Sepuluh

5.5K 514 49
                                    

"Jangan sembarangan utak-atik hape orang," protes Na saat Lindu sibuk memasukan nomor miliknya sebagai panggilan cepat di hanpon milik Na.

"Biar gampang komunikasinya," sergah Lindu tanpa peduli pada Na yang manyun dan memasang wajah jutek. "Minggu depan gue mo ikut touring ke Bali bareng yang lain. Sapa tahu lo kangen atau ... ikut aja gimana?"

"Kayak gue kurang kerjaan banget," tolak Na. "Sini, balikin hape gue." Na ngotot merebut kembali hape miliknya dari Lindu, hanya ia kalah tenaga. Pria itu justru memeluknya dengan sebelah tangan dan mengambil gambar berdua dengan tangan yang lain.

Lindu dengan tampang mesum mencium pelipis Na, si perempuan yang nampak tak rela mencoba mendorong muka Lindu jauh-jauh.

"Iseng banget," Na menggerutu sambil membenahi rambut yang acak-acakan. Belum sempat ia hendak mengulurkan tangan hendak mengambil kembali hape miliknya. Seseorang memasuki kafe dan membuat wajahnya makin ditekuk.

Ia harus menemui Anya, sesuai petuah yang diberikan Lindu kalau tidak ia harus mengembalikan uang milik pria itu yang ia habiskan tempo hari.

"Uangnya gue pakek belanja keperluan lo juga," Na yang tak terima.

Lindu tak peduli, ia tetap ngotot menyuruh Na bertemu dengan Anya dan menyelesaikan masalah keduanya.

"Kami tak punya masalah,"

"Lalu kenapa lo seperti menjauhi dia?"

Na diam, tak memiliki jawaban yang artinya Lindu menang dan Na harus ikut apa kata dia.

Susah memang, sekalipun waktu sudah terlalu mengikis segala luka tetap aja empet liat mantan teman yang sempet jadi musuh, tak sepenuhnya memang. Di sini Na sendiri yang sibuk dengan kebencian dalam hatinya dan menyalahkan Anya yang membuat emak bapaknya kalap lalu over protektif padanya.

"Hai," Anya menyapa keduanya.

"Gue mo ambil minum sebentar, Anya sekalian mo pesen apa?"

Si teman lama hanya menggeleng sopan, membiarkan Lindu pergi meninggalkan keduanya untuk bicara, tak lebih. Tak ada adegan jambak-jambakan atau tangisan penyesalan macam di tipi.

Anya yang lebih dulu bicara, menyebut Na beruntung bisa bertemu dengan pria sebaik Lindu. Pria lain mungkin tak mau direpotkan dengan masalah wanita.

"Aku tak punya masalah denganmu," untuk sesaat Anya ragu apa benar apa yang ia dengar. Bukankah itu berarti Na sudah memaafkannya. "Aku hanya terlalu kesal dan sedang tak ingin bicara."

"Apa itu juga masih berlaku sekarang?"

Na mengangkat bahu yang sebenarnya ia mencoba berdamai dengan dirinya. "Gue ngga tahu lo dah kawin."

Perubahan gaya bicara Na membuat Anya sedikit lebih baik. "Sebenarnya masih pengantin baru," jawabnya malu-malu.

"Dah coba gaya apa aja?" Na geblek macam yang nulis hihihi ...

Na berani bertaruh pasti paling sering W.O.T. Dengan body sumo tak mungkin Anya berani ambil resiko memakai gaya misionaris. Bukannya enak malah bisa mati kegencet dia.

"Apaan sich?" Anya malu-malu menunduk, macam anak perawan. Beh ... Jangan-jangan mereka belum pernah begituan.

OMG

"Kalian dah nikah berapa lama?"

"Baru seminggu."

Na menghela napas, "pantesan, dijodohin?"

Anya mengangguk, "lo sendiri sama Lindu gimana?"

"Ngga gimana-gimana," jawab Na cuek sambil nyedotin isi dalam gelas yang sebenarnya udah habis.

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang