Tiga

12.8K 742 21
                                    

Abqa pov

Tanah merah itu masih basah menandakan baru saja seseorang dikebumikan. Wangi bunga masih menguar memenuhi penciumanku dan para pelayat yang satu persatu mulai membubarkan diri. Kutatap batu nisan bertuliskan nama Aurindi Avlan itu dari balik kacamata hitam yang bertengger manis  menutupi mataku. Tak ada air mata lagi yang menetes satupun dari mataku kini, bukan berarti aku tak menangis bukan berarti aku tak bersedih, tapi lebih dari itu. Hatiku hancur dia pergi, pergi untuk selamanya membawa semua kenangan kami, bukan itu saja tapi juga hatiku.

Kutatap Nadi yang menangis tersedu disamping gundukan itu. Meraung menyebut nama Aurin, tak peduli pakaian yang ia kenakan bercampur dengan tanah. Bahkan kedua orang tuanya tak ada yang bisa membujuk untuk membawanya pulang. Dasar bodoh dia pikir hanya dia yang kehilangan. Tanpa kata kuhampiri dia yang masih meraung, dengan paksa kuselipkan salah satu tanganku kepunggungnya dan satu lagi kekakinya. Kuangkat dengan bridal style, dia terlihat meronta dalam gendonganku membuatku sedikit kualahan.

"Diam!" bentakku membuatnya seketika diam dengan masih sesenggukan.

Mommy membantuku membuka pintu mobil, kuletakkan dia dibangku penumpang belakang dan memasangkan safety belt barulah aku ikut masuk duduk disampingnya diikuti Kae duduk disebelah jadi posisi kami mengapitnya. Papa yang ada dibelakang kemudi mulai menjalankan mobilnya.

Sampai rumah aku segera turun terlebih dahulu dan bersiap mengangkat Nadi lagi tapi ditolaknya. Baiklah aku memilih masuk rumah tanpa memperdulikan dia. Sampai didalam rumah kulihat Zac juga masuk dari arah garasi. Memang tadi dia ikut kepemakaman tapi memilih memakai motor. Terlihat Zac berjalan kearahku, kemudian menepuk pundakku sebelum berlalu dan memasuki kamarnya. Zachel si tembok julukan dari Kaela untuk adik bungsu kami itu, Zac memang tak pernah banyak bicara tapi mengerti apa yang kurasakan sama seperti Kaela bedanya Kaelah lebih cerewet dan frontal.

Kulanjutkan untuk melangkah kearah kamarku masuk disana lalu menuju kamar mandi, selesai membersihkan badan aku segera berpakaian kemudian menghempaskan tubuhku ke tempat tidur dengan tengkurap. Kepalaku rasanya penat sekali mungkin tidur adalah pilihanku saat ini. Sebenarnya tak hanya kepala, tapi tubuhku juga perlu istirahat karena sudah lebih dari satu minggu tidurku tak teratur.

Baru saja kupejamkan mata kudengar pintu kamarku diketuk beberapa kali. Ingin sekali aku mengumpati seseorang yang ada dibalik pintu sana tapi aku takut kalau itu Mommy atau papa. Dengan enggan kubalik tubuhku dari posisi tengkurap dan beranjak membuka pintu. Didepanku kulihat Nadi berdiri kaku dengan menundukkan wajahnya. Tadi mengetuk sekarang dibukakan pintunya dia menunduk apa lantai didepan kamarku terlihat menarik.  

"Apa kau akan terus berdiri di situ dengan menunduk?" tanyaku dengan datar. Sebenarnya aku masih merasa canggung dengan Nadi karena kitapun jarang bertemu, jika aku sedang menemui Aurin dirumahnya dia pasti ada dikamarnya ata memang tak ada dirumah.

"Apa kau tak mendengarkanku?" tanyaku sekali lagi karena tak mendapat jawaban sama sekali darinya.

"Em.. itu.. kak ak.. aku hanya"

"Hanya apa?" tanyaku tak sabar mendengar cara bicaranya.

"Ak—"

"Bicara yang benar"

"Kat....kata tante Gwen ak—"

"Masuklah" ucapku sedikit menyingkir memberinya jalan untuk memasuki kamarku. Pasti mommy yang memintanya kesini.

"Terimakasih" ucapnya sebelum masuk kamarku.

Setelah dia masuk kututup pintu kamarku. Dia masih berdiri dengan mengedarkan pandangannya kesekeliling kamarku.

"Ehemm" dehemku membuatnya seketika menunduk.

"Mandilah, disitu kamar mandinya" ucapku menunjuk pintu kamar mandi yang ada disebelah kirinya.

Levirate Marriage?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang