Tabir Putih

678 31 6
                                    

Cukup lama aku duduk di tangga besi sambil mendengar bacaan orang yang tidak aku ketahui siapa. Selang beberapa saat, ia berhenti dan seperti berjalan untuk turun. Aku pun juga bersiap pergi karena sepertinya lomba akan segera dimulai. Aku turun ke bawah, dan kudapati Ustadz Zam dan Kolil yang sedang mencari-cari diriku.

"Kau pergi kemana, Lai, dari tadi dicari-cari tak kelihatan batang hidung kau." ujar Kolil.

"Hehehe, maaf Koy, aku tadi mencari ketenangan." jawabku.

"Ya sudah, ayo cepat turun, lombanya sebentar lagi." sahut Ustadz Zam.

Kami turun ke bawah, dan kudapati lantai satu cukup ramai saat ini. Kursi-kursi telah tertata, para hadirin telah duduk dan tirai panggung sudah dibuka. Di lantai satu masjid ini, ada sebuah aula yang cukup besar. Selain untuk kegiatan kajian, aula ini juga dipakai untuk kegiatan lomba seperti sekarang ini.

"Tadz, ini lombanya gimana?" tanyaku pada Ustadz Zam, gugup.

"Tenang saja, pesertanya 5 pasang, berarti 10 orang." jawab Ustadz, menerangkan.

"La saya sama siapa, Tadz?" tanyaku lagi penasaran.

"Nanti kalau udah selesai lombanya, saya kenalkan." jawab Ustadz Zam semakin membuatku bertanya-tanya.

Acara dimulai dengan do'a dan sambutan dari para alumni ma'had Ustadz Zam. Aku pun iseng bertanya pada Ustadz Zam, "Tadz, kenapa Ustadz nggak ngasih sambutan."

"Hahaha, nggak perlu lah, Ustadz takut terkenal. Hehe." jawab Ustadz Zam dengan gaya "sok"nya yang begitu lucu.

Lomba ini diselenggarakan dalam rangka silaturahmi alumni ma'had Ibnu Umar dari mulai angkatan pertama yaitu angkatannya Ustadz Zam hingga angkatan kelima yang baru saja lulus. Memang kegiatan ini baru pertama kali diselenggarakan, tapi kurasa persiapannya sudah sangat matang.

Acara lomba tahfidz akan segera dimulai, tiba giliran para peserta lomba bersiap. Kata Ustadz Zam, 10 peserta lomba adalah anak murid para alumni, tetapi persyaratannya harus seorang yang tidak pernah belajar di ma'had atau pesantren, tentu saja ini hal yang unik bagiku. Aku tertawa geli dalam hati, pantas saja Ustadz Zam mengajakku padahal banyak muridnya di tempat lain yang lebih pandai dariku. Yah, begitulah. Walau sejak SD hingga SMA sekarang selalu disibukkan dengan kegiatan belajar di sekolah negeri, aku selalu menyempatkan waktu untuk mempelajari al-Qur'an setiap pulang sekolah. Dulu sejak SD hingga SMP, aku belajar pada Ustadz Zam setiap sore bersama anak-anak lainnya. Hingga akhirnya, Ustadz Zam menganggapku mampu untuk membantunya mengajar.

Aku mendapat nomor giliran 3, yang berarti aku akan tampil tepat di pertengahan lomba. Pasangan dengan nomor giliran satu dipersilahkan untuk memulai. Di atas panggung telah disiapkan sebuah pembatas berukuran 2x2 meter dengan penutup kain putih disisi kiri dan depan. Aku tidak tau alasannya hingga kemudian muncullah dua orang gadis dari belakang panggung. Salah seorang dari mereka duduk di sisi kiri panggung di luar pembatas, dan salah seorang lagi di sisi kanan yang ditutupi pembatas. Gadis yang berada di sisi kanan panggung yang ditutupi pembatas memang telah meminta pada panitia lomba tentang permasalahan itu. Aku tidak tau pasti alasannya, mungkin saja si gadis tidak ingin sombong atau mungkin malu bila dilihat orang lain. Atau jangan-jangan beralasan seperti candaannya Ustadz Zam, "Ustadz takut terkenal." hahaha, tawaku dalam hati.

Mereka berdua memberi salam, dan juri mengambil undian surat yang harus mereka baca. Mereka mendapat surat al-Muthaffifin dan surat al-Humazah. Memang begitulah aturan perlombaan. Peserta akan mendapat undian yang ada di dua kotak. Satu kotak berisi surat yang tergolong pendek dan mudah, dan lainnya yang berkategori sulit dan cukup panjang.

Mereka berdua memulai membaca dari surat al-Muthaffifin terlebih dulu. Sungguh, mereka berdua membaca dengan begitu khusyu' dan saling bergantian dengan begitu padu. Ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan makhraj huruf yang mereka baca sangatlah teliti seperti telah berlatih bertahun-tahun. Aku pun teringat pada diriku. Bisakah aku memenangkan pertandingan ini, padahal aku sendiri tidak tahu dengan siapa aku membaca. Yah, setidaknya, semoga aku tidak mempermalukan diriku.

"Astaghfirullah."

Aku memohon ampun kepada Allah. Tak seharusnya bacaan Qur'anku untuk dilihat manusia. Seharusnya aku tidak peduli apa yang mereka pikir tentang bacaanku nanti. Aku menepuk dadaku dan meluruskan niatku. Inilah saatnya namaku dipanggil.

Peserta nomor satu dan dua telah selesai. Sekarang giliranku. Aku naik ke atas panggung, dan duduk di sisi kiri di luar pembatas. Aku sedikit gugup, dan fokus pandanganku pada Ustadz Zam. Ia dengan isyarat menyuruhku untuk mengambil nafas panjang. Disampingnya, ada Kolil yang terus saja meneriakkan namaku yang justru membuatku tertawa geli.

"Semangat, Lai, kau pasti bisa!" teriak Kolil saat aku berada di atas panggung.

Tibalah saatnya, seorang gadis berjalan ke sisi kanan panggung, memasuki ruang pembatas. Aku bisa mengetahuinya hanya dari suara langkah kakinya, karena aku tidak menengok ke arahnya sama sekali. Juri mengambil undian surat kami. hasilnya, kami mendapat surat adh-Dhuha dan surat 'Abasa. Kemudian, juri mempersilakan kami memulai. Selang beberapa saat, aku dan gadis itu masih terdiam karena tidak tau siapa yang harus memulai duluan. Maka Ustadz Zam memberi isyarat padaku agar aku memulai lebih dulu. Aku mulai dengan bacaan isti'adzah dan gadis itu melanjutkan dengan basmalah. Lalu kami memulai membaca surat adh-Dhuha.

Aku tersentak, sepertinya aku mengenal suaranya. Aku mencoba mengingat, dan setelah sampai di akhir ayat adh-Dhuha aku baru menyadari kalau gadis yang membaca bersamaku sekarang ini adalah gadis di lantai tiga tadi. Dia memang seorang yang tidak biasa. Walau kami belum pernah bertemu dan mengenal, bacaan kami seperti dua orang yang sudah berlatih puluhan kali. Kini, aku tidak gugup lagi. Surat adh-Dhuha selesai dan kami memulai membaca surat 'Abasa. Ayat demi ayat, membuatku semakin kagum pada bacaannya. Tentu saja, para peserta disini adalah orang yang belum pernah belajar di ma'had atau pesantren. Tapi dengan hafalan sesempurna itu, gadis itu pasti sangat rajin dalam belajar Al-Quran. 30 ayat lebih telah kami baca dari jumlah 42 ayat surat 'Abasa. Aku pun membaca ayat ke-33.

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ
"Maka apabila datang suara yang memekakkan. (Tiupan sangkakala yang kedua)"

Gadis itu melanjutkan ayat ke-34, entah mengapa suaranya terdengar sendu.

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ
"Pada hari dimana manusia lari dari saudaranya."

وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ
"Dan dari Ibu dan Bapaknya." lanjutku.

وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ
"Dan dari Istrinya dan Anak-anaknya." lanjutnya pada ayat ke-36 lalu ia menyambungnya dengan ayat ke-37.

لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
"Pada hari itu, setiap orang mempunyai urusan yang menyibukkan."

Kali ini, suaranya tercekat. Tangisnya dapat kudengar dengan jelas namun ia menahannya. Dia membaca ayat ke-37 dengan perlahan dengan sangat khusyu' lalu kulanjutkan ayat ke-38. Hingga akhirnya, kami menyelesaikan 42 ayat. Kami mengucap salam diiringi tepuk tangan hadirin. Aku sengaja tetap duduk di tempat dan menunggu gadis itu ke belakang panggung lebih dulu.

Suara langkah kakinya terdengar meninggalkan panggung. Aku menoleh ke arahnya, dan kulihat dari arah belakang ia sedang mengusap matanya yang sejak tadi menahan tangis. Ternyata, ia memakai cadar. Aku bisa melihat hal itu dari arahku memandang. Setelah ia ke belakang panggung, aku berdiri dan menuju ke belakang panggung juga. Tapi di sana tidak kudapati gadis itu, entah kemana perginya.

Sungguh, ia membuatku takjub bukan hanya pada keindahan bacaan dan kesempurnaan hafalannya. Tapi, kesungguhannya dalam memaknai firman Allah sampai membuatnya menangis. Namun, ia justru menahannya agar tidak diketahui manusia. Semoga Allah merahmatinya. Kali ini aku semakin penasaran siapa dia. Apakah dia gadis bercadar yang pernah bertemu denganku saat di Semarang, dan secara kebetulan bisa bertemu di tempat tinggalnya, Kota Solo ini.

Ah, rasanya hampir mustahil. Dari sekitar 500.000 orang penduduk Kota Solo, bagaimana bisa aku bertemu dengan satu orang yang tepat? Wallahu a'lam.

***

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang