Wolulas

5.8K 472 149
                                    

Wanita butuh diperjuangkan, bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan tindakan. Kenyataannya, yang ingetin makan kalah sama yang ngajak makan. Pun demikian dengan perjuangan abang yang baru lima meter udah keok!

Tersungkur mencium aspal karena pinggang udah kemakan umur kagak kuat nahan berat badan Na yang makin lama makin melebar. Bokong semok pipi montok, kata Lindu. Ngegemesin iya, kagak nahan juga. Dalam artian suruh gendong.

Bukan cuma Lindu yang gagal dalam ujian kehidupan ini, Na juga. Sebagai calon istri yang baik harusnya dia peka, sadar kondisi calon suami yang tak kuat menahan cobaan dan memberikan suport. Malah ngebacot, mengatai Lindu letoy, tak bertenaga.

"Gu-e ..." si abang narik napas, kepayahan Na masih nangkring cantik di atas badannya yang setengah tengkurap berkelung tas bawaan Na yang isinya lumayan berat. Bikin kepala nyaris copot. Bagian ini mengingatkan kita sebagai manusia untuk tidak takabur.

Sadar, Bang, siapa yang duluan ngajakin main gendong.

"Udah segini doank?" Na meledek, tapi tetap tak mau turun dari punggung Lindu.

Beruk yang ditengarai sebagai dalang hilangnya mobil mereka cuma bisa duduk anteng, mantau dari jauh sambil ngunyah rumput segar campur pipis sapi.

"Gu-e ..." napas si abang tetep mengkis-mengkis. "Turun dulu, ntar lanjut lagi." Lindu mengintrupsi, menyuruh Na turun dengan paksa karena itu perempuan masih saja duduk diam kagak bergerak barang sesenti. Imbasnya Na jatuh, pantatnya mendarat dengan bebas di atas aspal yang kasar dan terasa panas oleh sentuhan sinar matahari.

"Fix, gue bisa cari yang lain."

Lindu ingin membalas umpatan Na sayang napasnya tinggal setengah. Jadilah ia diam seribu bahasa seraya memompa udara keluar masuk dengan mulut mangap, tidur terlentang di pinggir jalan.

"Oppa," Na merajuk melihat keadaan sekitar.

Sepi, hanya kawanan beruk yang lalu lalang menampakkan pantat yang semoknya sungguh aduhai. Matahari yang sebelumnya bersinar cerah kini tertutup awan, menyisakan mendung gelap menakutkan.

Na mulai menghitung jarak, membandingkan mana yang lebih jauh. Balik ke kampung atau lanjut mencari jalan pulang. Dua-duanya sama-sama beresiko, bikin capek.

Kondisi Lindu juga tak memungkinkan untuk dimintai tolong. Biarlah itu laki rehat bentar, nanti jalan lagi cari tebengan anggep ja MTMA. Walaupun terpaksa, ngga niat, dan tak siap lahir bathin. Ndak apa, sungguh.

Biarlah menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. Sebagai dongeng untuk anak-anak mereka kelak. Manis sangat lamunan macam ni. Sah saja belum bayangin anak.

Ini bapaknya aja belum karuan. Masih bisa hidup tidak.

"Oppa," Na jongkok di samping kepala Lindu, "Jangan bikin susah, bangun gih. Sambil duduk aja, jangan kayak orang mati buruan minta dikubur." Na menowel pipi Lindu yang kembang kempis, dibuat-buat.

Tangan perempuan itu langsung ditarik hingga membuat tubuhnya oleng dan jatuh di pelukan abang. So sweet, andai kata mainnya bukan dipinggir jalan dan jadi tontonan beruk.

"Oppa!"

"Nanti kalau kita menikah manggilnya abah-mamak ya."

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang