"Kenapa kamu baru bilang semuanya itu sekarang, Li." Prilly menangis terisak, ia mengigit ujung bibirnya menahan segala rasa sesak—mengetahui semua kebenaran yang Liand berikan.
"Maafkan aku, Hase. Aku tidak bermaksud membohongimu, hanya saja aku belum menemukan waktu yang tepat untuk kita membicarakan ini." Liand meraih bahu Prilly agar menangis di dekapannya. Namun belum juga lengan itu merangkul pundak Prilly, ia sudah menepis kasar lengan Liand.
"Kalau saja Tante Steffy tidak ke rumah sakit dan bertemu denganku. Mungkin kamu akan tetap menyembunyikan rapat-rapat tentang semuanyakan." Steffy hanya bergeming mendengar penuturan dari bibir Liand, ia sama sekali tidak menyangkakan hal ini, hatinya juga teriris membayangkan kedua putranya sama-sama rela berjuang demi perempuan cantik di depannya.
"Aku berani bersumpah, Hase! Aku butuh waktu untuk menjelaskan sumuanya kepadamu. Maafkan aku." Liand memejamkan matanya, mendengar isakan tangis dari Prilly yang begitu mengoreskan hatinya. Sudah sekitar tiga tahun lalu terakhir kalinya Liand melihat wanita itu menangis karena keterpurukannya dan kini pertama kalinya Liand membuat gadis yang sudah kembali ceria itu menangis.
"Maafkan aku, Hase. Tolong jangan menangis lagi, aku sakit melihatmu seperti ini." Liand menarik lembut pundak Prilly tanpa ada pemberontakan. Ia menyusupkan wajahnya disela dada Liand, Prilly kembali terisak semakin keras menumpahkan semua kenangan pahit yang kini terungkap.
"Aku enggak tau harus berterima kasih atau marah sama kamu. Aku kecewa kamu sudah nutupin semuanya."
"AKU KECEWA SAMA KAMU!" Pekik Prilly memukul dada Liand dengan isakan yang semakin mengema. Liand hanya merengkut kembali wanita ini yang kembali rapuh ini, ia mengusap punggung badan Prilly dan semakin erat mendekapnya, agar ia merasakan sedikit tenang.
"Maafkan aku, Hase. Aku tidak bermaksud untuk menutupinya." Liand mengusap pucuk kepala Prilly, sesekali mengecupnya menyiratkan beribu maaf untuknya.
Tangisan yang cukup keras itu berlangsung melemah, bahu bergetar pun berangsur tenang, dan napas perempuan di dekapan Liand mulai teratur. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Prilly, menyelipkannya di samping telinga. Liand memandang pipi mulus Prilly yang meninggalkan air mata yang mulai mengering. Liand mengubah posisi tidur Prilly agar tidur di sofa, menganjal kepalanya dengan bantal sofa. Liand mengecup singkat kening Prilly mencurahkan kasih sayangnya kepada Prilly.
Maafkan aku Prilly karena sudah menutupi akan kebenaran. Dan maafkan aku juga Ali, karena aku sudah membuat Prilly kembali menangis.
"Mom, kenapa ngeliatin Ali sampai kaya gitu?" Liand belum menyadari tatapan steffy yang menuntut kejelasan dari Ali.
"Ali, bagaimana kamu bisa bertemu dan dekat dengan, Prilly?" Liand mengusap belakang telinganya yang sebenarnya tidak gatal itu. Sepertinya masih ada satu perempuan lagi yang membutuhkan penjelasan darinya.
"Hmm, saat itu secara tidak kebetulan Ali mendapatkan tugas untuk menjadi Dokter pendamping koas di tempat kuliah Prilly. Dan aku sangat bersyukur karena Allah mempermudah tugasku pada almarhum Alifire. Waktu itu, aku dipasangkan untuk menjadi dokter pendampingnya saat koas. Singkat cerita aku mulai bisa membangkitkan kesedihan Prilly serta keterpurukannya." Liand menjelaskan semuanya kepada Steffy, ia harap Mommynya paham dengan apa yang ia keadaan yang ia jelaskan.
"Kenapa kamu tidak menjelaskan semuanya dari awal kepada Prilly tanpa menyembunyikan keadaan."
"Ali benar-benar minta maaf. Aku hanya takut memulainya dan kembali membuka luka lama yang sudah dia sembuhkan."
"Sekarang kamu malah semakin membuatnya terluka, Ali, kamu udah merahasiakan dan tidak terbuka dengan Prilly."
"Iya aku tau, Mom. Tapi aku janji akan segera menutup luka itu kembali." Steffy mengeleng, putra di depannya ini terlihat sekali kurang peka dengan ucapan Steffy. Bukan menyembuhkan luka yang Steffy maksud, tapi keterbukaan sebagai kekasih yang mungkin membuat Prilly tak berarti.
"Mommy mau tanya sekarang sama kamu. Di sini tepat di hatimu, adakah nama dan ruang untuk Prilly?" Steffy meletakan jari telunjuknya di dada Liand.
"Mom, jangan kau ragukan perasaanku kepada Prilly. Aku bahkan sangat mencintai dan menyayanginya. Dia adalah wanita yang kini sangat berharga untukku."
"Kenapa Mommy ngerasa ragu yah dengan perasaanmu? Apa kamu sudah tidak mencintai dan melupakan Caren." Liand bergeming tidak menjawab, hati kecilnya berdesir—hati dan logikanya kini bersaman bersuar.
"Ali enggak tau, Mom." Tepat dugaan Steffy, ia menyandarkan tubuhnya pada sofa dan menghelakan napas kasar.
"Mommy udah kenal Prilly cukup lama. —Dia adalah perempuan yang sangat ceria— Mommy minta sama kamu, jangan sakiti wanita selembut dia. Cukup Alifire saja yang melukai Prilly karena kematiannya." Liand mengangguk, sudah tugasnya untuk tidak menyakiti hati Prilly, bahkan ia sudah berjanji pada adiknya Ali.
"Dan Mommy minta sama kamu lupakan Caren. Dia sudah bahagia dengan suaminya, dan kedua anaknya. Mommy rasa kamu cukup pintar untuk tidak merusak rumah tangga mantan kekasihmu itu."
"Ali bahkan belum bertemu dengan Caren selama lima tahun ini. Apakah Mommy tau tempat dia tinggal?"
"Mommy rasa kamu tidak perlu tau dan menemui dia, mommy tidak ingin perempuan itu kembali berkuasa akan hatimu." Steffy menyindir keras Liand yang membuatnya sedikit menundukan pandanganya tidak melihat Steffy.
"Oke jam makan siang sudah selesai, Mommy harus kembali ke butik. Tolong jaga bidadari itu, jangan membuatnya kembali menangis." Steffy mengecup singkat pipi Prilly dan bergegas berdiri.
"Hati-hati, Mom." Liand menghantarkan Steffy sampai pintu, ia kembali mengunakan atribut dokternya dan kembali menjalankan tugasnya. Mungkin juga iya akan mengantikan posisi Prilly selama perempuan itu tertidur.
########
Jakarta, 16 mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Darkness (END)
FanfictionSequel dari Liebe Dich In Deutsch Jangan coba-coba baca jika belom baca liebe dich in deutsch, karena ceritanya masih lanjutan bahkan masih berkaitan dengan cerita tersebut. Berani baca? Tentu akan banyak menemukan plot hole. . . . . . . . Hidup se...