Joshua memasuki ruang kerja Pinky dengan tergopoh-gopoh.
"Aku udah tahu gimana wajah suamimu," ucapnya.Pinky meletakkan pulpen ke atas kertas lalu mendongak ke arah sahabatnya itu.
"Kamu bertemu dengannya? Kapan?"
Joshua menggeleng, "Dokter Giska yang nunjukkin fotonya ke aku."Pinky melotot. Ia bangkit seketika.
"Dokter Giska masih nyimpan fotonya Aming?"
"Masih, di ponselnya."
"Tapi kan dia bilang ponselnya masih rusak setelah terlempar dari luar jendela? Dan dia bilang semua datanya hilang, termasuk foto suamiku?"Joshua mengangkat bahu.
"Buktinya dia masih punya," jawabnya cuek.
Pinky menggebrak meja lalu bangkit.
"Berani-beraninya dia nyimpen foto laki orang di ponselnya," gerutunya. Perempuan itu meniup poni lalu beranjak."Jelek gitu."
Ucapan Joshua membuat langkah Pinky urung. "Apanya?"
"Suamimu," Josh menjawab.
"Setelah ku lihat foto di ponselnya dokter Giska, ternyata dia nggak cakep-cakep amat. Dewa Yunani apaan? Dekil gitu."Pinky berkacak pinggang dan menatap Joshua dengan kesal. Rasa lelah karena seharian ini ia harus menangani banyak pasien, belum lagi bolak-balik ke kampus karena janjian dengan dosen, membuat ubun-ubunnya panas.
"Kamu sensi amat sih? Masih sakit hati karena cintamu ku tolak?"Uhukkk, Joshua meradang.
"Pinky, kata-katamu itu..."
"JAHAT? Iya, lha terus?"
"Faktanya emang suamimu nggak ganteng-ganteng amat."
"Ya udah, untuk apa kamu kepo? Mup on, Josh. Mup on!"Ibarat kompor, Joshua nyaris saja meleduk.
"Siapa yang kepo? Siapa yang belum mup on? Kamu pikir aku nggak sanggup nyari yang lebih daripada Aming?"Pinky ternganga.
"Lebih daripada Aming? Maksudnya, lebih ganteng gitu?" Perempuan itu menutup mulut. "Josh, kamu... nggak hombreng, kan?"Joshua meringis. "Bukan gitu maksudku!" Ia berteriak. "Maksudku... ah, bodo ah. Pokoknya suamimu jelek." Pemuda itu beranjak, ketika melewati Pinky yang masih terbengong, ia menabrakkan pundaknya pada pundak Pinky dengan sikap kekanak-kanakan.
Bahkan sesaat setelah ia keluar dari ruang kerja perempuan, Josh masih saja sempat melongokkan kepalanya dari balik pintu sambil berteriak, "Suamimu jelek, titik."
Pinky yang tadinya berniat mencari dokter Giska serasa diserang vertigo mendadak.
Entah karena rasa lelah yang bercampur dengan perasaan jengkel, ngantuk, dan juga kelaparan.
Perempuan itu beringsut, duduk kembali ke kursinya. Berniat memanggil taksi untuk mengantarkannya pulang karena hari ini, ia memang sengaja tak membawa mobil. Kebiasaan, jika ia lelah menyetir, maka ia memilih untuk bekerja naik taksi saja.Baru juga mau menelpon, salah satu perawat menerobos dengan terburu-buru.
"Dokter," panggilnya.
"Apa? Ada pasien gawat?" tanya Pinky.
"Bukan. Anu, itu..."
Belum sempat perawat itu menjawab, sesosok tubuh jangkung muncul dari balik pintu.
Aming.Lelaki itu tersenyum dan berjalan santai memasuki ruangan.
Perawat muda yang berdiri tersipu di sisi pintu dan tampak tengah terpesona dengan sosok Aming, tiba-tiba mengaduh lirih ketika merasakan sesuatu mengenai kepalanya. Ia menoleh dan menemukan buntelan kertas di lantai.Menatap ke arah Pinky dengan ekspresi takut-takut, ia menyadari bahwa perempuan itulah yang melemparnya dengan buntelan kertas.
"Out." Pinky komat-kamit. Dan tanpa menunggu perintah kedua, perawat itu buru-buru beranjak, meninggalkan Pinky dan Aming berduaan.
"Tumben mampir. Ada apa?" Pinky bertanya dulu.
"Enggak. Aku nggak mampir kok. Aku emang sengaja datang kemari."
"Untuk?"
"Menjemputmu."
"Kan aku nggak minta dijemput?" Pinky bertanya lagi.
"Aku yang berinisiatif melakukannya," jawab Aming santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mingky
FanfictionPinky tak punya trauma tertentu pada perkawinan. Toh ia dibesarkan di sebuah keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Tapi entah, kehidupan pernikahan sepertinya tidak terlalu cocok dengan dirinya. Selama ini ia nyaman sendiri. Ia bahagia walau tak...