dia duduk di sana.
“Aku merasa… tidak ada lagi yang dapat melebihi pengalaman ini. Seolah ini adalah akhir untukku dan semua makanan manis.”
“Oh,” Aziz tersenyum, kemudian mengambil kembali kotaknya, lalu menutupnya dan menaruhnya kembali di dalam saku jaketnya. “Kalau saya jadi Anda, saya tidak akan mengatakan itu.”
-bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Thriller Short Story
Misterio / SuspensoKumpulan cerita horror mengerikan