"Kamu sudah mengambil keputusan?" Emak bertanya langsung tanpa mengambil tempat untuk sekedar duduk dan bicara dengan selayaknya ibu dan anak.
Suasana warung masih lenggang, waktu makan siang sudah lewat dua jam. Na hanya sedang menyibukkan diri saat ibunya datang.
"Tumben kagak salam?" Na berbasa-basi takut emak nodong lagi kapan kawin. Kenyataannya emak langsung to the point.
"Tolak saja." Mata Na terbelalak tak percaya, "ibu ingin kamu menolak lamaran Lindu," emak kembali menegaskan.
Na masih binun, sepertinya telinganya sedang error atau justru otaknya yang salah menanggapi ucapan emak. Wanita itu, ibunya sendiri yang sejak dulu rajin merongrong suruh kawin sekarang malah menyuruhnya menolak lamaran pria yang sebelum diagung-agungkan sebagai the best calon mantu.
"Kamu dengar apa yang ibu bilangkan?"
"Denger sich, cuma kagak yakin bener kagak ibu bilang suruh nolak lamaran Lindu. Beneran boleh ditolak?"
"Iya, tolak saja."
"Kenapa?"
Sesaat emak diam, mencari cara untuk mengatakan alasannya tanpa membuat Na terluka. Entah drama apa yang sedang mereka mainkan. Tak ada orang tua yang rela anaknya harus menanggung dosa di masa lalu, tapi tak dipungkiri darah yang sama mewariskan karma yang harus ditebus dengan air mata darah.
Semua berawal sepuluh tahun sebelum Lindu ada. Seorang wanita bernama Luka, Aslukah dihadapkan dua pilihan antara pilihan orang tua dan pilihannya sendiri. Seorang pria muda bermasa depan cerah menapaki karir sebagai driver ojek dan pria tua berbini dua yang kaya raya.
Entah bagaimana ceritanya yang emak dengar perempuan bernama Luka itu akhirnya tak jadi menikah dengan keduanya, tapi justru melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia tak akan ambil pusing jika saja bukan suaminya yang menghamili perempuan itu.
"Oh, jadi Na punya abang?" Na rada telmi. Ia mah bersyukur aja punya abang dadakan, lumayan bisa nodong pinjem duit kalo kepepet juga ada yang bantu patungan buat modal kawin kelak. Nanti, seandainya ia berubah pikiran.
Emak malah mendengus kesal melihat anaknya yang terlalu lugu menghadapi kenyataan pahit bahwa pria yang ia cintai adalah kakak lain ibu.
"Kok bisa?" Na masih tak percaya, habis kayak lagi nonton sinetron. "Emang ibu tahu dari mana? Ayah yang dateng kasih tahu? Serem amat." Wajah Na ngeri membayangkan bapak kandungnya sendiri bangkit dari kubur dan mengabarkan kepada sang ibu lewat mimpi.
"Bukan ayahmu yang kasih tahu, tapi mbok yah. Kamu tahu ndak kenapa bapakmu mati?"
"Ya karena udah waktunya. Kalau kelamaan kasian yang lain kagak dapat jatah kawin ama janda kembang," praktis si emak langsung mencubit paha Na, saking kesalnya. Punya anak gadis satu errornya kagak ketulungan.
"Bapakmu mati bunuh diri bareng selingkuhannya."
"Bukannya mati waktu menambal ban kereta?" Masih juga bego.
"SIJI! POKOKNYA IBU KAGAK KASIH IJIN KAMU KAWIN SAMA DIA!!"
Alarm tanda bahaya, emak tak kan sebut nama katepe dia kalau bukan sudah naik darah. Berarti semua yang emak katakan ada benarnya. Benar yang ngomong mbok yah, belum tentu bener Lindu abang lain ibu dia.
Fakta harus terungkap, mau tidak mau. Habis sebel masak dia inces sama abang sendiri, macam babi aja. Kalau bener selama ini dia dosa donk.
Emang sich dosa, namanya juga zina. Mereka sudah melanggar aturan agama. Untung kagak kebobolan kalau tak makin lama dia direndam api neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siji
عاطفية"Namamu bukan Lindu jika hanya diam dan tak membuat masalah." "Namamu juga bukan Siji kalau ada KW-nya." Preeet