LITD 14

434 59 5
                                    

Dalam sebuah ruangan berdinding putih dengan wangi khas antibiotik, terdapat seorang pria berjas putih di balik meja kerjanya. Ia tampak di sibukan dengan sebuah map hijau yang terdapat daftar riwayat penyakit salah satu pasiennya. Liand sudah sebulan belakangan ini menangani Zee yang mengalami kelainan pada organ pencernaanya. Sesekali Liand membenarkan posisi kacamata dan memijat pelan pangkal hidungnya. Ia memikirkan bagaimana agar gadis itu bisa bertahan hidup untuk waktu yang lebih lama lagi, Liand membaca dengan seksama sampai ia tidak menyadari bahwa pintu ruanganya terbuka dan menampilkan sosok perempuan yang sangat ia kenalin.

"Permisi, Dokter Ali?" sapa sebuah suara yang membuat Liand mendongkakan wajahnya melihat siapa yang datang,  matanya membulat sempurna melihat wanita itu. Liand sudah mati-matian menghindarin kontak langsung dengan wanita itu selama dua bulan, apa mungkin ini sudah saatnya ia bertemu dengan mantan kekasihnya itu.

"Caren?" tanya Liand memastikan kalau benar Caren yang datang. Dia mengangguk dan tersenyum manis, membuat dunia Liand seakan jungkir balik pada kisah masa lalu mereka.

Caren kemudian duduk dihadapan Liand, "bagaimana kondisi anak aku, Li?" tanpa basa-basi terlebih dahulu Caren secara to the point menanyakan kondisi anak bungsunya.

"Memburuk, bahkan Zee sudah tidak bisa memakan apapun karena selalu keluar kembali. Hanya suntikan vitamin saja yang diberikan agar nutrisi dalam tubuhnya tercukupin." Seakan bersikap profesional Liand menjelakan kondisi Zee tanpa mencampurkan urusan masa lalu mereka.

"Li aku mohon, aku tahu kamu dokter hebat dengan sejuta prestasi. Aku meminta tolong banget sama kamu, jangan jadiin Zee sebagai balas dendam atas semua kesakitan yang aku berikan padamu. Aku mohon Li, tolong sembuhkan, Zee." hancur sudah pertahanan Caren, ia merasa tak lagi kuat untuk melihat putri bungsunya yang berusaha melawan penyakitnya.

"Demi tuhan, Caren! Aku bahkan tidak punya pemikiran sepertimu. Aku juga berusaha sebisaku untuk kesembuhan Zee karena dia adalah pasienku. Jangan menangis. Kita berjuang bersama untuk kesembuhan, Zee." Liand tak bisa untuk melihat deraian air mata yang turun dari wanita yang pernah ia cintai. Walau benih cinta itu tak lagi ada, tapi keinginan untuk memeluk dan menghapus air mata Caren yang benar-benar rapuh di depanya masih ada.

"Apa yang harus aku perbuat untuk kesembuhan, Zee? Aku dan  Erza tentu akan membayar semuanya berapapun biayanya."

"Sayangnya Zee menderita penyakit yang cukup kompleks. Bukan masalah biaya Caren, aku hanya bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Mungkin saat ada perkembangan lebih lanjut pada Zee kita baru bisa mengambil tindakan medis lainnya." Caren memejamkan matanya kembali, sesulit ini kah bahagia dengan keluarga kecilnya? Anak pertama Caren sudah meninggal dunia dua tahun lalu karena kecelakaan. Haruskah takdir kini merebut kebahagiannya untuk mengambil Zee kembali kepada sang pencipta? Membayangkannya tentu membuat Caren tak bisa. Ibu mana yang rela anak meninggal dengan kondisi kerusakan pada sistem percernaanya.

Bukan hanya itu, Zee menderita gagal ginjal kronis karena saat terlahir di dunia ia hanya memiliki satu ginjal yang itu juga tidak berfungsi dengan semestinya.

Liand tidak mengerti lagi bagaimana menyembuhkan gadis kecil itu yang terlihat masih semangat berjuang di usianya sudah enam tahun. Sebenarnya, Liand bisa saja mencari pendonor ginjal untuk gadis kecil itu, hanya saja tidak semudah itu memindahkan organ seseorang pada tubuh Zee yang sensitif. Ada dua kemungkinan saat melakukan tranfusi ginjal; yang pertama Zee mungkin akan di vonis sembuh karena ginjal yang masuk dalam tubuhnya itu cocok dan berangsur pulih. Namun, hal itu tak akan bertahan lama, lambat lalu ia akan tetap merengkut nyawa. Atau malah pilihan yang kedua di mana tubuh Zee menolak kehadiran organ baru itu yang mengakibatkannya ia harus merengkut nyawanya saat itu juga.

Semua pilihan itu sama-sama berujung kematian. Walaupun sebenarnya yang memegang sekenario hidup matinya seorang adalah Tuhan, cepat atau lambat Zee akan  tetap menghembuskan napas terakhirnya.

*****

"Li nanti siang jadikan ke tempat teman aku yang jual souvenir?" tanya Prilly melalui sambungan telephone.

"Hmm, Hase, kayanya aku gak bisa deh. Karena ada laporan yang harus aku selesaikan."

"Tapi kita tetap makan siang bareng kan?"

"Maaf yah, Prill. Aku gak bisa, kamu makan siang dengan Shireen saja yah?"

"Oh yasudah, tapi kamu jangan lupa makan siang yah?"

"Iya pasti kok. Udah dulu yah. Aku masih sibuk." Liand memutuskan sambungan secara sepihak. Prilly tanpa acuh dan membereskan meja kerjanya serta membuka jas putihnya.

Ia berjalan ke luar ruangan untuk mencari Shireen dan mengajaknya makan siang di sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Terlihat  Shireen tak lama keluar dari ruangan Liand yang terlihat kosong.

"Lho Dokter Prilly, gak ikut makan siang dengan dokter Ali?" Prilly mengeleng lemah, sebgai jawaban kepada Shireen.

"Liandnya gak ada di ruangannya yah?" tanya Prilly menoleh ke dalam ruang praktek Liand.

"Tadi sih Dokter Ali bilang mau makan siang. Aku kira sama dokter Prilly." jelas Shireen yang membuat Prilly menaruh curiga, kenapa harus bohong kalau punya janji makan siang dengan yang lain?

"Oh yaudah, mau makan siang bareng?" tawar Prilly yang membuat Shireen mengangguk.

Mereka berjalan berdampingan keluar dari rumah sakit menuju restoran siap saji yang berada di depan jalan. Saat masuk ke dalam restoran itu, mata Prilly menyelusuri bangku kosong yang masih tersisa. Namun, indra penglihatannya menangkap tiga orang yang terlihat sedang bercengraman di sudut ruangan. Prilly memandang datar mereka yang  terlihat seperti satu keluarga kecil yang sangat harmonis.

"Lho di sana bukannya Dokter Ali, Zee, dan Mamanya yah?" tanya Shireen yang ternyata melihat juga apa yang sedari tadi menjadi fokus Prilly.

Prilly mengangguk kecil dan berusaha bersikap biasa mungkin. Padahal dalam benaknya muncul beribu tanya yang akan ia ajukan pada Liand.

"Kita duduk bareng mereka saja yuk, Dok? Sepertinya sangat menyenangkan." Prilly menahan pergelangan tangan Shireen, ia merasa tidak perlu bareng mereka. Toh, saat Prilly mengajak Liand makan siang bareng saja dia menolaknya, tak mungkin ia tiba-tiba muncul seperti tamu tak di undang.

"Gak usah deh, Ren. Kita cari tempat duduk yang lain saja." Shireen mengangguk dan memilih meja yang tak jauh dari tempat di mana Liand bersama Zee.

Dari Prilly memesan makan, dan makanan itu tiba di mejanya, Liand sama sekali tak menoleh atau melihat kearahnya. Bahkan saat Prilly sudah menyelesailan acara makan siangnya Liand dengan tatapan tak acuh tanpa memperdulikan sekelilingnya meninggalkan restoran itu sambil mendorong kursi roda Zee.

Hati perempuan mana yang sebenarnya tak panas hati melihat calon suaminya sedang tertawa bahagia dengan wanita lain?  Walaupun mereka tidak berdua saja, masih ada Zee di sana dan mungkin Zee adalah orang yang mengajak Liand makan siang bersama mamanya menurut batin Prilly.

Sedangkan Shireen tak banyak berbicara sedari makan tadi. Melihat tatapan tak bersahabat antara Liand Prilly membuat Shireen dengan cepat  menyelesaikan makanannya dan kembali ke rumah sakit dengan Prilly.

#####

Jakarta, 30 Juni 2017

Haiii semua, siapa di sini yang mikir kalau Caren akan jadi PHO. Ah kayanya mainstream deh kalau pho wkwk, Sal ini akan buat sedikit berbeda walai tetap PHO juga intinnya wkwk eh enggak deh. Gimana yah ku juga bingung, tunggu kelanjutannya aja yah Caren itu mau apa sebenernya hahaha.

Sal❤

Light In The Darkness (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang