Jangan membuatku
JATUH CINTA
Jika kau belum siap MENANGKAPNYA...--Berani Nikah--
*****
"Jadi dia dateng cuma nganter ini doang, nggak mau ketemu kamu?" tanya Kak Diana. Aku mengangguk. Aku sudah menceritakan semuanya pada Kak Diana, termasuk tentang Ransi yang menanyakan pendapat teman-temanku tentang perasaanku padanya.
"Jadi selama ini dia minder gara-gara penghasilan ya?"
"Bisa jadi. Tapi aku nggak pernah mikir itu kok Kak," Bohong kalau aku bilang aku tidak butuh materi, tapi aku benar-benar tidak pernah merendahkan Ransi hanya karena penghasilannya di bawahku.
"Kalau aja dia mau jujur Kak, tentang perasaannya. Ngomong langsung gitu sama aku, kalau dia mau nikahin aku dua tahun lagi tanpa kode-kodenya itu, kami kan bisa sama-sama ngumpulin duitnya. Jadi dia nggak berjuang sendirian." Ujarku. Aku tidak masalah harus menikah sederhana. Bagiku tidak penting semewah apa pestanya, yang paling penting bisa menikah dengan orang yang kita cinta kan?
"Kamu pernah bahas masalah ini sama dia? Ya secara tersirat gitu?" tanya Kak Diana.
"Iya pernah. Aku pernah nanya sama dia beberapa bulan lalu kalau nggak salah. Aku tanya apa dia punya masalah kalau pasangannya punya penghasilan di atas dia. Terus dia bilang nggak masalah, cuma dia takut aja istrinya nanti jadi nginjak kepala gitu."
Beberapa waktu lalu aku memang sempat membahas masalah ini dengan Ransi, sekadar bertanya sambil lalu, hanya ingin melihat reaksinya saja. Aku juga sempat mengatakan kalau biaya pernikahan itu memang besar, tapi kalau kedua pasangan saling menyisihkan penghasilan masing-masing pasti bisa terkumpul.
"Nggak harus kamu yang berjuang sendirian Ran, kan uangnya bisa dikumpulin bareng-bareng."
"Aku nggak mau Dir, aku ini laki-laki. Aku maunya uangnya dari aku."
Ransi itu memiliki idealisme yang tinggi, berbanding terbalik dengan diriku yang lebih realistis, aku tipe orang yang mengikuti arus, terkadang plin plan. Berbeda dengan dirinya yang sangat sulit untuk digoyahkan pemikirannya.
"Kalau dia masih nggak ada kepastian, kamu sama si Zaki aja deh Dir." ucap Kak Diana.
Aku memandangi Kakakku itu sejenak, "Kenapa kita bahas Zaki?"
"Ya, dia kan lebih mapan, dia juga lebih dewasa selisih umur kalian empat tahun, kayaknya dia bisa bimbing kamu. Kalau sama si Ransi cuma beda satu tahun, kalian berdua juga sama-sama masih kayak anak kecil."
"Kak, umur itu nggak bisa menentukan kedewasaan seseorang ya. Mungkin Ransi kelihatannya masih kayak anak kecil, tapi dia jauh lebih dewasa dari Kak Zaki. Lagian aku nggak ada rasa, gimana coba bisa mau sama Kak Zaki?!"
"Dir, rasa itu bisa datang dengan sendirinya, kamu jangan nutup mata gitulah, si Ransi nggak ada kepastian. Si Zaki kayaknya kalau kamu pancing dikit juga udah siap ngelamar. Kalau sama Zaki kamu nggak harus nunggu dua tahun Dir, dia udah punya rumah, mobil, kerjaan dia juga mapan. Apalagi yang kamu cari?!"
Aku memandang Kakakku seolah tak percaya dengan ucapannya, "Kak Zaki memang punya segalanya yang diinginkan perempuan, tapi aku punya standar sendiri untuk menentukan pria itu layak buat dijadikan suami atau nggak!" Tegasku. Aku bangkit dari kursi lalu berjalan menuju kamarku.
Aku pikir dengan menceritakan masalah ini pada Kakakku, bisa sedikit membuat pikiranku tenang. Tapi ternyata malah begini. Aku kira kakakku bisa mengerti apa yang aku rasakan, nyatanya malah menyarankan hal yang lebih parah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Kode, Sembunyi Hati (Sebagian Part dihapus)
General FictionMenurut lo friendzone itu apa? Tempat main kayak timezone, tapi bedanya ini main perasaan. Semacam tidak memiliki namun takut kehilangan, semacam tak punya status namun merasakan kecemburuan.