10. Klik

3.1K 289 67
                                    

Aming menatap Pinky yang duduk merengut di pinggir ranjang.
Setelah berhasil memisah perkelahiannya dengan Icha di rumah sakit lalu membawanya pulang, Pinky tak membuka suara.
Ketika Aming berusaha mengobati luka cakar di kening Pinky, perempuan itu menolak.

Ngomong-ngomong, jangan membayangkan adegan memisah perkelahian antara Pinky dan Icha sedramatis perkelahian mereka.
Apa kalian pikir Aming akan menghambur ke arah mereka, berdiri di tengah-tengah laksana pangeran yang diperebutkan dua puteri sambil berteriak, "Cukup sudah perkelahian ini? Aku bukan benda yang harus kalian perebutkan?"
#uhuukk

Bukan.
Adegannya tidak seperti itu.
Faktanya, security rumah sakit yang datang menghentikan perkelahian tersebut. Dua security tak mampu meredam the power of jambak yang dilayangkan Pinky sehingga dipanggilah lagi dua Security hingga perkelahian itu terhenti.
Dua orang memegangi Pinky, sementara dua lainnya menarik Icha menjauh, membawanya pergi dari kantin. Setelah beberapa dokter rekan Pinky datang, menanyainya ini dan itu, barulah keributan itu benar-benar reda.

Lalu apa yang dilakukan Aming?
Seperti sediakala, ia bersandar santai di ujung meja counter sambil menatap perkelahian istrinya dengan takjub. Sesekali ia bahkan bersorak riang layaknya supporter bola manakala Pinky berhasil mendominasi serangan, atau melayangkan pukulan ke arah Icha. (Oke, Aming rada sableng sekarang!)

Ini pasti bercanda?
Enggaklah, ini serius.

"Sini kuobati dulu." Masih membawa obat merah dan kapas, Aming bergerak lalu duduk di samping Pinky.
Pinky beringsut menjauh. "Nggak mau," jawabnya sewot.
"Luka di keningmu harus diobati, Pink." Suara Aming lembut.
"Nggak mau." Dan Pinky melengos, masih tampak sewot.
"Berantemnya sama Icha, kok marahnya ke aku sih?" Suara Aming masih terdengar tenang.
"Biarin." Pinky menjawab pendek.

"Jadi ngambek-nya sama siapa nih? Sama aku ato sama Icha?" Aming masih saja bertanya dengan sabar.
"Kalian berdua." Dan Pinky tetap bersuara ketus.

"Emang aku salah apa sih? Ngomong dong." Aming menyentuh lengan Pinky, tapi perempuan itu menyentakkannya.
Ia mendengus lalu menoleh ke arah suaminya.
"Jadi bener kalau kalian berdua ketemuan?" Kali ini ia ngegas.

Aming mengangguk.
"Iya," jawabnya.
"Berduaan aja?"
Lagi-lagi Aming mengangguk sambil menjawab jujur, "Iya."

"Di kafe elit yang privat?"
"Iya."

Dan Pinky makin meradang, sementara Aming menatapnya tenang.
"Berapa lama kalian kangen-kangenan? Satu jam? Dua jam?"
"Nggak ada 10 menit kok,"
"Yakin?"
Aming mengangguk.

"Ngomongin apaan? Nostalgia? Ingat masa-masa pacaran? Melepas rindu?"
"Woa, tenang buuk. Bisa nggak nanyanya satu-satu aja ya?"
"NGGAK BISA!" Pinky ngegas lagi.

Aming mengulum senyum lalu menarik nafas panjang. Entah kenapa, kali ini ia seolah mendapat hidayah hingga kesabarannya menjadi luar biasa berlipat.

"Kami cuma sempat saling nanyain kabar bentar," Aming menjawab dengan sabar.

"Terus?" Pinky tak sabaran.

"Pertemuan kami cuma sekitar 10 menit. Aku mau menemuinya bukan untuk kangen-kangenan. Aku cuma minta ke dia secara langsung agar semua foto-foto kami di fesbuk di hapus."

"Terus?"

"Terus dia nolak. Dan, ya udah. Aku pergi, ninggalin dia."
"Yakin?"
"Iya."
"Cuma gitu doang? Nggak ngobrol lebih gitu? Cipika cipiki gitu?"

Aming kembali tergelak. "Cemburu ya?"

Pinky melotot. "KAGAK!" teriaknya.

Bukannya ikut sewot, Aming malah nyengir.
Pelan ia meraih tangan Pinky. Walau sempat disentakkan dua kali, toh ia tetap berusaha kembali meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

MingkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang