LITD 13

451 56 6
                                    

Prilly berjalan tergesa-gesa dengan tangan yang menjinjing paper bag yang berisi beberapa buah-buahan di dalamnya. Ia menuju kamar nomer 189 dan membuka gagang pintu itu perlahan. Prilly tersenyum melihat sahabatnya  yang sedang berbaring di atas brankar rumah sakit dengan lengannya yang mengendong bayi yang sedang menyusu itu.

"Haii...." Prilly tersenyum memasuki kamar itu, sahabatnya Lala kini sudah menikah dan baru saja melahirkan anak pertamanya.

"Haii, Prill. Kamu bawa apa ke sini?" tanya Lala tanpa basa-basi, Prilly memutar bola matanya malas selalu saja begitu. Jika Prilly membawa sesuatu pasti pikiran Lala tak jauh dari makanan.

"Buah-buah dan beberapa roti dan biskuit. Gimana kondisi kamu dan juga bayinya?" tanya Prilly setelah menaruh paper bag itu di atas nakas dan mengalihakan pandanganya pada seorang bayi yang sedang asyik menyedot asi miliknya.

"Makasih yah, Prill, kamu udah repot-repot ke sini. Alhamdullilah aku baik, dan anaknya perempuan sehat." Prilly mengangguk dan melihat bayi itu perlahan mengantupkan matanya dan berhenti menyedot.

"Prilly, aku boleh minta tolong letakan anakku di kasurnya itu? Ia tak mungkin ikut tidur dalam kasur ini, bisa-bisa ia tergenjet dengan badanku." Prilly tertawa terbahak-bahak, walau sudah bersuami Lala masih saja tidur dengan posisi yang tidak bisa diam dan selalu berguling ke sana ke mari. Tanpa di suruh dua kali Prilly memindahkan bayi kecil itu ke tempatnya dan kembali duduk di dekat Lala.

"Kamu masih menjalin hubungan dengan, Ali, Prilly?" tanya Lala yang membuat Prilly diam sebentar dan mengerutkan keningnya.

"Maksudku dokter Aliandra Grovas."  ralat Lala yang membuat Prilly mengangguk sekaligus menjawabnya.

"Iya, bahkan dia sudah melamarku, La, walau belum secara resmi ke Mama sih. Memang kenapa, La?"

"Tidak, hanya saja apa kamu mencintainya?" tanya Lala yang membuatnya terkikik.

"Tentu saja aku mencintainya, mana mungkin aku menerima lamarannya jika aku tidak mencintainya."

"Lalu apa dokter Ali juga mencintaimu, Prill?" tanya Lala lagi yang membuat Prilly bergeming sebentar dan merenung.

"Apa yang harus aku ragukan lagi, La? Liand sudah membuatku bangkit dari keterpurukan, enam tahun lalu. Dia juga yang menemaniku saat aku hampir gila karena kematian Ali, dia yang selalu semangatin aku selama dua tahun dalam kondisi tak waras. Aku rasa itu sudah cukup membuatku percaya bahwa dia juga mencintaiku." jelas Prilly yang kini membuat Lala diam.

Lala sebenarnya masih kurang srek dengan hubungan sahabatnya dan dokter tampan itu. Entahlah, ia merasa bahwa Liand belum sepenuh hati untuk menerima Prilly, menurut sisi kacamata Lala. Lala tak ingin Prilly di sakiti lagi untuk kedua kalinya dengan pria yang sama-sama lahir dari satu rahim seorang ibu itu.

"Bagaimana jika dia hanya kasian padamu saat itu, melihat kondisimu yang begitu memperihatinkan? Dan sampai sekarang ia hanya berusaha untuk menebus semua janjinya pada Almarhum Ali karena kamu adalah prioritas dari adiknya itu." kata-kata itu terjun bebas dari mulut seorang Lala, ia tidak bermaksud untuk mempengaruhi dan merusak hubungan kekasih sahabatnya itu. Ia hanya mengeluarkan sebuah argumentasi yang membuat Prilly menatapnya tak percaya.

"La, kamu sudah mengenalku cukup lama bukan ? Aku bukan mau mematahkan pendapatmu. Namun, ini pilihanku, La. Aku percaya pada Liand, dia gak mungkin mengkhianatiku, La." Prilly berusaha tenang menjawab pertanyaan Lala, ia berusaha berpikir positif bahwa Liand benar-benar mencintainya tanpa maksud bentuk tanggung jawabnya pada Ali.

"Yah, aku sudah tau itu. Kamu memang gadis yang keras kepala, Prill. Jika itu sudah pilihanmu aku hanya bisa mendukung dan selalu berdoa untukmu. Oh yah, aku tidak ingin melihatmu menangis lagi, dan  mendengarkan berita duka yang begitu menyakitkan dari hubunganmu." Prilly mengangguk dan memeluk sahabatnya itu.

"Terima kasih, La. Aku janji gak akan menangis lagi, tapi kau harus tetap mendengarkan ceritaku. Tentu dengan berita yang menyejukkan hati." 

Mereka saling berpelukan. Tidak ada yang lebih penting dari seorang sahabat yang saling support, perbedaan pendapat tentu bisa juga terjadi dalam hubungan persahabatan, menyikapinya dengan baik adalah salah satu cara agar sebuah persahatabat itu tak hancur.

*****

"Li, sibuk gak? Anterin aku pulang yuk." ajak Prilly yang hanya menyebukan wajahnya di depan pintu yang hanya ia buka setengah.

"Masuk dulu sini, Prill. Bentar aku nyelesain laporan dulu, habis itu kita pulang," ucap Liand yang masih fokus pada benda pipih di depanya. Prilly melengos masuk kemudian duduk di sofa yang tak jauh dari meja Liand.

"Sudah selesai, kita cari makan dulu yuk aku lapar. Sekalian ada yang ingin aku omongin," ujar Liand merapikan meja kerjanya dan melepas jas putihnya.

Liand akan menjelaskan semuanya sekarang, menurutnya ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara dengan Prilly tentang masa lalunya, siapa dia di masa lalu itu. Ia tidak mungkin menyembunyikan hal itu lebih lama lagi, Liand tak ingin seorang datang dan memberitahu kebenaran masa lalu Liand kepada Prilly dengan melebihkan bumbu di dalamnya. Sebenarnya, masa lalu Liand tidak cukup penting untuk di ceritakan, hanya saja Liand merasa itu sebuah keharusan yang entah bagaimana akan ada konflik seperti ketika  masa lalunya dengan Alm. Ali, Liand hanya tak ingin lagi terjadinya selisih paham antara hubungan mereka nantinya.

"Aku juga ada yang mau dibicarakan. Yuk, aku juga laper nih," rengek Prilly yang membuat Liand gemas dan mengacak-acak rambut panjangnya hingga berantakan yang membuat mereka tertawa bersamaan menuju area parkiran dan meninggalkan rumah sakit.

Mereka makan di salah satu restoran pinggir jalan yang menjadi favorite mereka. Setelah memesankan makanan, Liand menghembuskan napas panjang untuk segera membicarakannya.

"Li, kamu tahu gak, sahabat aku Lala kemarin itu baru saja melahirkan anaknya di rumah sakit tempat kita kerja?" Pertanyaan Prilly secara tiba-tiba membuat Liand yang baru membuka mulut mengurungkan niatnya.

"Iyakah, terus kamu udah menjenguknya?"

"Sudah, tadi sebelum aku ke ruanganmu, aku ke tempat Lala. Anaknya perempuan cantik dan blasteran juga, lucu banget tau Li, ngegemesin udah gitu badannya gemuk lagi," ucap Prilly yang terlihat antusias sekali membicarakan anak dari sahabatnya itu."

"Kamu mau gak?" refleks Prilly mengangguk menjawabnya karena dia sangat suka dengan balita.

"Bikin, yuk?" ajak Liand dengan santainya seraya mengedipkan matanya dengan raut wajah mesum yang membuat Prilly melotot, "ihh Liand, jangan omes deh pikiranya." geruk Prilly sambil mencubit bahu Liand yang menimbulkan gelak tawanya.

"Bercanda, Prilly. Maksud aku kan bikinnya nanti habis kita menikah." bluss, pipi Prilly memerah malu, apa tadi ia yang terlihatan mesum itu dirinya sendiri?

"Oh iya, Li, kapan kamu mau ke rumah? Masa udah lamar anak orang gak minta restu dulu sama Ibunya?" tanya Prilly mengalihkan topik pembicaraan yang tak jauh.

"Iya aku tau kok, tunggu Daddy aku datang ke Jerman yah. Dia masih di Paris sibuk dengan dinasnya. Nanti sabtu rencananya Dad akan ke Munchen baru nanti aku akan melamarmu secara resmi." jelas Liand yang membuat Prilly mengangguk, setujuh dengan lamarannya.

"Tadi katanya ada yang mau kamu bilang? Apa?" tanya Prilly teringat saat mereka masih di rumah sakit.

"Hah? Enggak. Tuh makanan kita udah datang, makan dulu yuk."

Prilly hanya mengangguk. Liand mengalihkan pembicaraan saat seorang pelayan menghantarkan makanan mereka. Baik Liand maupun Prilly kini tak bersuara, keduanya dengan asyik menyantap hidangan favorite mereka. Melihat raut wajah Prilly yang tampak sangat bahagia, membuat Liand mengurungkan niatnya. Entah kapan Liand membicarakannya, yang jelas bukan saat-saat ini karena ia tak ingin merusak kebahagian Prilly.

#####

Jakarta, 26 Juni 2017

Taqobbalallahu minna wa minkum. Barakallahu Fiikum
Mohon maaf lahir dan batin yaa teman-teman😇
Selamat hari raya, maaf yah jika aku suka lama update, atau dari cara tulisan dan komment dari aku yang menyinggung perasaan kalian. 😘

Sal❤

Light In The Darkness (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang