Songo

7.2K 500 40
                                    

Bisa dibilang ini penyakit turunan, sedang Emak bilang ini penyakit kambuhan.

Apa bedanya?

Sama pun, tiap kali diajak ngobrol masalah nikah tensi darah pasti naik, pala cenut-cenut, perut senut-senut, sampai sekujur badan kagak berasa lagi panas dalam.

Na tak tahu harus apa, ia tak nyaman dengan bahan obrolan yang emak pilih 'kapan Lindu datang ke rumah'. Jelas bukan nagih iuran sampah, tapi suruh ngelamar.

Aiiih ... Apa harus sekarang? Rasanya kurang telat, keduanya baru saling mengenal, belum sepenuhnya saling menerima satu sama lain.

Lindu tak tahu Na suka pisang goreng dicocol sambel, kebiasaan nyelipin celana dalam ke kantong celana sebelum masuk keranjang cucian, doyan nonton korea demi menjaga pandangan tetep seger liatin abang-abang bermata sipit, pelit, jarang kasih bonus lebaran sama karyawan, tak bisa masak, kerjanya cuma meracik soto sama ngitungin duit setoran, itupun sering ngamuk kalau kurang. Banyak hal yang belum Lindu tahu pun sebaliknya Na tak tahu apapun tentang pria yang digadang-gadang emak bakal jadi mantu.

Koreksi, satu hal yang Na tahu, Lindu punya kontol ukuran jumbo dan stamina yang kuat saat main kuda-kudapan.

Gila, setidaknya ia sudah berani jujur dengan dirinya sendiri.

"Gue ngga mau nikah." Rengek Na begitu keduanya berpisah dengan rombongan jamaah haji yang akan berangkat 15 tahun lagi, nunjuk emak sama bapak Na yang lagi berboncengan pakek da-da di depan motor keduanya yang sedang khitmad menyusuri area persawahan yang sepi.

"Gue belum ngajakin lo kawin." Lindu tak mau kalah bengalnya dengan Na.

"Trus, tadi apaan?"

"Gue cuma bilang cinta. I love you ... you love me, we are happy family." Malah nyanyi, Kampret.

"Gue ngga bego, oppa, kuping gue juga kagak budek. Gue denger sendiri kalo lo sama emak disuruh ngelamar minggu depan. Lo juga gila kenapa mau?!" Na ngamuk, mulutnya mulai ngomel panjang kali lebar tentang bagaimana bisa mereka bertengkar.

"Memang kenapa?" Nantang balik, "gue yang disuruh ngelamar ngapain lo yang panik?"

"Karena gue ngga mau."

"Kenapa?"

"Karena gue ngga cinta sama lo."

"Munafik, ngga cinta tapi lo mau aja gue entot."

Mata Na terbelalak, mulut Lindu perlu disaring terlalu banyak kotoran yang nyangkut dan lama kagak dikuras. Na kehabisan kata-kata, ia butuh amunisi lebih untuk meledakkan kepala Lindu atau cukup pungut sembarang batu di jalan dan lempar tepat di kepala si pria pasti langsung bocor.

"Apa yang bikin lo takuuut? Komitmen? Dikhianati? Atau justru diri lo sendiri?"

"Emang kenapa gue?"

"Gue dah denger versi punya Anya." Lindu mengambil langkah mendekat, membiarkan Na berpaling tapi tidak untuk mengacuhkannya. "Sekarang gue mau denger langsung dari lo."

"Ngga ada cerita, semua udah tamat." Ujar na

"Belajarlah dewasa, berbagi masalah dengan orang lain, luka itu memang tak akan sembuh sepenuhnya, setidaknya lo tahu ada yang peduli."

"Kayak lo peduli sama gue." Na mencibir.

"Ya, gue peduli."

"Lo bukan siapa-siapa gue."

"Tidak benar, gue udah kawinin lo secara sah."

"Berhenti, ganggu hidup gue!" Na berteriak marah. "Lo cuma ngawinin gue macam anjing bukan sebagai manusia yang hakekatnya menikah karena cinta."

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang