LITD 16

691 71 5
                                    

Pancaran sinar itu telah kabur dengan hiasan kabut gelap. Bentang cakrawala yang redup kini mendung bersama gumpalan awan hitam. Raut wajahnya datar dengan tatapan hati yang kosong. Entah apa yang sedari tadi gadis itu tunggu dari balkon kamar. Melihat ke bawah jalan yang terdapat banyak pengguna jalan, arah penglihatannya semakin naik hingga langit. Ia kemudian tersenyum tipis memandang beberapa bintang yang menghiasi angkasa.

"Sekarang aku harus apa, Li? Aku mencintainya. Namun, aku sekarang ragu, apa dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya?" Prilly mencurahkan perasaannya pada langit yang seolah terdapat Ali yang sedang mendengarkan semua keluh kesahnya.

"Apa aku gak pantas untuk bahagia? Kenapa sikapnya saat itu sangat emosional? Aku sakit Li, aku...," ucapan Prilly terputus saat di rasa ada yang membuka kamarnya, dengan cepat ia menghapus air matanya agar tak ada yang tau bahwa ia sehabis menangis.

Suara pintu kamarnya terbuka, tapi ia tak berniat membalikan badannya melihat siapa yang masuk.

"Prilly, di bawah ada Liand, Nak. Kamu gak berniat menemuinya?"

"Ma, suru dia pulang saja yah. Aku lagi gak mau ketemu sama dia," ucap Prilly membalikan badannya melihat Ria yang sudah ada di depannya.

"Tapi kenapa? Pagi dan malam dia selalu sempatkan waktunya untuk ke sini, Prill. Temuin dulu, baru bicara baik-baik."

Liand hampir setiap pagi sebelum berangkat kerja ia selalu datang ke rumah Prilly. Bahkan saat malam selesai berkerja ia akan menyempaikan waktu untuk kembali. Selama dua hari ini, Prilly sama sekali tak ingin di temuin dulu dengan Liand. Apalagi Prilly juga sudah menulis surat keterangan sakit untuk tiga hari, dan besok adalah terakhir dia di rumah sebeum beraktivitas di rumah sakit yang tentu saja akan bertemu dengan Liand.

"Aku masih butuh waktu, Ma. Mama liat sendiri bukan? Betapa merah punggung Prilly saat kejadian itu. Sakit, Ma. Prilly masih gak nyangka sama dia!"

"Mama tau, sayang. Tapi bagaimana pun juga kamu harus mendengarkan terlebih dahulu alasannya. Pernikahan kalian tinggal satu bulan lagi, akan banyak persiapan untuk kalian berdua. Apa kamu berniat Membatalkannya?" tanya Ria yang mendapatkan gelengan keras dari putrinya itu.

"Kalau begitu, temuin Liand sekarang. Mama yakin dia akan cerita dengan sejujurnya sama kamu."

Prilly sekali lagi mengeleng membuat Ria menyerit binggung. "Aku butuh waktu, Ma. Aku masih belum bisa bertemu dengannya, apalagi harus melihat wajahnya. Itu sangat menyakitkan untukku."

"Yasudah, Mama sampaikan Liand kalau kamu masih belum mau ketemu dia. Tetapi pesan Mama, jangan terlalu menutup diri seperti ini, Prilly. Mama gak mau kamu kembali kehilangan arah seperti dulu," ujar Ria khawatir, bagaimana juga ia adalah saksi saat Prilly mengalamin depresi dalam hidupnya kerena kehilangan.

"Mama tenang yah, aku janji gak akan depresi seperti kehilangan Ali. Yang aku butuhkan sekarang waktu, Mama pahamkan perasan aku." Ria mengangguk, memeluk putri satu-satunya yang ia punya. Lalu ia kemudian meninggalkan kamar Prilly untuk ke ruang tamu dan menemui Liand.

****

"Bagaimana, Tan. Apa Prilly mau?" tanya Liand harap-harap cemas. Ria mengeleng lemas sebagai jawabanya, Liand tersenyum kecil.

"Gakpapa, Tan. Mungkin Liand harus sedikit berjuang, dan maafin aku yah, Tan kerena sudah melukain anak Tante Ria." Liand tersenyum menutupi rasa kekecewaannya. Ia menghargai usaha Ria yang telah membujuk anaknya walaupun hasilnya masih sama. Sebuah penolakan Prilly padanya.

"Iya Tante ngerti kok, Maafin Prilly juga yah, Nak Liand. Dia cuman butuh sedikit waktu saja, nanti saat suasana hatinya kembali baik dia akan seperti biasa lagi."

Light In The Darkness (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang