Meskipun tidak bilang, itu tetap cinta, bukan?
Tidak akan berkurang nilainya-Tere Liye-
*****
Aku membaca susunan acara yang akan di gelar di SMP Harapan Bangsa besok lusa. Artinya aku akan bertemu kembali dengan Ransi di acara itu. Rasanya tidak sabar menanti besok lusa, padahal dia baru ke rumahku seminggu lalu.
Mungkin karena sejak pertemuanku seminggu lalu, Ransi tidak pernah menghubungiku, itu yang membuatku semakin merindukannya. Ya, selalu saja begini, setelah ada hal besar yang terjadi saat kami bertemu, hari-hari selanjutnya dia hilang lagi bagai ditelan bumi. Entah sampai kapan siklus ini akan berakhir.
"Kayaknya Mbak Dira seminggu ini lagi seneng, senyum-senyum terus," goda Gina.
"Ah, masa sih?"
"Iya, dari hari senin hawa-hawa bahagianya udah kelihatan, padahal minggu ini kita baru closing satu." Katanya.
Aku kembali tersenyum malu, memang seminggu ini rasanya tidak ada hal yang bisa merusak mood-ku. Semua rasanya begitu indah, walau masih dalam ketidakpastian. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya saat Ransi mengenggam tanganku, atau saat aku mengusap pipinya yang halus. Atau saat dia berdiri di depanku dengan jarak yang sangat dekat, debaran itu masih terasa hingga sekarang.
Aku yakin malam itu Ransi memang ingin menciumku, tapi banyak pertimbangan yang membuatnya mengurungkan hal itu, apalagi mendengar pertanyaanku. Argh! Terkadang aku ini bisa menjadi bodoh! Kenapa juga aku harus bertanya seperti itu padanya.
'kamu mau nyium aku?'
Astaga! Aku sendiri bingung kenapa pertanyaan semacam itu bisa terlontar dari mulutku. Dan apa maksudnya dengan ingin membawaku pulang? Dan pelindung?
Aku pikir dia mungkin tidak ingin lepas kendali, makanya dia menggunakan helmnya dan segera berlalu dari hadapanku. Lagipula kalau memang malam itu dia benar-benar menciumku, pasti aku akan menanyakan maksudnya. Dia tidak bisa berdalih menggunakan kata teman atau sahabat saat dia benar-benar menciumku.
Jelas aktivitas seperti itu tidak dilakukan oleh kedua orang yang hanya berstatus hanya teman. Karena kami berdua sama-sama bukan orang yang terlibat hubungan bebas.
"Gin, menurut kamu kalau jatuh cinta sama sahabat sendiri gimana sih?" tanyaku pada Gina. Dia berpikir sebentar lalu menjawab, " Ya nggak papa sih kalau sama-sama cinta, naik level jadi pacar nggak ada salahnya."
"Kalau nggak ada status gitu? Ya cuma sama-sama tahu aja kalau kami saling suka." Kataku.
"Aduh, kalau itu susah Mbak, status itu penting lho."
"Tapi dia ada kode-kode gitu mau nikahin aku dua tahun lagi. Menurut kamu gimana?" Gina menatapku dengan kening berkerut.
"Jadi ngajakin nikahnya lewat kode gitu?" aku mengangguk.
"Saran aku sih minta kepastian Mbak sama dia, dulu aku juga pernah gitu, komitmen aja nggak pacaran, eh, waktu aku nungguin dia, dianya malah jadian sama orang lain." Aku tersentak mendengar ucapan Gina.
"Kok bisa?"
"Ya bisalah Mbak, kan nggak ada status, kita mau marah juga nggak bisa kan. Pacar juga bukan. Waktu dia jalan sama orang lain, kita bisa apa? Mau marah, emang pernah jadian? Terus kalau dia hilang gitu aja, nyebutnya apa coba? Bukan mantan pacar kan? mantan temen komitmen? Kan lucu." Aku tertohok sekali mendengar pernyataan Gina, benar juga ya, kalau sekarang Ransi ingin jalan dengan orang lain, aku bisa apa? Aku kan bukan siapa-siapanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Kode, Sembunyi Hati (Sebagian Part dihapus)
General FictionMenurut lo friendzone itu apa? Tempat main kayak timezone, tapi bedanya ini main perasaan. Semacam tidak memiliki namun takut kehilangan, semacam tak punya status namun merasakan kecemburuan.