Chapter 3

159 16 6
                                    

Aku harus membersihkan kelas yang sangat kotor ini dengan menggunakan sebuah sapu dan sendok sampah.

Seorang pria tampan, tiba-tiba masuk ke kelas yang aku bersihkan dan duduk dimeja guru.

Setelah kuperhatikan, ternyata dia adalah orang yang berlari sangan kencang itu.

Aku sangat terkejut karena dia masuk ke dalam kelas dan hanya ada kami berdua disini.

"Apakah kau adalah anak dari rekan kerja ayahku?" Ucapnya dengan sedikit dingin.

"Siapa? Om Ius dan anaknya Nino itu?" Aku mencoba mencari tahu apa yang dimaksudkannya.

Dia hanya mengatakan "Oohh..." Kata itu membuatku ingat akan Nino yang hanya merespon ceritaku yang panjang lebar.

Terus, aku bertanya "Kalau boleh tahu, kamu siapa yaa?" Tanyaku sopan dengan perasaan ingin tahu yang lumayan besar karena bersangkutan dengan Nino.

"Aku adalah adalah anak Om Ius sekaligus saudara Nino dan perkenalkan namaku Jackson Dasatria, panggil saja Son" Ucapnya dengan senyuman yang terukir manis diwajahnya yang membuat dia semakin tampan.

Kemudian akupun juga memperkenalkan namaku, dan saat kami berjabatan tangan ternyata tangannya juga dingin sekali.

Dia langsung pamit untuk pulang karena dia sudah ditunggu temannya di rumah untuk bermain bersamanya.

Aku mulai curiga dengan keluarga Nino, mungkin ada suatu rahasia besar yang tidak bisa diungkapkan.

Tapi, aku merasa terpanggil untuk memcahkan masalah dan misteri ini.

Aku kadang-kadang tidak bisa konsentrasi ataupun berpikir ketika bersama Nino, karena Nino telah membuatku jatuh cinta padanya.

Hari lepas hari bersamanya karena ayahnya sering berkunjung ke rumahku untuk bisnis (lagi).

Karena rumah Om Ius sangat jauh dari permukiman rumah kami, jadi mereka memutuskan untuk pindah ke rumah kami.

Jadi, setiap hari Nino dan Son selalu ikut aku kalau pergi ke kampus dan kini aku benar-benar jadi perbincangan hangat dikampus.

Nino dan Son sangat tampan, baik, dan nilai tertinggi umum dikampus sehingga banyak perempuan yang klepek-klepek sama mereka.

Kini, Chiki, Pas, dan Brain mulai tambah dekat denganku karena ingin mengetahui identitas mereka.

Mereka bertiga sudah tidak berani menggangguku karena hanya ingin tahu tentang mereka.

Tapi, kadang-kadang si Pas dan Brain sering mencari kesempatan untuk mengerjaiku agar mereka tidak bosan.

Waktu terus berjalan dan berlalu, kelaspun telah selesai.

Seperti biasa, Nino dan Son ikut bersamaku pulang.

Banyak perempuan yang iri padaku karena mereka kira aku merayu Nino dan Son untuk pergi dan pulang bersamaku serta mereka berpikir bahwa akulah yang terus menempel pada mereka berdua.

Aku menghiraukan perkataan mereka, seolah-olah mereka tidak pernah berkata apa-apa walaupun mereka sudah menyinggungku dengan menabrak dan berbicara keras.

"Perempuan tidak tahu malu! Mungkin urat malunya sudah putus, makanya dia tidak berhenti nempel pada orang tampan!" Teriakkan mereka membuatku ingin mempermalukan wanita gila seperti mereka.

Tapi, mereka bertiga berusaha menghentikanku agar menghiraukan mereka.

Akupun hanya mengangguk tanda setuju pada mereka.

Saat jam istirahat, seperti biasa.. Nino dan Son duduk disampingku untuk makan bersamaku.

Aku menyuruh mereka untuk duduk bersama teman-teman mereka disana.

"Mereka tidak menyenangkan diajak bercerita. Mereka hanya bercerita tentang perempuan dan hal-hal kotor lainnya" Ucap Son dengan tingkah malasnya.

"Kamu lebih seru dibandingkan mereka" Ucapan Nino membuat hatiku berbunga-bunga lagi dan telah memenangkan hatiku serta aku menganggap itu sebuah pujian yang sangat berarti bagiku.

"Tapi, itu bukan sebuah pujian" Ucapnya dengan disambut ketawa Son yang membuat orang disekitar kami memperhatikanku.

Aku mulai jengkel dengan mereka berdua dan aku segera pindah dari meja itu.

Chiki, Pas, dan Brain langsung pergi ke meja yang baru aku tinggalkan beberapa saat dan aku kembali karena khawatir Pas dan Brain menceritakan hal jelek tentangku.

"Kenapa kembali?" Tanya Nino dengan sedikit bercanda.

Aku hanya menghiraukan ucapan Nino dan segera mendengarkan cerita Chiki.

Pas dan Brain hanya memperhatikan Nino dan Son, tapi mereka berdua hanya makan dan tidak memperdulikan tatapan Pas dan Brain pada mereka.

Setelah selelsai makan, kami kembali ke kelas masing-masing.

Pas dan Brain pergi ke kelas Geografi, Chiki pergi ke kelas musik, aku dan Nino serta Son pergi ke kelas sosial budaya.

Selama pelajaran berlangsung, aku tidak bisa tenang karena mereka terus membicarakanku.

Saat dosen keluar sebentar, aku memanfaatkan waktu ini untuk mengatakan apa yang sudah aku pendam dalam hatiku.

Aku sudah tidak tahan mendengar mereka dan aku langsung berkata "Kalian bisa, tidak membicarakan aku dengan Nino dan Son? Kalau kalian iri denganku, kenapa tidak dekati juga Nino dan Son?" Mereka terdiam sejenak dan berbisik dari satu ke lain.

"Karena kami masih punya malu untuk tidak kelihatan gatal pada orang ganteng!" Ucap salah satu siswa yang agak jauh dari tempat dudukku.

Nino dan Son langsung melihat pada semua siswa di dalam kelas dengan tatapan marah, kecuali aku.

Tapi, entah mengapa, perkataan mereka membuat hatiku sangat sakit seperti tertusuk pedang yang beberapa kali dicabut dan ditusuk lagi.

Setelah, dosen kambali masuk, aku langsung duduk dan memperhatikan pelajarannya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Aku mengetahui bahwa mereka tetap membicarakan aku.

Di dalam hatiku, aku mungkin sedang menangis karena aku dasarnya adalah anak cengeng.

Sesudah selesai, aku pulang seperti biasa.

Son ada latihan untuk persiapan perlombaan renang, jadi aku dan Nino pulang berdua.

Saat di jalan, Nino tiba-tiba menarik tanganku untuk pergi ke suatu tempat dan yang pasti itu bukan menuju pulang ke rumah.


Bersambung ...

Cinta Sejatiku (Abadi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang