Part 11

42 14 12
                                    

Sudah sebulan lebih semenjak kejadian di pantai. Semenjak itu pula, Arfan sedikit berbeda--dalam artian perilaku.

Arfan ingin segera move on, tapi bagaimana? Vara ada di dekat Arfan setiap hari. Vara ada di atap yang sama dengan Arfan. Vara selalu mendatanginya di kamar setiap malam.

Arfan telah selesai memakai sepatunya. Ia telah bersiap untuk pergi ke sekolah. Amanda akhir-akhir ini cukup sibuk dengan urusan butiknya sehingga jarang berada di rumah. Arfan mengerti dengan hal itu sehingga ia tak mempermasalahkannya.

Setiap pagi Darel datang untuk menjemput Vara. Setiap pagi juga Arfan bersembunyi dalam kamar demi perasaannya.

Jam dinding baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Masih cukup lama hingga bel masuk.

Arfan berjalan ke luar rumah. Tak lupa ia mengunci pintu dan menyelipkannya di tempat rahasia di teras rumah. Hanya keluarganya yang tahu.

Hari ini adalah hari Jum'at. Pantang bagi sekolah Arfan memperbolehkan siswa dan siswinya mengendarai kendaraan selain sepeda atau biasa disebut car free day.

Tadi pagi Darel dan Vara sudah berangkat menggunakan angkutan umum. Sebenarnya Arfan mendapat tawaran untuk berangkat bersama, namun Arfan menolak tawaran tersebut. Tak ingin sakit lebih dalam, itulah yang dikatakannya dalam hati.

Jalanan kota tak begitu padat. Begitu pula dengan trotoar yang kini digunakan Arfan. Hanya beberapa orang yang berlalu lalang di sana.

Arfan berhenti di sebuah halte. Menunggu bus bersama orang-orang di sana. Berhubung tempat duduk sudah penuh, Arfan berdiri sambil bersandar di salah satu tiang.

Arfan mengamati kendaraan yang melintasi jalan raya di hadapannya. Pandangannya terlalu fokus hingga tak sadar dengan ada yang memperhatikannya.

Seorang perempuan berbando biru memandangi Arfan, tepat di bagian manik matanya. Jelas, siapapun akan terpikat dengan mata biru itu. Perempuan itu sama sekali tak berkedip. Entah apa yang ada di otaknya hingga ia betah memandangi mata biru itu.

Sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Membuat semua orang, termasuk Arfan dan perempuan itu masuk ke dalam bus.

Arfan beruntung, ia mendapat satu kursi di sana. Beberapa orang yang lain terpaksa berdiri karena tak mendapatkan kursi.

Perempuan berbando biru itu menggerutu di dalam hatinya. Seandainya tadi ia tidak memperhatikan mata biru memikat itu, ia pasti mendapatkan kursi dan tak harus berdiri seperti ini.

Seorang kakek tua berdiri tepat di sebelah kursi Arfan. Membuat Arfan tak enak hati dan mengalah untuk berdiri.

"Silahkan duduk kek." ucap Arfan sopan sambil tersenyum.

Kakek itu mendongak. Ia membalas senyum Arfan. "Terima kasih." Ia duduk di tempat yang tadi diduduki Arfan.

Satu tangan Arfan meraih pegangan di atasnya agar tak terjatuh. Di hadapannya berdiri seorang perempuan yang terlihat sangat feminim dengan bando biru yang melekat di rambutnya.

Arfan memandangi perempuan di hadapannya dari atas ke bawah. Suatu keganjilan timbul di benaknya. Perempuan di hadapannya mengeryit bingung. "Lo ngapain?" tanyanya.

"Lo anak SMA Merdeka? Kok gue ga pernah liat lo ya?" tanya Arfan bingung. Arfan adalah ketua OSIS, bisa dipastikan ia tahu semua murid. Meskipun tak tahu nama, tetapi Arfan pasti tahu wajah.

"Loh emang lo siapa?" tanya perempuan itu.

Arfan membuka resleting jaketnya. Ia memperlihatkan logo SMA Merdeka yang terdapat di saku kemejanya.

After Sunset [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang