"Guten morgen, Ma[1]." Prilly menyapa Mamanya di meja makan.
"Pagi, Prill. Gak usah bahasa Jerman segala sama Mama." Prilly terkikih kecil, karena ia sangat tau bahwa Mama tidak begitu menyukai Jerman. Ia tepaksa tinggal di Jerman karena anaknya tak ingin pulang ke Indonesia mau tidak mama Mama Ria yang mengalah untuk anaknya.
"Lho Mama harus terbiasa dong mengunakan bahasa Jerman. Mama lupa, Mama tinggal di mana? Nanti kalau ada yang nanya orang bule gimana?" tanya Prilly mengoda Mamanya, sambil mengambil sepotong roti Brötchen[2] dengan olesan berbagai selai manis beragam rasa atau coklat yang merupakan menu standar sarapan pagi.
"Tinggal jawab pakai bahasa Inggris saja," ujar Mama tak acuh menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya.
"Yasudah aku pergi dulu yah, Ma, Liand udah nunggu di depan."
"Lho kok dokter Ali gak di suruh masuk, Prill, sarapan bareng gitu?"
"Namanya Liand mah, bukan Ali. Gak sempat mampir kami buru-buru." pamit Prilly untuk meninggalkan rumah.
"Sama saja, toh semua orang memangilnya dokter Ali, " teriak Mama Ria yang Prilly tidak mengindahkan ucapanya.
*****
Prilly terpaku di tempat melihat seorang pria yang ada di depannya. Wajah tengil dengan mata tajam mematikan itu telah menghipnotis kesadaran Prilly.
"Ali...," gumam Prilly hampir tak terdengar.
"Tumben kamu mangil aku dengan sebutan Ali, Hase?" tanya Liand yang membuat kesadaran Prilly kembali.
"Mana kacamatamu, kenapa tidak di pakai?" Prilly tidak mejawab pertanyaan Liand, ia justru malah bertanya kemana kacamata Liand. Jelas hal itu membuat Liand sekilas sangat mirip dengan Ali, walau tetap jika di perhatikan akan berbeda.
"Ada, kenapa memang?" Liand tersenyum menjawab sembaring bertanya, sebenarnya ia sudah tau apa jawaban Prilly. Pasti dia mengira Liand adalah Ali, karena tak mengunakan kacamata.
"Kamu lebih terlihat cute saat memakai kacamata, jangan di lepas yah. Aku lebih suka kamu yang seperti ini." Prilly memakaikan kacamata itu dengan senyum manisnya, senyuman yang sebenarnya ia tutupi dari sebuah luka.
"Bukan karena aku terlihat seperti Ali saat tidak memakai kacamata?" Prilly diam seribu bahasa, lengkungan di bibirnya memudar. Ia tidak tau harus berbuat apa, pria di depannya ini sangat benar. Namun Prilly juga tak ingin melukai perasaan Liand.
"Lupakan pertanyaan aku, Hase. Aku sudah mengetahui jawaban atas keterdiamanmu." Liand sejujurnya hanya ingin Prilly jujur padanya, ia sangat tau tidak mudah memang melupakan seorang yang dulu kita cintai.
"Cepatlah masuk mobil, kita sudah terlambat." Liand berlalu dari hadapan Prilly, memasuki mobilnya tanpa membukakan pintu seperti biasa untuk Prilly. Sakit? Jelas, antara Liand dan Prilly mengalami hal yang serupa tapi tak sama.
Liand yang tidak pernah marah dengan Prilly, namun sekarang sosok Liand berubah menjadi dingin tak tersentuh. Liand sendiri sebenarnya tak tau kenapa dia bersikap tak acuh seperti ini, hanya saja ia terlalu kesal dengan sikap Prilly yang menutup-nutupi darinya. Entahlah, siapa di sini yang salah. Apakah ego mereka yang lebih berperan penting dalam suatu hubungan tersebut.
Dalam perjalanan ke rumah sakit pun, baik Liand maupun Prilly sama sskali tidak bersuara. Keduanya sama-sama tenggelam dalam haluannya sendiri. Hingga sampai di parkiran rumah sakit Liand seperti terburu-buru melepaskan sabuk penggamannya dan segera membuka pintu. Namun ia mengurungkan niatnya karena Prilly dengan sigap menahan pergelangan tangan Liand.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Darkness (END)
FanfictionSequel dari Liebe Dich In Deutsch Jangan coba-coba baca jika belom baca liebe dich in deutsch, karena ceritanya masih lanjutan bahkan masih berkaitan dengan cerita tersebut. Berani baca? Tentu akan banyak menemukan plot hole. . . . . . . . Hidup se...