Papat

7.9K 749 103
                                    

"Na ngga percaya kalian lebih dengerin omongan orang daripada anak sendiri."

"Mereka tidak akan bicara tanpa alasan."

"Orang tak butuh alasan untuk bergosip."

Na berhasil membungkam mulut emak. Kurang ajar, ia tahu. Tapi, apa ia punya pilihan lain?

Sejak pulang ke rumah ia terus dirongrong dengan pertanyaan yang sama, dan itu menyebalkan. Perutnya bahkan belum diisi apapun.

"Na minta maaf," ujar Na pada akhirnya. "Kalian pasti sangat kecewa, Lindu orang yang baik, tapi kami tidak seperti yang kalian bayangkan. Bahkan tak sedekat itu untuk menjalin sebuah hubungan.

"Apa yang kalian dengar hanya sebuah lelucon, tak lebih."

Bapak tak membuka suara, beliau hanya mengangguk kepala menyatakan bahwa ia mengerti dengan penjelasan Na. Beliau juga menyuruhnya segera masuk ke dalam kamar.

Emak ... masih berkaca-kaca. Perempuan itu sekali lagi patah hati. Harapannya melihat sang anak bersuami kandas bahkan sebelum semuanya dimulai.

***

Bangunan itu nampak tua menandakan umurnya yang lebih separuh abad. Polesan warna cat menguning tak menutupi apapun selain menghilangkan kesan kusam dan kotor yang tertinggal lama sebelum Na memutuskan melakukan perubahan.

Hari ini ia sudah memutuskan menutup warung dan melakukan renovasi. Sayangnya, ia sangat bodoh masalah pemilihan warna atau cara mengatur dekorasi yang benar. Warna kuning adalah warna tai. Mendadak ia jijik dan memaksa Hans pergi ke toko bangunan guna menukar sisa kaleng cat yang belum dibuka dengan warna lain.

"Terserah," jawab Na saat Hans tanya minta warna apa.

"Pink!" Embi bersuara.

"Kau kira kita jualan beha?!" Na siap menerkam.

"Itu warna yang bagus," gadis bermata sipit itu memberi pembelaan, "atau pakai warna ungu."

"Lalu orang pasti menyangka yang punya warung ini sudah janda."

Dua perempuan itu terus berdebat tentang warna apa yang lebih baik. Pandu menimpali dengan warna hijau. Kesannya adem dan kalem. Na setuju, tapi langsung murka begitu melihat hasilnya.

Dinding warung nampak gelap dan seperti lumutan. Hans ternyata buta warna. Saat si penjaga toko bilang ijo dia percaya saja. Tak tahu ijo apaan.

Mungkin akan lebih baik jika ia membakar warung ini lalu membangunnya ulang, macam holang kayaahh ... duit dari mana coba. Buat ngecat aja udah habis banyak.

"Harusnya kita punya konsep sebelumnya," Pandu Kampret, dia yang sebelumnya nyuruh pakek ijo sekarang malah berkhotbah. Dua jamaahnya Embi dan Hans mengamini. Duduk bersila macam orang bego.

Na seorang harus kuat menahan cobaan. Sambil mengurut dada ia nyebut ... but, but!

Hanya bergetar, satu pesan masuk dan langsung merubah suasana hatinya menjadi lebih baik.

"Gimana, Mbak?" Pandu mohon dukungan.

"Terserah, kalian urus masalah ini. Gue mo keluar, ada orderan masuk." Nyadar ngga apa yang dia omong.

***

Tak ada yang tahu ke mana Na membawa kabur motornya, sampai perempuan itu berhenti di depan sebuah rumah-di mana banyak orang tengah sibuk keluar masuk, melakukan ini dan itu. Tanpa janur kuning terpasang di gapura, Na sudah bisa menebak kalau di sini bakal ada hajatan besar-besaran.

Baru buka helm, Na sudah disambut ibu-ibu yang sibuk mainan hape. Si ibuk melambai manja penuh semangat pada Na. Isyarat langsung disuruh parkirin motor di garasi.

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang