Lai?

151 8 5
                                    

Angin berdesir lembut ditengah suara bising Kota Solo yang mulai ramai dengan aktivitas penduduk. Aku menuruni anak tangga satu demi satu dari ruang sholat kembali ke aula menunggu hasil perlombaan.

Aku berhenti sejenak menghela nafas. Lalu duduk di tangga itu sambil menatap sekitar. Lagipula Ustadz Zam mungkin masih lama dalam 'suasana' tadi. Sedangkan Kolil, mungkin sedang 'bersemedi' dalam kamar mandi karena kebanyakan makan, hahaha.

"Hoi, ayo Ali." ujar Ustadz Zam mengagetkanku.

"Eh, Ustadz, kok cepet." ujarku dengan sedikit senyum sambil melihat wajah Ustadz Zam yang masih sembab setelah menangis tadi.

Aku duduk kembali ke tempat semula di samping Ustadz Zam. Tidak lama berselang Kolil datang dengan membawa makanan ringan.

"Wah gila kau, Koy. Ku kira kau tak nampak sebab sakit perut banyak makan. Malah kau bawa makanan lagi sekarang." ujarku heran.

"Santai saja lah, Lai. Perjalanan tadi itu bikin perut aku kosong. Lapar terus aku sejak tadi. Ustadz, kita jadi makan ya habis acara ini?" tanya Kolil pada Ustadz Zam.

"Sabar, ini 5 menit lagi pengumumannya." jawab Ustadz Zam.

"Bukan main kau, Koy." ujarku heran.

Aula kembali ramai oleh para hadirin yang selesai menunaikan sholat. Tidak berselang lama, pembawa acara naik ke atas panggung membawa secarik kertas berisi nama-nama para juara. Para hadirin antusias menunggu hasil lomba tetapi entah kenapa aku tidak begitu.

Mataku menyapu sekeliling, tidak kudapati gadis itu sejauh mata memandang. Memang sulit rasanya disini membedakan dia dengan semua akhwat yang hadir. Namun entah kenapa ada sesuatu yang familiar dengannya, rasanya seperti kami pernah bertemu. Mungkin saja hatiku hanya ingin memastikan apakah dia gadis yang sama dengan yang kutemui dulu.

"Alhamdulillah. Kau menang Lai, menang." ujar Kolil sambil menepuk pundakku dengan agak keras.

"Eh, menang apa?" sahutku kaget.

"Macam mana kau ini, kok menang apa. Udah, maju sana, kau juara 2 ni." balas Kolil dengan gaya bicaranya yang khas penuh semangat.

"Oh, iya iya, kurang fokus hehehe." jawabku dengan cengengesan.

Aku berdiri dari kursi, berjalan beberapa langkah mencari jalan menuju panggung. Aku berhenti ditengah langkahku.

"Bukannya yang diambil cuma satu pemenang? Gimana ceritanya ada juara 2." ujarku dalam hati.

Aku menengok ke arah Kolil dan ternyata ia sedang tertawa terbahak-bahak. Ustadz Zam juga cuma tersenyum melihatku yang sukses dikerjai Kolil. Aku kembali ke tempat dudukku dan berkata, "Ikan asin Mak Dinah kau, Koy."

"Salah siapa kau ngelamun, hahaha." balas Kolil sambil tertawa.

"Dosa, Koy, bohong itu dosa." ujarku.

"Bercanda ini, Lai, sekali-kali." balas Kolil yang masih tertawa.

"Aku menjamin rumah di surga bagi siapa yang meninggalkan debat meski ia benar, dusta meski ia bercanda, dan ..." ujarku ingin menyampaikan hadits.

"Hahaha, iya iya, jangan kau marah lah. Iya aku tau hadits itu, aku minta maaf lah." sahut Kolil memotong bicaraku.

"Terus kenapa masih ketawa kau?" balasku.

"Kan ketawa nggak dosa, Lai, hahaha." balas Kolil.

Aku justru ikut tertawa mendengar bantahan Kolil kali ini.

"Sudah sudah, kalian ini ribut terus, nggak jadi ustadz ajak makan lho." potong Ustadz Zam menyela pembicaraan.

"Hehehe, siap, ayo Tadz sekarang." ujar Kolil.

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang