16 Tahun

963 30 0
                                    

Byurrr...

Kolil menyiram Farida dengan air Sungai Kanal. Farida yang kaget langsung menatapnya tajam dan spontan menyumpahi dia.
"Hihhh, kurang ajar tenan kowe, Kolil. Benar-benar kurang ajar kau, Kolil." teriak Farida.

Kolil cuma lari sambil meringis melihat wajah Farida yang memerah. Kolil tebak Farida pasti mengejarnya. Tapi Kolil tak habis akal, ia yang sedari pagi bermain di sungai sudah tentu basah kuyup, jadi sekalian saja kabur lewat sungai, pikirnya.

Kota Semarang memiliki 2 sungai yang cukup besar yang dinamakan Kali Banjir Kanal Barat dan Kali Banjir Kanal Timur. Karena namanya terlalu panjang, orang kampung kami menyebutnya Sungai Kanal saja. Walau tidak sebesar Sungai Kapuas atau Mahakam, 2 sungai ini tetaplah sungai yang tidak aman untuk dipakai berenang. Selain itu, airnya juga tidak terlalu jernih dan kadang ada hewan berbisa seperti ular.

Sungai Kanal yang melalui kampung kami ini adalah Sungai Kanal Timur. Tetap saja walau tidak aman, anak-anak kampung kami senang sekali bermain disini. Ada yang cuma berenang, ada yang bermain rakit, bahkan ada bocah yang latihan selancar angin, siapa lagi kalau bukan Kolil, hahaha. Masa kecil sahabatku itu memang selalu nyeleneh.

Byurrr...

Kolil menceburkan diri ke sungai menghindari Farida. Kolil tertawa puas seolah selamat dari mulut harimau. Kolil segera berenang ke seberang. Ia memandang ke sisi lain sungai, tidak nampak batang hidung Farida. Mungkin Farida sudah menyerah mengejar, begitu pikir Kolil.

Kolil berbalik dan wajahnya berubah murung. Kali ini, Farida tak lagi peduli. Sebetulnya, Kolil jahil pada Farida karena mencari perhatiannya saja. Ini yang kedua kalinya Farida tak lagi mengejar saat disiram Kolil. Padahal Kolil berharap Farida berlari lewat jembatan, menangkapnya, dan memukulinya seperti biasa. Aku benar-benar tak bisa membayangkan apa yang Kolil rasakan sekarang.

Akhirnya, Kolil berjalan pulang dengan gontai.

"Kau kenapa, Koy? Farida lagi? Kali ini bukan baju kau saja yang basah air sungai, tapi pipi kau juga basah air mata, hahaha. Duduklah sini." ucapku mengejek.

"Kau benar, Lai. Farida tak lagi peduli padaku. Sudah habis harapanku, Lai, sudah habis." ujar Kolil, murung.

"Tenanglah, Koy, begitulah wanita, cobalah kau mengerti mereka. Kalau kau buat jengkel Farida terus, ya jelas dia marahi kau lah. Haa, besok kau minta maaf pada Farida di sekolah." tukasku.

"Ini rumit, Lai. Kau kan tak pernah jatuh cinta, macam mana pula kau tau perasaanku. Hidup tak semudah kata-kata kau, Lai." sahut Kolil, pesimis.

"Hahaha, tapi kadang kata-kata bisa mengatasi masalah hidup, Koy. Cobalah dulu, percayalah kata sahabat kau ini." ujarku.

***

"Ida, maafkan aku lah." pinta Kolil saat mencegat Farida di depan kelas.

"Iyo, iyo. Sak karepmu. Iya, iya, terserah." jawab Ida.

Seketika detik waktu berhenti bagi Kolil. Farida tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kata terserah adalah kata yang sangat mengerikan dari seorang wanita, hahaha. Kalau seorang laki-laki mengartikan terserah sebagai 'Iya', maka yang dimaksud wanita adalah 'Tidak', begitu pula sebaliknya. Sangat sulit memahami kata terserah dari seorang wanita, bahkan tidak bisa ditemukan artinya di KBBI.

Badan Kolil lemas, seharian di kelas pandangannya kosong. Seperti tidak ada lagi matahari di matanya. Aku mulai prihatin pada Kolil, biasanya cuma kutertawakan saja dia.

Masalah cinta memang hal yang tidak mudah bagi anak SMA. Aku dan Kolil sebagai anak kampung pinggiran kota tidak terlalu mengerti soal pacaran. Bagi kami, cinta adalah hal aneh yang menarik. Cukup dinikmati saja tanpa perlu ikatan yang tidak jelas. Mungkin saja kalau hari ini Kolil sudah lulus, pasti dia akan melamar Farida, hahaha, aku tersenyum-senyum sendiri di kelas memikirkan Kolil dan Farida.

"Yak Ali, nomer tujuh silahkan dijawab?!" ujar Pak Joko, Guru Sejarah kami, tiba-tiba.

Aku yang jadi kikuk tak tau harus bicara apa. Kolil yang sedari tadi galau malah tertawa paling keras.

"Ikan asin Mak Dinah kau, Koy." umpatku.

***

Hari-hari berlalu, Kolil terlihat mulai membaik perasaannya. Begitu juga Farida, sepertinya ia hanya menganggap Kolil seperti teman sekelas, tidak lebih, ia begitu acuh tak acuh pada Kolil sekarang.

Ah, mengurusi cinta dua bujang muda tak akan ada habisnya. Sejak awal masuk SMA, Kolil sudah mengagumi Farida. Aku akui Farida memang cukup pantas bila dikagumi Kolil. Gadis itu tinggi semampai dengan kulit putih dan rambut hitam yang indah. Ditambah hiasan lesung pipi di wajahnya semakin membuat senyumnya bak pelangi di atas telaga, sangat sejuk dipandang. Alisnya agak tebal dan sorot matanya tajam, terlebih kacamata dengan bingkai hitam yang ia pakai semakin membuatnya terlihat dewasa dan cerdas. Tapi walau begitu, tak ada satupun laki-laki lain di kelas yang menyukai Farida selain Kolil. Hahaha, mungkin Kolil mengancam teman-teman tanpa sepengetahuanku, entahlah.

Tahun ini, kami kelas 2 SMA, atau bisa dikatakan kelas 11. Sekolah kami memiliki sistem pembagian kelas. Pada saat siswa naik dari kelas 10 ke kelas 11, maka setiap kelas akan dibagi 3 lalu diacak dan ditukar sehingga akan mendapat teman baru di kelas 11, lalu setelah itu tidak diacak lagi hingga kelulusan. Kolil sampai tidak tidur semalaman karena memikirkan apakah ia akan berpisah dari Farida atau tidak. Tiga hari sebelum masa liburan berakhir, waktu pengumuman pun tiba dan hasilnya ditempel di tiap ruang kelas. Kolil yang tidak tidur semalaman ketiduran di masjid setelah sholat shubuh saking ngantuknya. Alhasil, dia tidak ke sekolah pagi ini. Aku pun memanfaatkan kesempatan ini. Aku pergi ke sekolah pagi-pagi sekali dengan sengaja karena ingin mengerjai Kolil.

Selepas dari sekolah, aku membangunkan Kolil yang masih tidur pulas.

"Koy, bangun, Koy. Dah waktu dhuha, tidur terus kau macam pejabat malas." ucapku sambil menggoyang-goyang badan Kolil.

Kolil bangun dengan malas. Lalu ia mengucek matanya yang masih setengah terbuka.

"Lai, kenapa pula, aku dah sholat shubuh tadi, masih ngantuk mataku ini. Tak tidur semalaman aku karena memikirkan pembagian kelas. Pembagian kelas?!" Kolil terperanjat.

"Hasilnya bagaimana, Lai, Lai, cepat cakap!" bujuk Kolil.

"Aku tak baca teliti. Tapi aku lihat nama aku paling atas, lalu Farida di nomer urut 15. Lihat sendiri saja kau sekelas dengan aku dan dia atau tak. Tapi apapun hasilnya, kau tabahkan hati kau." jawabku bersilat lidah agar aku bisa mengerjainya tanpa perlu berbohong.

Kolil langsung melihat jam dengan mata sembapnya, ia lalu lari keluar dan menaiki motornya ke sekolah padahal ia masih bersarung. Aku pun tertawa kecil melihat bujang muda satu itu.

Di sekolah siswa-siswi lain yang juga melihat pembagian kelas memandang aneh pada Kolil. Wajar saja, untuk seorang yang belum mandi dan memakai sarung ke sekolah, siapa yang tidak geli. Tapi demi cinta, apa yang tidak dilakukan bujang muda ini, hahaha. Kolil lalu keliling sekolah mencari namanya di setiap kelas. Kolil senang sekaligus jengkel, karena tahu kalau aku mengerjainya, tapi tentu saja ia senang karena itu artinya ia sekelas dengan Farida lagi sampai akhir masa SMA.

"Dasar, ikan asin Mak Dinah kau, Lai." gerutu Kolil.

***

Di Bawah Langit MadinahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang