Patbelas

4.9K 401 24
                                    

Sampai adzan azhar berkumandang perjalanan mereka masih belum menemukan titik terang. Sepanjang jalan hanya hutan belantara dengan pepohonan menjulang pongah di kiri-kanan.

Beruk saja sudah tak sudi menyapa keduanya. Hewan buruk rupa itu memilih menyingkir pergi, kembali ke sarang bergumul dengan kawanannya. Pulang setelah seharian mencari makan lalu tidur nyenyak semalaman, hampir saja Na menaruh iri kalau tak ingat misinya yang hendak ke barat mencari kitab suci.

Ngga denk. Dirinya kan bukan jelmaan siluman kera nakal yang dikurung di bawah gunung selama 500 tahun. Tapi, babi mesum yang sibuk memberi kesenangan pada pak sopir dengan menjilati ujung pentungan beliau.

Pajak perjalanan, kata Lindu sebagai ganti ongkos perjalanan karena dirinya sudah rela menemani sang kekasih jauh-jauh ke pelosok nyariin Mak Lampir yang hampir menghancurkan hubungan mereka. Betapa baik hatinya dia.

Bohong, dia mah cuma maling kutang yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Makin banyak waktu yang dihabiskan berdua makin banyak keuntungan yang di dapat, dari pada mantengin Na di rumah calon mertua dan hanya diganjar muka sinis si emak.

"Aahh ..." Lindu meringis saat pentungannya kena gigi depan Na. "Jangan dikunyah."

Na mendongak dengan mata geram. "Lo kira gue kanibal." Lalu balik menunduk dan melumat milik Lindu yang panjang, berurat,  mengeras, dan panas.

Permukaan lidah Na terasa kasar dan panas juga basah menyentuh bagian paling perkasa nan sensitif milik si pria. Bibirnya mengerucut memberi pijatan dari atas ke bawah kemudian naik lagi ke atas lalu turun lagi, gitu aja terus, naik turun yang membuat Lindu terbang ke awang-awang. Dihisapnya berkali-kali ujung batangan kemaluan itu sambil membelai dua gundu yang bergelantungan manja nan menggoda.

Pandangan Lindu berkabut saat mendekati puncak. Mobil berhenti mendadak membuat kepala Na terantuk kemudi. Tanpa sungkan si perempuan langsung mengumpat, tapi keburu kena semprotan peju tepat di muka.

"Kampret!!" Teriak Na yang langsung bangkit dari selangkangan Lindu dan sibuk mengorek isi tas, mencari tisu. Setengah mukanya belepotan peju, ujung rambutnya juga kena. Begitu didapatnya sebungkus tisu di tangan segera dilap.

Si abang tersenyum puas melihatnya lalu menarik wajah Na mendekat, dikasih ciuman sebagai bentuk terima kasih. Awalnya hanya sekilas, lama kelamaan berubah menjadi liar dan saling menuntut. Tak peduli juga mulut Na bau peju. Lahap ja si abang mencipok.

Na menjulurkan lidah dan Lindu langsung menghisapnya dengan semangat empat lima yang langsung luruh disergap kompeni berwajah cemong, menampakkan diri di kaca depan.

Lindu geram tindakan tak bermoralnya diinterupsi orang tak dikenal. Sambil betulin retsleting celana pria itu mengumpat kemudian membuka pintu mobil siap melabrak si orang asing. Tak peduli muka Na masih acak kadut habis dikeroyok si abang.

"Apa?" Lindu berlagak pinggang menghadapi si kompeni jadi-jadian.

Ditelisik dari mukanya kayak orang asing. Rambut ikal sebahu sewarna tembaga, berhidung panjang, kulit pucat, cambang membingkai pinggiran wajahnya, dan paling mencolok warna mata yang biru. Saat berhadapan dengan Lindu jelas si abang kalah tinggi, kira-kira beda satu kepala.

Pria itu Danish Muller, pria kebangsaan denmark yang nyasar saat berpetualang, backpacker. Sudah dua bulan ia tinggal menetap di pinggiran hutan bersama seorang pria tua yang tinggal serumah dengan empat ekor kambing, satunya bunting kagak jua beranak.

Sebenarnya ia hendak pulang sehabis merumput, tapi melihat mobil Lindu yang berhenti mendadak mengurungkan niatnya dan hendak mencari tahu apa yang terjadi.

Gilanya ia malah disuguhi adegan mesum dua mahkluk Tuhan yang menggelitik syahwatnya. Maklum saja dua bulan di mari ia tak bisa menemukan satupun perempuan yang bisa diajak main api. Semua perempuan di desa tempat dia numpang idup selalu menjunjung tinggi adat ketimuran dan sangat menjaga pergaulan dengan lawan jenis.

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang