Kunang-Kunang Pusat Kota

668 30 3
                                    

Satu semester sudah, aku, Kolil, Farida, dan teman-temanku lainnya mengarungi kesibukan kelas 2 SMA. Kini, saatnya kami menikmati libur sekolah.

Hiruk pikuk Kota Semarang rasanya mulai membosankan bagiku. Hari pertama liburan, aku dan Kolil berjalan-jalan ke Simpang Lima di Kota Semarang, kota tercinta kami ini.

Simpang Lima dapat dikatakan sebagai pusat Kota Semarang. Disebut Simpang Lima karena kawasan ini adalah jalur lalu lintas yang memiliki 5 simpangan. Layaknya Bundaran HI di Kota Jakarta, Simpang Lima juga berbentuk bundaran yang dikelilingi jalan raya yang memiliki simpangan ke lima arah. Di kawasan bundaran itulah terdapat lapangan yang cukup luas.

Bagi orang baru, berwisata di Simpang Lima ini akan sangat menyenangkan, terutama di malam hari. Ada banyak hal yang bisa dijumpai di sini saat malam hari. Pengunjung bisa melihat para bule yang bermain 'lontar bulu' di tengah lapangan. Mulai dari orang korea hingga eropa pernah aku jumpai disini. Kalaupun bosan bermain 'lontar bulu', pengunjung bisa menikmati sepeda santai. Sepeda santai adalah sepeda yang dihiasi lampu hias di seluruh bagiannya sehingga memiliki bentuk tertentu, seperti lumba-lumba, mobil, angsa, dll. Tentu saja keunikan sepeda itu dan keindahan kawasan Simpang Lima menjadi sensasi tersendiri saat naik sepeda santai.

Sebagai anak pinggiran kota, saat pertama kali aku berkunjung ke Simpang Lima, kawasan ini terlihat sangat wah di mataku. Keramaian pengunjung, kendaraan yang lalu lalang, dan gedung-gedung yang menjulang membuat kawasan Simpang Lima ini tidak salah dijuluki sebagai pusat kota. Namun, lama-kelamaan aku bosan juga karena terus berkunjung ke tempat ini.

"Aku nak pulang, Koy, bosan aku tiap libur kau ajak ke sini." ujarku pada Kolil.

"Ayolah, Lai, kita baru 5 menit di sini. Haa, esok kuajak kau ke tempat lain." jawab Kolil penuh semangat.

Entah mengapa Kolil terlihat begitu bersemangat. Tidak seperti biasanya, kali ini sepertinya Kolil punya motivasi khusus untuk datang ke sini. Benar juga tebakanku, 10 menit berselang, motivasi Kolil pun tiba.

"Wah, rupanya kau kesini karena ikut-ikutan Farida, bertuah benar kau." ujarku, kesal.

Ternyata Kolil berjanji akan mengajak Farida naik sepeda santai asalkan Farida mau memaafkannya karena kejadian di jembatan waktu itu. Sepertinya Kolil berhasil, sudah hampir jam 9 malam tapi dia dan Farida masih saja asyik menghabiskan waktu di sini. Mulai dari naik sepeda santai, hingga bermain 'lontar bulu' sudah mereka lakukan.

Hahaha, tak apalah untuk sahabatku yang satu itu aku berkorban. Aku hanya duduk di kursi pinggir lapangan, menatap kosong ke sekitar, melihat realitas kehidupan di Kota Semarang sambil sesekali melamun tentang banyak hal. Aku terhanyut dalam lamunan, hingga aku terbayang wajah gadis itu, gadis bercadar yang berjumpa denganku di surau waktu itu.

"Waa, Masnya ngelamun ya, hehehe."

Tiba-tiba wajah seseorang mengagetkanku dari depan.

"Assalamu'alaikum Masnya yang waktu itu, nggak nyangka bisa ketemu disini. Maaf ya kalau ngagetin." ujar orang itu menyapa.

Cara menyapanya memang membuatku kaget, apalagi saat aku melamun tadi. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi, rupanya dia adalah gadis yang aku jumpai di surau waktu itu.

Sejenak ketika lamunanku buyar, mata kami saling bertatapan. Darahku berdesir, syarafku mulai goncang dan tanganku bergetar. Sepasang bola mata itu begitu indah, seolah pandanganku menyelam dalam di bola matanya. Ah, aku terlalu berlebihan, lalu aku tundukkan pandanganku.

"Wa'alaikumussalam, eh Mbaknya yang dulu toh. Kok bisa ada di sini?" jawabku melanjutkan pembicaraan.

"Mmm, sebenarnya sih mau main sama temen, tapi eh dia malah asyik sendiri tu di lapangan." jawabnya sambil menunjuk ke arah lapangan.

Gadis itu lalu duduk di sebelahku. Walau tidak terlalu dekat, tetap saja itu membuatku grogi.

"Masnya haus nggak? Ini saya ada minum." tawar gadis itu.

"Mmm tidak usah Mbak, terima kasih, buat temennya aja." jawabku.

"Ahh, nggak papa Mas. Sudah, ambil aja, nanti temen saya biar beli sendiri, salah siapa saya malah ditinggal sendirian." sahutnya sambil menyodorkan es coklat gelas ke tanganku.

"Ohh ya, terima kasihhh.., Mbak." jawabku grogi.

Kami melanjutkan pembicaraan kami. Seperti dulu, obrolan dengan gadis itu sangat menyenangkan. Dia benar-benar mengubah pandanganku. Ternyata, bukan berarti seorang wanita yang bercadar itu kaku dan tidak tahu tentang dunia luar. Buktinya, dia dan aku punya kesukaan yang sama, yaitu suka jalan-jalan, hahaha.

"Loh, kita cuma berdua toh disini. Wah, kita ngobrol sambil jalan aja, Mas, biar nggak dipikir aneh-aneh." tanggapnya tiba-tiba.

"Oo iya juga. Iya Mbak, ayo." jawabku.

Kami berjalan di bundaran Simpang Lima sambil meneruskan obrolan kami. Kami membicarakan tentang banyak hal, mulai dari hobi, tempat travelling, hingga isu politik kami bicarakan, hahaha. Aku pun mulai bertanya tentang pribadinya. Ternyata, dia adalah anak dari seorang pengusaha di Semarang, tetapi dia bersekolah di Solo. Hanya sesekali dalam sebulan dia mampir ke Semarang.

Aku tidak terlalu banyak bertanya, hanya sesekali. Aku lebih banyak diam dan mendengarkannya bercerita atau bertanya. Sepanjang jalan kami mengobrol, tertawa bersama, dan hal-hal lain yang dilakukan layaknya sahabat dekat. Suara tawanya sangat lucu. Tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan juga. Walau separuh wajahnya tertutup cadar, kurasa aku bisa melihat kadang ia tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.

Tapi, tetap saja aku masih sangat kaku mengobrol dengannya. Setiap kali aku memalingkan wajahku padanya saat ia bicara, aku selalu mati kutu. Segera aku palingkan lagi wajahku dan melihat ke arah jalan. Ia juga begitu, saat mata kami tidak sengaja saling menatap.

"Wah, sudah hampir jam 10, Mas. Mungkin teman saya sudah mencari-cari saya. Saya pamit pulang dulu, mencari dia. Senang bertemu dengan Mas lagi." ujarnya.

"Oo begitu, ya sudah Mbak, terima kasih banyak. Saya juga senang bisa bertemu Mbak lagi. Mungkin lain kali kita ngobrol lagi. Hehehe." jawabku.

"Insya Allah, assalamu'alaikum." tukasnya, pamit.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." ujarku menjawab salamnya.

Gadis itu berjalan ke tengah lapangan. Walau ia di tengah kerumunan orang, mataku tetap tidak bisa melepas pandangannya.

"Oo rupanya gadis itu yang membuat kau sering melamun belakangan ini, Lai. Hahaha." ucap suara Kolil, tiba-tiba.

Aku berbalik, ternyata Kolil sendirian. Sepertinya Farida sudah dijemput dan pulang lebih dulu.

"Kau tahu rasanya jatuh cinta sekarang, Lai, rasakan, hahaha." ujar Kolil.

"Apa lah kau, Koy. Aku tak tau apa itu cinta, jadi mana mungkin aku jatuh cinta." sanggahku.

"Kau tak perlu tau apa itu cinta untuk jatuh cinta. Karena cinta tidak pernah pandang bulu saat jatuh di hati seseorang. Catat kata-kata pujangga ini, Lai. Tambahkan tulisan Kolil, Desember 2007, hahaha." jawab Kolil dengan lagak bijaknya.

"Hahaha, sudahlah, Koy. Hei, ini hampir jam 10, kita pulang naik apa?!" ujarku, panik karena tidak ada angkutan kota yang lewat pada jam 9 ke atas.

***

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang