Sosok itu melenggang dengan santai memasuki kafe lalu duduk dengan nyaman di depan Pinky. Ia bahkan tak terlihat canggung ataupun kebingungan mencari tempat duduk yang telah mereka gunakan untuk janjian.
Orang tua mereka yang mengatur pertemuan ini. Mereka tinggal datang."Hai." Lelaki itu menyapa dengan suaranya yang husky.
Pinky mengerjap. Menatap sosok itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Mengenakan celana linen berwarna indigo dipadu dengan kemeja berwarna langit cerah yang ujungnya dimasukkan dengan rapi tapi lengannya ia gulung hingga siku.
Satu kancing ia biarkan terbuka hingga Pinky bisa mengintip tulang selangka yang kokoh.Pinky menelan ludah.
Wow.
Jangkung, atletis dan tampan.
Kakinya panjang, pinggangnya pas, dadanya bidang, bahunya lebar.Tatapan Pinky beralih ke rambutnya yang tebal, lalu ke matanya yang teduh, hidungnya yang bangir, bibirnya yang tipis, dan rahangnya yang persegi. Aristokrat sekali.
Ternyata maminya benar. Nama bisa menipu. Buktinya, nih orang namanya mirip tukang kebun tapi wajahnya tak kalah tampan dengan Charlie Puth.
"Aming?" Pinky memastikan. Lebih tepatnya sekedar berbasa basi.
Pemuda itu mengangguk.
"Dan aku tahu kamu pasti Pinky. Aku sudah lihat fotomu dari mamaku," lanjutnya."Oke, Ping. Jadi gini ...,"
"Jangan panggil aku, Ping." Pinky sewot. Demi Tuhan Yang Maha Esa, Ia paling nggak suka dipanggil 'Ping'.
Di ff sebelah juga 'Ping'.
Masa di sini 'Ping' lagi?
Ping?
Heuh, Ping Pong kaleeee ..."Panggil yang lain aja kek. Aku eneg denger panggilan itu," Pinky makin sewot sementara Aming tampak bingung.
"Lah, emang namamu Pinky, kan? Mau dipanggil 'ping' ato 'ky', itu masih wajar. Kalo namamu Pinky terus ku panggil endang, baru kamu berhak protes," sergahnya.Pinky kembali memutar mata kesal.
Sabaaarrr buukkk ..."Iya deh, terserah." Ia nyerah.
"Well, jadi gini ya, Ping ..."
Pinky menahan diri untuk tidak menubruk pemuda di hadapannya karena lagi-lagi ia dipanggil 'Ping'.
"Aku tahu ini sulit buat kita. Maksudku, kita belum mengenal satu sama lain dengan baik, tapi tiba-tiba aja kita harus nikah. But, trust me, kalo aku nggak melakukan ini, kalo kita nggak nikah, mamaku bakal minggat ke Tibet dan jadi biksuni di sana."Pinky melongo.
Lah, kok samaan ya?
"Mamiku juga ngancem kek gitu," desisnya.
Aming melongo.
Pemuda itu menyentakkan punggungnya di sandaran kursi dengan kesal.
"Sudah ku duga mereka bersekongkol," ucapnya.
"Mamiku bilang ia teman baik mamamu," Sahut Pinky.
"Iya sih, kalo nggak salah, mereka pernah satu kampus dan dengan jurusan yang sama."Keduanya berpandangan lalu mendesah. Pinky batal menyeruput minuman yang sudah ia pesan.
Tiba-tiba saja mereka jadi bingung mau ngomongin apa.
Mau nolak rencana pernikahan ini kok nggak mungkin.
Mau mengiyakan kok ya agak gimana gitu.
Secara fisik sih dua-duanya oke. Tapi 'daleman-nya'? Mana tahu."Kamu lagi nggak punya pacar 'kan?" tiba-tiba Aming bertanya.
Pinky menggeleng. "Kalo kamu?" ia balas bertanya.
Aming menggeleng. "Udah putus."
"Karena perjodohan ini?"
"Bukan-lah. Nggak ada kecocokan, itu aja." Ia menjawab ogah-ogahan, terlihat malas membahas masalah mantan.
Mantan? Kok Pinky kesel ya dengernya.Jangan-jangan kalo ntar mereka nikah, mantannya nge-drama lagi. Tuh, kayak di film-film gituh.
"Jadi gimana nih? Jadi nikah nggak?" Pertanyaan Aming yang to the point sempat bikin Pinky sebel.
Nggak ada pertanyaan lain?
Basa basi nanyain Pinky apa gitu? Hobi kek, kerjaan kek, ukuran sepatu kek.
Ini kesannya kok buru-buru amat. Kayak ogah-ogahan. Kayak nggak butuh.Bukannya Pinky nyosor. Toh sedari awal dia juga ogah sama rencana pernikahan ini. Tapi dia nggak suka diabaikan, apalagi sama cowok tampan.
"Ya udah deh, nikah ya nikah." Akhirnya ia menjawab.
Aming manggut-manggut.
"Oke. Sampai ketemu di hari pernikahan. Soal perkenalan dan yang lainnya, kita lakuin aja setelah nikah." Dan ia bangkit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mingky
FanficPinky tak punya trauma tertentu pada perkawinan. Toh ia dibesarkan di sebuah keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Tapi entah, kehidupan pernikahan sepertinya tidak terlalu cocok dengan dirinya. Selama ini ia nyaman sendiri. Ia bahagia walau tak...