Part 13

43 14 14
                                    

Satu-satunya yang mengerti cinta adalah hati, namun sayang, hati hanya ditakdirkan untuk mengerti, bukan untuk mengungkapkan.

•••••

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat aktivitas Vara terhenti. Ia berjalan ke pintu kamar untuk membukakan pintu.

Terlihat sosok Arfan di sana. Dilihatnya Arfan berdiri di hadapannya. "Kenapa kak?"

Arfan tidak menjawab. Ia malah masuk ke kamar Vara dan duduk bersandar di ranjang.

Vara memutar bola matanya. Ia menutup pintu kamar lalu ikut duduk bersandar di sebelah Arfan.

"Kali ini aku yang curhat, oke?" ucap Arfan. Vara mengangguk. "Tentang apa?" tanyanya.

"Dengerin dulu." Kini Arfan mengambil posisi menghadap Vara. Vara ikut-ikutan merubah posisinya. Hingga kini mereka saling berhadapan.

"Tadi ada cewek yang ngasih aku surat. Dia bilang mau ngajak aku jalan sebagai ucapan terima kasih karena aku udah pernah nolong dia. Terus... Aku terima ajakan itu." ucap Arfan.

Lagi-lagi sebuah rasa asing muncul dalam benak Vara. Rasa yang seharusnya tidak muncul dan tidak pernah ada. Rasa tidak rela.

Vara menundukkan wajahnya. Ia tak tahu harus berkomentar apa.

Arfan yang melihat itu menghela napasnya. Ia menarik dagu Vara hingga wajah Vara kini kembali berhadapan dengannya. "Komen dong." pintanya.

Vara menyingkirkan tangan Arfan yang kini bertengger di dagunya. "Kenapa kamu mau nerima ajakan dia?" tanya Vara tiba-tiba sewot.

Jujur, Arfan sedikit terkejut dengan pertanyaan Vara. Ia mengeryit bingung. "Loh, kamu kenapa? Ga ada angin ga ada ujan tiba-tiba sewot."

Dalam hati, Vara merutuki mulutnya sendiri. Kenapa ia mengeluarkan nada seperti itu? Sekarang ia bingung harus jawab apa.

"Itu... Ya... Aneh aja. Udah banyak cewek ngajakin kamu jalan tapi baru kali ini kamu nerima ajakan itu." ucap Vara asal. Ia tak tahu harus bicara apalagi selain itu.

Arfan mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam Vara bernapas lega. Untungnya Arfan percaya.

"Aku juga ga ngerti kenapa aku nge-iyain ajakan dia, tapi satu hal yang aku rasain, dia itu..." Arfan tersenyum. "beda."

Vara terpaku mendengar penuturan Arfan. Pertama kalinya Arfan menceritakan perempuan lain selain keluarganya.

Vara tak bisa menahannya. Ada rasa sesak di hatinya. Vara tahu hal ini tak boleh terjadi. Vara tahu.

Vara membasahi bibirnya. Ia mengambil napas. "Sebenernya kita lagi ngomongin siapa sih?" tanyanya to the point.

Arfan tersenyum lembut. "Nanti kamu juga tau." Ia mengusap rambut Vara lembut. "Thanks udah dengerin curhatan alay aku malam ini. Kamu tidur gih."

Arfan turun dari ranjang. Ia merebahkan tubuh Vara, menyelimutinya, dan mencium keningnya. "Have a nice dream."

Arfan berjalan keluar kamar Vara. Di ambang pintu, Arfan kembali tersenyum kepada Vara. Vara membalasnya dengan senyum yang jika dilihat dengan detail adalah senyum miris. Sama seperti nasib hatinya kini. Miris.

Setelah Arfan menutup pintu, Vara belum memejamkan matanya. Ia masih menatap pintu kamarnya. Pintu yang baru saja ditutup oleh Arfan.

Rasa panas menjalar di bagian mata Vara. Tak lama setelah itu, setetes bulir bening meluncur mulus di pipinya.

