Sisipan

5.7K 572 35
                                    

Sebagai ganti rugi kemaren kagak update.

***

"Gue mau pulang!" Teriak Na histeris penuh kepedihan.

Sekarang ia tahu rasanya ikutan reality show hidup sebagai orang serba kekurangan. Rumah Lindu bocor, banjir bandang. Dirinya hanya bisa pasrah duduk di pojokan dipanggil. Satu-satunya tempat teraman dari genangan air dan tik-tik bunyi bocor di atas genteng ... malah nyanyi, beh.

Lantainya becek dipenuhi ember, besek, kaleng biskuit, dan apapun yang masih bisa dipakek menampung air cucuran atap. Si Lindu malah ngorok. Macam tak ada satupun musibah di bumi ini yang bisa mengusiknya. Kecuali satu, tendangan halilintar jurus dadakan Na yang mampu membuat si abang jatuh terpelanting.

"Sial, apaan sich lo?"

"Bocor!" Teriak Na yang tak sanggup menghadapi cobaan ini.

"Lalu apa?" Lindu langsung berdiri dan berkacak pinggang.

"Pulang ..." pakek mewek.

"Tidur!" Bentak Lindu, "besok pagi baru gue anter." Lanjutnya menawarkan solusi yang tak dikehendaki Na.

"Kok bisa sich lo hidup macam ini?" Na mendadak drama, "bukannya lo punya duit lebih buat nyari rumah yang bener."

"Jangan lebay, tidur," ucap Lindu tak terbantahkan. "Belajar bersyukur, lo masih bisa idup sampai sekarang di luar sana kagak pasti semua orang dapet tempat neduh macem lo."

"Oppa, lo biasa idup sendirian macam ini?"

"Ya," jawab Lindu yang sudah kembali berbaring di samping Na.

"Apa akan terus seperti ini?"

"Diam, dan tidurlah. Lo sendiri juga kagak bakal mau nemenin gue idup susah."

"Siapa juga yang mau dibikin susah." Gerutu Na yang ikut berbaring memunggungi Lindu. Pria itu tak peduli, ia justru memeluk Na dari belakang. "Awas kalo grepe-grepe!" Lanjut Na mengancam, tapi tak menyingkirkan tangan Lindu yang sudah melingkar di pinggangnya.

***

Tak ada yang terjadi semalam. Na kehilangan gairah bercinta, tak peduli Lindu merajuk di tengah malam, meremasi payudaranya. Ia bukan kambing yang bisa dientot semaunya, setidaknya harus berada di tempat yang layak.

Karenanya, pagi-pagi Lindu langsung pasang aksi macam Thor. Bersenjata palu ia naik ke genteng, benerin yang bocor. Na menjadi mandor dan meneriakinya bodoh karena lupa pakek kolor. Belahan pantatnya kelihatan dari jauh, bahkan tukang sayurpun bisa liat dengan jelas.

"Mbak ini bininya mas oppa ya?" Tanya abang tukang sayur saat Na menyuruhnya berhenti dan memborong semua bumbu yang ada.

"Bukan," jawab Na ketus, "bang, punya kangkung?" Lanjutnya sambil nyomot tempe ama tahu.

"Ada," jawabnya sopan sambil nyodorin kangkung yang diidam-idamkan Na.

"Berapa semua?"

"Lima puluh."

"OPPA!" Teriak Na bikin kaget si abang.

"Apa?!" Sahut Lindu yang masih asyik di atas genteng.

"Bayar!" jawab Na ketus.

"Ambil dompetnya di dalam!"

"Di mana?!"

"Di atas tipi!"

Na langsung inspeksi ke dalam rumah dan menemukan segepok uang dalam dompet Lindu, yang bikin level kegantengan Lindu naik drastis. Setelah bayar belanjaan Na lupa kalau di rumah tak ada beras. Si abang mengarahkan Na untuk keluar gang. Jarak dua rumah di sebelah kanan ada toko. Ia juga bisa beli sabun.

"OPPA!"

"APA LAGI?!" Lindu mulai tidak nyaman dengan teriakan Na.

"Gue keluar bentar, ntar kalo selesai benerin genteng jangan lupa ngepel."

"Cerewet!"

***

Macam anak sekolah, Lindu dipaksa mandi pagi. Bajunya bahkan sudah disetrika rapi lengkap dengan sempak dan kaus dalam. Na bahkan membantunya menyisir rambut dengan model belah tengah.

Culun kali muka lu, Bang. Hahaha ...

"Apa sekarang gue boleh makan?"

"Sebentar lagi," timpal Na sambil membenahi letak kancing baju si abang yang asal. "Ok, sekarang lo boleh makan."

Lindu menyendiri nasi dan sayur. Ia tak suka makan tahu atau tempe yang menurutnya macam orang susah.

"Jangan pilih-pilih makanan," hardik Na, ia juga tak segan memindahkan sepotong tempe ke dalam piring Lindu. "Makan yang baik dan kau akan tumbuh besar."

Lindu mengumpat, memaki Na yang asyik main rumah-rumahan dan berperan jadi mama. "Gue lebih suka main dokter-kedokteran."

"Cita-cita yang bagus, tapi lo butuh lebih banyak energi untuk itu." Ejek Na sambil menambahkan potongan tempe dan tahu.

Lindu menatap Na dengan mata menyelidik, perempuan itu tak serewel sebelumnya. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Apa karna baru mandi?

Ia langsung ngaca. Sama aja, ucap Lindu dalam hati.

"Tadi gue belanja agak banyak sekalian isi kulkas, kalo mo masak bumbunya juga sudah ada di dapur."

"Banyak duit lo," Na memamerkan senyum terbaiknya. Lindu langsung ingat duit dalam dompet yang bakal bayar kredit motor sama sewa kontrakan.

Mampus lu, Bang.

***

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang