10 Tahun

2K 55 0
                                    

Pukul 3 pagi. Aku terbangun dari tidurku karena kudengar suara berisik di dapur. Tiba-tiba sepi, hanya suara putaran baling-baling kipas angin yang tersisa.

Perutku berbunyi, semalam, aku belum makan karena tertidur. Kuangkat selimutku, lalu melangkah menuju dapur berharap masakan Ummi belum basi. Udara sangat dingin, menyesal aku menyalakan kipas angin semalaman.

Mataku yang masih remang-remang menyapu sepanjang jalan menuju dapur. Ternyata Ummi sedang memasak, pantas saja tadi berisik.

"Sudah bangun kau, Al." sapa Ummi dengan wajah sumringah.

"Iya, Ummi, laper. Masakan semalam sudah basi, Mi?" ujarku.

"Ummi kasih makan ayam, salah kau sendirilah tak makan. Tunggu kejap, kebetulan Ummi masak lagi." ujar Ummi.

Ummi mengambil 2 porsi nasi yang baru matang. Uap panasnya masih jelas terlihat saat diletakkan di piring. Kemudian, Ummi menyalakan kompor. Tak lama, bau tumisan bawang mulai semerbak. Ummi menumis semua bahan masakannya, lalu menambahkan nasi yang diambilnya tadi. Ini yang kesekian kalinya Ummi memasak nasi goreng saat jam 3 pagi.

Ummi menamakannya Nasi Gojagi, karena nasi ini digoreng jam 3 pagi. Ummi memang suka menamai masakannya sendiri. Tak kurang 10 menu di warung makan Ummiku sering menggelikan pelanggan karena namanya yang aneh. Terakhir kali, Mbah Sumo (mbah : orang yang sudah tua) makan menu baru sambil tertawa karena Ummi menamakan menunya Pizza yang artinya pisang zamrud (hijau).

"Akhirnya orang kampung bisa makan makanan Italia. Cuma, yang ini bentuknya tidak bulat dan rasanya seperti pisang mentah." celoteh Mbah Sumo diiringi tawa seisi warung.

Orang-orang kampungku memang punya kebiasaan aneh. Salah satunya, makan pisang mentah. Mbah-mbah kampungku selalu bilang kalau makan pisang mentah bisa membuat kita kuat dan cerdas. Entah, aku tidak tau kebenarannya, kurasa ilmuwan perlu meneliti hal ini.

Aku dan Ummi menyantap Gojagi kami. Walau sudah biasa aku menemani Ummi makan Gojagi, tetap saja makan bersama Ummi selalu menjadi cerita tersendiri buatku karena tak setiap hari aku bangun jam 3 pagi.

"Ummi !?" panggilku sambil menelan sesendok Gojagi.

"Ya, ada apa Al?" tanya Ummi.

"Ummi kelihatan semangat hari ini. Ada apa?" tanyaku, heran.

"Oh, itu, esok ni Ummi nak pergi ke rumah Cik Sal. Cik Sal kata, nak buka warung baru di daerah Manggas. Kau bantu Lek Sopa jaga warung ya." jawab Ummi dengan sedikit logat Melayu yang masih kental.

Ummiku keturunan Suku Banjar, tapi walau sudah tinggal 10 tahun di Jawa, logat Melayu Ummi masih melekat di lidahnya.

"Yah, Ummi, Ali mau main ke kampung sebelah sama Kolil." jawabku, mengeluh.

"Ide bagus itu, kau ajak si Kolil tu temani kau. Habiskan Gojagi kau, cepat. Dah nak shubuh ni." ujar Ummi, sambil membereskan piring karena sebentar lagi sudah waktu shubuh.

***

"Hei Lai, kita jadi main ke kampung sebelah tak?" tanya Kolil saat bertemu aku di jalan.

"Aku tak bisa, Koy, lebih baik kau bantu aku jaga warung Ummi saja." jawabku.

"Macam mana lah kau, Lai, kemarin kata mau main, sekarang malah kau suruh aku jaga warung pula." ujar Kolil.

"Ayolah, Koy. Kalau kau pulang, Bang Sihol, bapak kau itu akan menyuruh kau bantu-bantu dia, dan pastinya lebih banyak." bujukku.

"Ada benarnya juga kau, Lai, untuk kali ini, aku bantu kau, tapi minggu depan, kita main ke kampung sebelah." tuntas Kolil.

Aku dan Kolil adalah sahabat dekat. Kami juga punya banyak kesamaan. Ayah Kolil, Bang Sihol, adalah Batak tulen. Sedangkan ibunya, Lek Sarini, adalah orang Jawa asli. Hampir mirip Ayah dan Ummiku yang merupakan Jawa asli dan Banjar asli.

Konon katanya, Bang Sihol jatuh cinta pada Lek Sarini karena disambar petir. Aku tidak tau kebenarannya, bahkan orang kampung pun tak ada yang berani bertanya pada Bang Sihol. Kolil pun tak pernah menanyakannya, mungkin ia tidak ingin bapaknya marah bila tau orang kampung membicarakannya. Cerita ini menyebar dari mulut ke mulut dan menjadi bahan candaan orang kampung. Kata Mbah Sumo, dulu, ayah dan ibu Kolil bermusuhan karena masalah wilayah tanah. Ketika perselisihan semakin sengit, Bang Sihol membuat batas garis di tanah itu. Tetapi, tiba-tiba petir menyambar ketika Bang Sihol membuat batasnya, hingga membuat bekas luka seperti lambang petir di lengan Bang Sihol. Sejak saat itu, Bang Sihol lupa kalau Lek Sarini itu musuhnya dan berbalik tergila-gila pada Lek Sarini. Orang kampung sering berkata kalau bekas petir itu hilang dari lengan Bang Sihol, maka tanah di rumah Kolil akan terbelah dua alias Bang Sihol dan Lek Sarini akan bermusuhan lagi.

Orang kampung menjuluki Kolil sebagai "Putra Petir", julukan yang sangat aneh namun keren. Terlebih, namanya pun sudah sangat aneh. Sebagai keturunan campuran Jawa dan Batak, nama Kolil tidak lazim di telinga Jawa atau Batak. Sifat Bang Sihol dan Lek Sarini yang keras kepala tetap tidak hilang meski masalah sengketa tanah telah usai. Kata Kolil, namanya memang sengaja dibuat aneh karena Bang Sihol dan Lek Sarini sama-sama ingin Kolil dinamai khas kesukuan. Awalnya, Kolil akan dinamai Togar yang khas Batak, atau dinamai Sapto yang khas Jawa. Akhirnya, Bang Sihol dan Lek Sarini berdamai sekali lagi, kali ini dalam persoalan nama dan memilih mengambil jalan tengah.

Pada umumnya, orang Jawa memanggil seseorang dengan satu suku kata, misalnya Ummi yang memanggil aku, Al. Dulu, aku memanggil Kolil, Kol, dan ia memanggilku, Li. Nama panggilannya tentu saja sangat aneh, karena itu adalah nama sayuran. Sekarang, aku dan Kolil punya panggilan akrab, aku memanggil Kolil, Koy, agar lebih enak terdengar dan ia memanggilku, Lai, dalam rangka ikut-ikutan.

***

"Hahahaha." seisi warung tertawa karena kelakar Mbah Sumo, pagi ini.

"Assalamu'alaikum." aku dan Kolil memberi salam saat masuk ke warung.

Seisi warung menjawab salam kami, Lek Sopa yang pertama. Lek adalah panggilan orang Jawa untuk paman/bibi yang lebih muda dari orangtua kita. Sedangkan untuk yang lebih tua, orang Jawa memanggilnya Dhe. Lek Sopa adalah orang yang membantu Ummi di warung. Mereka sudah menjalankan warung ini bersama sekitar 2 tahun, dan ternyata tidak disangka usaha warung makan begitu laris di kampung kami. Ummi juga punya satu warung lagi di daerah Jaruk, tapi yang ini berkongsi dengan Cik Sal.

"Ummimu kenapa belum datang, Al?" tanya Lek Sopa.

"Anu, Lek, Ummi pergi ke rumah Cik Sal, katanya mau membahas buka warung baru di Manggas. Ummi berangkat shubuh tadi, jadi tak sempat mampir. Kata Ummi, Ali disuruh bantu Lek Sopa, ada Kolil juga mau membantu dengan ikhlas." jawabku, dengan penekanan intonasi di kata ikhlas.

Kolil yang mendengar jawabanku tersenyum kecut dengan sedikit mata sinis ke arahku.

"Ya sudah, kau bantu Lek melayani pesanan, Kolil, kau bantu cuci piring di belakang." perintah Lek Sopa.

Seketika, senyum kecut Kolil berubah menjadi masam di seluruh muka.

***

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang