Buku Jendela Cinta

159 8 0
                                    

Hari ini Ma'had Ibnu Umar yang semula sepi karena para santri sedang berlibur menjadi ramai dikunjungi para alumni yang menghadiri undangan reuni. Selepas acara lomba tahfidz di Masjid An-Nur kemarin, rangkaian acara silaturahmi Ma'had Ibnu Umar dilanjutkan di area ma'had.

Tentu aku dan Kolil merasa canggung tiap kali teman-teman Ustadz Zam datang dan menyalami kami. Kami pun memberanikan diri pamit pada Ustadz Zam untuk keluar ma'had sekaligus berniat keliling Kota Solo hari ini.

Solo Book Fair. Event itu pasti sudah terdengar lazim di telinga para penikmat buku. Setiap tahun ketika event ini diselenggarakan, lokasinya selalu dibanjiri para peminat buku murah meriah. Tapi jangan salah, murah tidak berarti murahan. Buku-buku yang dijual disini banyak juga hasil karya penulis terkenal. Selain itu, sebagian memang diobral dengan harga 'gila', padahal buku itu tergolong worth it untuk dibaca. Dimana lagi bisa menemukan buku setebal 156 halaman dengan harga cuma 5000 rupiah? Gila!

"Bertuah benar kita, Lai. Datang ke Solo saat ada event macam ini. Bisa baca buku gratis aku." ujar Kolil di depan jalan masuk Benteng Vastenburg, tempat pelaksanaan book fair tahun ini.

Aku dan Kolil menyusuri sepanjang jalan tempat buku-buku tertata rapi di kanan dan kiri kami. Mataku menyapu sekeliling, banyak sekali judul buku yang menarik tapi belum satu pun yang kuambil untuk kulihat isinya. Sementara Kolil, sudah dari tadi duduk dengan takzim di samping susunan buku kumpulan puisi, mengamati dengan seksama setiap bait dan keindahan diksi. Kutebak, dia pasti akan membacakan salah satu puisi itu untuk Farida saat pulang ke Semarang nanti, hahaha.

"Ali?!" suara seorang perempuan memanggilku saat aku sedang melihat kumpulan buku sejarah.

Aku berbalik, suara itu sudah aku kenal dengan baik sekarang.

"Eh, Ifa, disini juga? Sama siapa?" tanyaku.

"Sama kakak sepupu, suka baca buku juga ya kamu ternyata, hehehe. Lagi baca apa?" tanyanya sambil menengok ke susunan buku di dekatku.

"Oh enggak, ini lagi lihat-lihat aja. Tapi ya emang suka baca dikit-dikit sih. Itu bawa buku banyak amat mau dibeli semua?" tanyaku balik saat melihatnya membawa tumpukan buku dengan kedua tangannya.

"Iya dong dibeli, masa ambil gratis. Kamu kira book fair punya nenekku apa!?" jawab Laila disertai tawa kecilnya.

"Temenin aku baca buku aja yuk disana." tambahnya sembari menunjuk ke area baca buku.

Kemarin malam, aku dan Laila tidak bicara banyak. Hanya beberapa hal yang kami singgung sesekali. Mungkin karena ia mengira aku benar-benar sakit kemarin sehingga menyuruh Ustadz Zam, aku dan Kolil untuk segera kembali ke ma'had.

Tapi selepas tadi malam, gaya biacaraku dan dia sudah tidak terlalu formal lagi. Aku juga sudah bisa menghilangkan rasa grogi saat bicara dengannya. Toh dia juga sebenarnya bukan orang yang kaku dan justru lebih cerewet saat mengobrol, aku saja yang terlalu berlebihan menyikapi dia sebagai akhwat yang bercadar.

"Nih, kayaknya bagus ini bukunya. Tadi aku baca sinopsisnya menarik sih menurutku. Aku baca buku yang ini aja." ujarnya sambil menyodorkan sebuah buku berjudul 'Dari Jakarta hingga Vienna' ke arahku.

"Jadi kapan ke Semarang lagi?" ujarku sambil menyedot coklat capuccino yang kami beli di stand dekat area baca buku.

"Hehehe, soon lah ya. Kemarin-kemarin soalnya siap-siap kan buat lomba tahfidz. Sisa liburan ini deh, kalau boleh aku ajakin dong ke rumahmu. Biar lihat kampungmu yang kata kamu namanya aneh itu." balasnya.

"Hahaha oke, kutunggu lho ya kabarnya." ucapku.

"Siap, Pak. Hehehe, asyik, berarti sekaligus temenin mbolang keliling Semarang yaa." ujarnya lagi dengan nada bercanda.

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang