Tepat lima tahun yang lalu, Liand mendapatkan kabar dari Steffy bahwa Ali masuk rumah sakit dengan penyakit gagal ginjal komplikasi, dan pada saat itu juga Liand mengambil cuti untuk segera terbang ke Jerman. Beruntungnya surat izin cuti Liand diproses dengan sangat cepat, karena Liand belum mengambil cuti selama satu tahun.
Pada malam itu Liand memandang pintu kaca dengan pandangan yang sulit diartikan. Di seberang sana seorang pria tertidur tidak berdaya di atas brankar rumah sakit. Perlahan ia menurunkan knop pintu dan mendorongnya, Liand berjalan menghembuskan napas panjang dadanya sesak seketika saat mengetahui kenyataan pahit yang dialami adiknya. Liand memandang wajah tertidur Ali dengan sangat menenangkan, sebelum Ali menyadari kehadiran Liand saat ia duduk di sampingnya.
"Kak..Liand, kenapa, ada di sini." Suara serak Ali membuat mata Liand berkaca-kaca melihat tubuh Ali yang hanya melemas di atas ranjang.
"Kenapa kamu enggak bilang kalau sakit seperti ini, Li?" Tanya Liand yang sekuatnya menahan air mata dan emosinya.
"Aku gapapa kak, lagipula aku baik-baik saja." Ali tersenyum lirih, senyum yang amat menyakitkan diri sendiri.
"Aku ngerasa tidak berguna di depanmu. Aku bisa menyembuhkan puluhan orang yang sakit, tapi kamu? Bahkan aku tau saat penyakitmu sudah----" Liand memberhentikan ucapanya dan mengusap kasar wajah frustrasinya-- ia tidak mau Ali tau sebuah kenyataan bahwa Dokter Qize sudah memvonis umurnya hanya hitungan hari, ia sangat tau penyakit ini sangatlah buas dalam keadaan sehat pun bisa-bisa meninggal tanpa sebab karena penyakit gagal ginjal komplikasi. Namun di sisi lain, ia sangat tau jika yang memegang peranan penting itu Tuhan, manusia hanya mampu berencana dan Allah yang memutuskan.
"Kakak bisa bantu aku?" pertanyaan Ali membuat Liand menautkan Alisnya bingung, tapi sedetik kemudian ia mengangguk pasti.
"Kamu ingin apa? Pindah ke rumah sakit yang lebih canggih lagi yah, atau kamu mau biar aku sendiri yang merawatmu." Ali mengeleng lemas, senyum samar itu selalu ada di wajahnya--ia tidak mau semua merasakan sakit yang ia rasakan. Ali tau umurnya mungkin sudah divonis tidak akan lama lagi, dan mungkin juga ini adalah permintaan terakhir Ali kepada Liand.
"Aku mohon, jaga separuh hati dan jiwa aku. Karena hanya itu, aku akan tetap hidup. Walaupun nanti tiada."
"Kamu ngomong apa sih?" Liand saat tau posisi ini, posisi di mana Ali merasakan hawa ingin pergi dari dunia ini.
"Tolong lindungi permata hati yang memengang seluruh duniaku," ucap Ali sambil memberikan sebuah foto yang sedari tadi ada digengamannya.
Liand mengambil foto tersebut, dengan tangannya yang gemetaran ia melihat sosok perempuan cantik yang ia tau wanita ini mungkin sangatlah berarti dalam hidup Ali.
"Aku minta jadilah diriku saat bersamanya walaupun kita tidak serupa, aku harap kamu dapat membantunya untuk bangkit dari keterpurukannya nanti." Liand melongo tak percaya yang benar saja dia akan melakukan semua itu.
"Enggak, Li. Sekalipun aku akan membantunya bangkit, aku akan tetap jadi diriku sendiri, bukan berpura-pura menjadimu."
"Gapapa, yang penting kamu mau menjaganya untukku. Buatlah dia bahagia dan jangan pernah sakiti dia apalagi membuatnya menangis." lirih Ali semakin melemas, kelopak matanya kini penuh dengan air mata yang dengan sekali kejap akan deras membanjiri pipinya.
"Kalau memang gadis ini berarti dalam hidupmu, seharusnya kamu mampu untuk lebih bertahan untuknya dan tidak membiarkan dia menangis."
"Sayangnya aku udah cukup lelah dengan seluruh rasa sakit ini. Semua ketergantungan kepada alat medis dan obat-obatan." detik itu juga air mata kedua kakak-beradik berbeda ayah itu meleleh tak tertahan, keduanya menangis kepada takdir yang tidak memihak kepada mereka.
Mereka saling berpelukan dengan kondisi Ali yang tiduran. Mereka berdua menangis sejadi-jadinya tidak peduli dengan padangan orang yang mengangap mereka pria cengeng. Setelah suara isakan itu melemas, Liand melepaskan pelukannya. Masing-masing di antaranya menghapus air mata yang membekas di pipinya, kemudian tersenyum dan sedikit terkikih menyadari bahwa mereka baru saja selesai menangis."Aku boleh minta tolong satu lagi?" Liand mengangguk pasti, ia tidak akan menolak permintan adiknya kali ini demi membahagiakan sang adik.
"Di dalam laci itu ada satu kotak berukuran sedang. Aku mau kamu kasih kotak ini saat dia tau bahwa kamu menjaganya untukku." Liand mengambil kotak itu dan tersenyum, ia mengenggam jari-jemari Ali saat merasa suatu yang tidak beres pada alat pendetak jantung di sampingnya.
"Terima kasih untuk semuanya, Kak. Jaga dia untukku, dan Lindungi dia karena hidupku." setelah mengucapkan itu, mata Ali terkantup dan alat pendektesi jantung mulai berbunyi dengan nyaringnya.
"Ali...." Pekik Liand tak tertahankan saat menyadari Ali sudah tiada, ia terduduk lemas di lantai bersamaan dengan dokter Qize datang menangani Ali.
Pertemuan pertama setelah beberapa tahun yang lalu dan perpisahan terakhir bagi kedua kakak-beradik yang paling menyakitkan.
*****
Seorang gadis meluruskan tubuhnya begitu saja pada gundukan tanah yang belum mengering. Ia menangis sesunggukan tanpa menyadari seorang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh.
"Aku udah lihat vidio kamu, dan aku juga udah baca surat yang kamu berikan. Kamu tau, Li? Rasanya sangat menyakitkan. Mengetahui hal terpahit di mana aku ngerasa gak berguna sebagai kekasihmu."
Yah perempuan itu adalah Prilly, kini tepat tiga hari yang lalu atas meninggalnya Ali. Sehari tanpanya membuat hidup Prilly hampa, ia sudah tergantungan dengan Ali dan sekarang Prilly tidak tau bagaimana caranya memulai dari awal lagi.
"Aku butuh kamu, Li. Jika kamu benar-benar pergi dari kehidupan aku, tolong kasih tau aku bagaimana cara, agar aku bisa bangkit dari keterpurukan ini." Prilly mengelus nisan kayu berbentuk salib itu, ia harap Ali mampu mendengarkan permintaanya. Gadis ceria itu harus kembali tersenyum setelah dukanya.
"Aku sayang kamu, Li. Jangan nakal di surga sana. Tunggu saatnya aku menyusulmu untuk keabadian." Prilly mengusap air matanya, ia meletakan beberapa tangkai bunga lily pada makam tersebut dan segera berdiri.
"Aku pulang yah, aku janji aku selalu mengunjungimu." Prilly pamit, dan meninggalkan area pemakaman itu dengan wajah yang sedikit lega.
"Bagaimana caranya agar aku bisa membuatnya bangkit dari keterpurukannya. Sedangakan Ali sama sekali tidak memberikan aku sedikitpun cerita tentang gadis itu." Suara pria yang memperhatikan Prilly barusan.
"Sekarang kamu lihatkan, Li. Gadis itu permata hatimu bahkan lebih rapuh dari pada yang aku bayangkan," ucap seorang itu memandang makan Ali dari kejauhan.
~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
Keterangan: maaf jika bahasanya jadi terkesan kaku karena mengunakan kata 'aku kamu'. Ingat setting cerita ini mengunakan negara jerman, memang di ceritanya di sini Steffy itu orang Indonesia, jadi Ali dan Liand bisa mengunakan bahasa indo. Namun hanya Ali saja yang pernah ke Indonesia pada saat pertukaraan pelajar. Jadi sesuai dengan KBBI aku mengunakan bahasa semi formal untuk kata sapaan ini.########
Jakarta, 7 Mei 2017
Maaf yah ini updatenya lama, tapi jika kalian baca cerita aku yang 'The Logic of Love' pasti kalian akan tau kenapa aku gak nulis cerita ini. Selama dua minggu yang lalu aku mengetik cerita tersebut dan berhasil mempublis 3 chapter terbaru mangkanya cerita ini di abaikan sebentar.
Anyway, mataku berkaca-kaca saat mengetik part ini. Bagaimana dengan kalian? Apa ngerasain yang aku rasakan? Kalau iya tulis di comment yah feelnya gimana setelah membaca.
Thank you so much for you reading 😘
Sal❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Darkness (END)
FanfictionSequel dari Liebe Dich In Deutsch Jangan coba-coba baca jika belom baca liebe dich in deutsch, karena ceritanya masih lanjutan bahkan masih berkaitan dengan cerita tersebut. Berani baca? Tentu akan banyak menemukan plot hole. . . . . . . . Hidup se...