03. Itu laki gue!

3.7K 361 114
                                    

"Setelah selesai sarapan, kita akan bicara."
Aming meletakkan sendok ke atas piringnya yang sudah kosong lalu mengelap mulutnya dengan serbet makan. Kemudian ia mengambil gelas minum dan menenggak isinya pelan.

Pinky tak segera menjawab. Perempuan itu dengan santai kembali memasukkan sesendok makanan ke mulutnya lalu mengunyahya pelan. Biasanya ia akan makan buru-buru. Profesinya sebagai seorang dokter terkadang memang harus membuatnya menghabiskan makan dengan cepat. Banyak pasien yang harus segera ia tangani hingga ia nyaris tak bisa menikmati makanan yang masuk ke mulutnya.
Tapi untuk kali ini, ia ingin berlama-lama menikmati makan pagi.

"Ngomongin apaan? Ngomongin kontrak pernikahan?" Ia bertanya santai sambil kembali memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Harus diakui, masakan Aming ternyata mak nyuss juga.

"Kontrak? Kontrak apaan?" Aming bertanya bingung.
"Kontrak nikah. Semacam perjanjian, gitu. Apa yang boleh dan yang nggak boleh dilakuin. Kan kita nikah cuma buat nyenengin ortu kita. Yaah, siapa tau aja kita bisa buat semacam pernyataan kira-kira kita bakal bercerai kapan?"

Braakkk!

Pinky nyaris tersedak ketika tiba-tiba Aming menggebrak meja.
"Kita baru aja nikah dan tega-teganya kamu ngomongin soal perceraian?!" teriaknya.

Pinky menelan makanannya dengan susah. Antara syok dan bingung dengan sikap Aming barusan.

"Sabar paakkk...," celetuknya sambil balas menatap lelaki yang duduk di seberangnya.
"Maksudku ... ,"
"Kenapa kamu ngomongin soal perceraian?"
"Kayak di drama-drama tuh. Pernikahan karena perjodohan biasanya dibarengi sama kontrak ini dan itu, perjanjian ini dan itu, dan kadang-kadang ada kesepakatan kapan perceraian bisa dilakukan." Pinky menjawab enteng.

Aming tampak syok. Entah kenapa dia terlihat begitu.
"Ini bukan drama, Ping. Ini realita. Jadi jangan berpikir untuk bikin kontrak. Faktanya kita udah menikah. Jadi kita akan berperilaku layaknya suami istri. Kita akan tinggal serumah, kita tidur seranjang, kita berhubungan sex, kita bakal punya anak ...,"
"Aku nggak mau punya anak." Pinky memotong.

Aming menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
Ia menegakkan punggung dan bersedekap tegas.
"Dan kenapa kamu nggak pengen punya anak?"
"Ya pokoknya nggak pengen dulu." Perempuan itu menjawab jengkel.

"Aku butuh alasan." Suara Aming berat, terkesan mengintimidasi.
Pinky mendesah lalu meletakkan sendok makannya ke piring.
"Kita kan nikah karena dijodohin. Ngomongin punya anak tuh agak canggung. Aku belum siap," ucapnya.
"Lha terus, apa kalo dijodohin maka kita nggak bakalan punya anak?"
"Kan nggak ada cinta di antara kita, Ming? Bikin anak itu harus dilakuin dengan penuh cinta. Samentara kita?"
"Ya maka dari itu kita harus saling mengenal lebih dalam biar ada cinta di antara kita." Aming berujar sengit.

Dan lelaki itu kembali berkata, "pernikahan itu sesuatu hal yang sakral. Orang menikah itu untuk ibadah. Supaya jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah ...."

Pinky garuk-garuk kepala.
Ini yang dia nikahi CEO apa pak ustad sih?

"Jadi terima aja kalo sekarang kita ini pasangan suami istri. Walau belum ada benih-benih cinta di antara kita, kita tetep akan tinggal bersama. Kita saling dukung. Dan membina rumah tangga yang baik, untuk anak-anak kita kelak."

"Pokoknya aku nggak mau punya anak dulu." Pinky menjawab sengit.
Karena ia masih ingin bebas.
Karena ia masih ingin berkeliling dunia.
Karena dia masih ingin menuntut ilmu lebih tinggi.
Karena ia masih berniat pergi ke Afrika untuk jadi relawan di sana.

"Kamu bukan lesbi, kan?"

Pertanyaan Aming sontak membuat Pinky terbelalak.

Braakkk!

MingkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang