Setelah membanting pintu dari dalam, Aming berdiri dengan perasaan campur aduk.
Satu tangan ia letakan di pinggang, sedang tangan yang lain menekan pangkal hidung dengan lelah.Berharap bahwa Ia baru saja salah baca, nyatanya tidak.
Pinky akan ke Afrika.
Jadi relawan UNHCR di sana selama kurang lebih dua tahun.Aming tahu semua itu adalah cita-cita istrinya.
Tapi, jika ia benar-benar pergi ke sana, bagaimana dengan rumah tangganya?
Bagaimana dengan dirinya?Lelaki itu mendesis. Terhuyung, ia berjalan gontai ke ranjang dan menjatuhkan tubuhnya ke sana.
°°°
Makan malam yang biasanya dipenuhi celotehan Pinky, kini berlangsung senyap.
Aming asyik memasukkan makanan ke mulutnya dengan ekspresi datar.
Sementara Pinky yang duduk di hadapannya terlihat kikuk. Sesekali perempuan itu mencuri pandang ke arah suaminya dan jelas ia tahu, suasana hati pria itu sedang buruk."Ming..." panggil Pinky hati-hati. Ia memutuskan, mereka harus bicara.
"Hm?" Aming menjawab cuek. Masih fokus pada makanan di piring, menatap istrinya saja tidak.
Pinky menggigit bibir. Berusaha menahan diri agar pertengkaran di antara mereka tidak pecah.
"Soal surat pemberitahuan dari UNHCR, sebetulnya... surat permohonan untuk jadi relawan sudah lama kukirimkan jauh sebelum nikah. Jadi... ""Jadi?" Kalimat Aming dingin.
"Kontraknya akan berlangsung selama dua tahun. Menurutmu, aku harus gimana?"
"Nggak gimana-gimana," jawab Aming ketus. Pinky menggigit bibir lagi sembari menatap suaminya dengan perasaan campur aduk.
Sebetulnya Aming juga tak tega memberikan jawaban ketus seperti itu. Tapi tetap saja, ingat bahwa istri kesayangannya akan berjauhan darinya selama dua tahun, tiba-tiba ia didera amarah nyaris ubun-ubun.
Betapa ia ingin melarang istrinya berangkat, betapa ia ingin menolak mentah-mentah keinginan istrinya ke sana, betapa ia tak rela berjauhan dengannya.
Tapi begitu ingat bagaimana Pinky bercita-cita untuk mengabdikan ilmunya pada orang-orang yang membutuhkan, Aming merasa tak berdaya.
Sudah lama Pinky memimpikan kesempatan ini. Kesempatan yang bisa saja takkan terjadi lagi dalam kurun waktu yang cukup lama.
Apakah ia akan tega menghancurkan impian perempuan itu?
Tentu tidak."Jadi menurutmu aku harus berangkat?"
"Berangkat ya berangkat aja, gak apa-apa."
Aming menjawab dengan enteng hingga membuat Pinky nyaris menghambur ke arah suaminya dan menarik-narik rambutnya."Ming, ini Afrika lho?"
"Lha terus?"
Kali ini keduanya bersitatap."Afrika itu belahan bumi yang lain, jauh. Terus kalo aku ke sana, kita bagaimana?"
"Tapi itu impianmu, kan? Dan kamu pengen berangkat, kan? Ya udah, berangkat aja sana." Aming bangkit lalu melenggang meninggalkan ruang makan. Pria itu menuju ruang kerjanya dan ia membanting pintu dari dalam.
Pinky mendesah, menatap seisi ruangan yang makin terasa hampa.
Dan perlahan air matanya menitik.°°°
Keesokan paginya, Pinky datang ke Rumah Sakit dengan pikiran berkecamuk.
Matanya sembab, semalam ia banyak menangis.
Diskusi yang ia harapkan mampu mengurai keruwetan di kepalanya ternyata gagal total.Aming mengurung diri di ruang kerja, sehingga ia harus tidur sendirian.
Baru memasuki ruang lobi, Pinky disambut oleh perempuan cantik tinggi semampai dengan kaca mata bertengger di atas kepala. Tas branded seharga nyaris 400 juta menggantung elegan di lengan tangan.
Icha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mingky
Fiksi PenggemarPinky tak punya trauma tertentu pada perkawinan. Toh ia dibesarkan di sebuah keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Tapi entah, kehidupan pernikahan sepertinya tidak terlalu cocok dengan dirinya. Selama ini ia nyaman sendiri. Ia bahagia walau tak...