Vara memiringkan tubuhnya. Ia memeluk gulingnya dengan begitu erat. Mencoba sekuat tenaga menahan sakit dan sesak dalam waktu yang bersamaan.

Ia tahu ini salah. Ia tahu ini tak boleh terjadi. Tapi ia bisa apa, hanya satu hal yang bisa dilakukannya saat ini. Menopang sakit dan sesak itu sendirian.

Tak terasa gulingnya sudah basah karena air mata. Dalam hati ia tertawa miris. Ia menangisi lelaki yang berusaha membahagiakan perempuan lain, padahal ada lelaki lain yang berusaha membahagiakannya.

•••••

Pagi ini Vara bangun dengan lesu. Semangat yang biasa menghinggapinya kini hilang entah kemana.

Vara melihat pantulan dirinya di cermin. Mata merah dan wajah berantakan. Seperti itulah Vara sekarang.

Vara melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dalam hati ia berharap air bisa menghanyutkan bebannya, namun semua itu mustahil.

Tak ada masalah yang selesai bila tak dihadapi. Tak ada persoalan yang selesai bila tak dijalani. Mau tak mau semua sakit dan sesak itu harus tetap berada dalam diri Vara, setidaknya hingga semua rasa aneh itu hilang.

Vara bukan seperti perempuan lainnya tang membutuhkan waktu lama di kamar mandi. Hanya sepuluh menit. Itu lebih dari cukup baginya.

Ia bersiap-siap. Memakai seragamnya dan menguncir kuda rambutnya. Setelah itu ia bergegas keluar untuk sarapan.

Di meja makan Vara melihat Amanda dan Arfan sudah berada di sana. Vara mengambil tempat duduk di sebelah Amanda.

"Kamu mau mocca atau cokelat?" tanya Amanda kepada Vara.

"Aku mau oles sendiri." jawab Vara sambil mengambil dua potong roti, pisau, dan selai cokelat.

Mereka menyantap sarapan mereka dalan keadaan hening. Tidak ada yang bersuara. Setelah selesai, barulah mereka berbicara.

"Ra, kamu bareng Arfan aja gimana? Darel ga masuk kan hari ini?" tanya Amanda.

Arfan dan Vara terpaku di saat yang bersamaan. Jelas Amanda tak tahu soal itu.

"Kok, pada diem sih? Ini udah jam berapa, nanti keburu macet." ucap Amanda yang bingung dengan perilaku kedua anaknya.

"Ayo Ra." ajak Arfan yang mulai beranjak dari duduknya. Vara hanya mengangguk singkat. Percakapannya dengan Arfan semalam membuatnya belajar satu hal. Belajar untuk terbiasa dengan sifat Arfan yang mungkin akan berubah. Bukan tidak mungkin kalau Arfan akan terasa jauh baginya.

Vara mengikuti Arfan dari belakang. Mereka memakai sepatu mereka lalu setelah itu bergegas keluar.

"Naik motor aja gapapa kan? Takut macet." ucap Arfan.

Vara tak menjawab. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Ingin merelakan namun perih akan bersarang di hati, ingin berjuang namun perih akan bersarang di hati yang lain. Dilema besar yang dirasakannya kini.

"Pagi-pagi udah bengong." Vara tersentak. Ia memandang Arfan. "Apa?" tanyanya.

Arfan membuang napas kasar. "Jadi dari tadi aku ngomong kamu ga dengerin?" Vara menggeleng.

"Emang kamu ngomong apa tadi?" Arfan mengacak-acak rambutnya.

"Lupain aja, ayo berangkat." Arfan menarik tangan Vara menuju motornya. Ada getaran aneh di hati keduanya, namun tak menyadari satu sama lain.

•••••

Lama ya? Pendek ya? Ga dapet feelnya ya? Pasti jawabannya iya. Bingung juga sih sebenernya mau ngelanjutin part ini gimana, jadi kalau kalian merasa cerita ini aneh atau gimana mending mundur dari sekarang :v

Tapi kalau suka vote ya, kalau bisa kasih kritik & saran, lagi ngestuck nih otaknya gara-gara ujian.

After Sunset [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang