Problem - 4

28 3 0
                                    

Langit diwarnai oleh semburat merah keorangean yang membuat manusia dibumi ini memandang nya penuh takjub.

Maura sedang terdiam di lapangan yang tak cukup luas namun cukup tertata rapi. Ia melangkahkan kaki nya lalu mengambil sebuah bola basket yang tergeletak di lapangan yang dipenuhi gemericik air.

Ia mulai memantulkan bola itu sesekali atau biasa disebut drible. Ia melompat dan memasukan bola basket itu ke dalam ring. Hap! Masuk!

Maura tersenyum senang melihat bola itu masuk ke dalam ring dengan sempurna.

Ia terus memainkan bola itu hingga masuk ke dalam ring berkali kali.

Hingga semburat keorangean itu terganti oleh langit biru gelap yang pertanda sudah malam. Gadis itu mengambil ponselnya dari saku celananya tertera di ponselnya pukul 17.30.

Ia melangkahkan kaki nya pergi dari lapangan itu dan berjalan menuju komplek perumahannya.

Dia terdiam saat sampai di depan rumahnya.

"Keluarga yang sangat sibuk." Dia terenyum dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Tak ada siapapun disana, sepi. Hanya keheningan yang menemani, karena kesepian ini Maura lebih suka hingar bingar dan gemerlap yang terpancar dari setiap suara yang terdengar di pendengarannya.

Maura benci namanya sepi, sunyi atau senyap karena saat ia merasakan itu. Ia merasa bahwa dirinya hanya sendiri di dunia ini. Tak ada yang mengertinya, begitu menurutnya.

Maura berjalan ke arah sofa dan menyalakan televisinya. Ia menambah volume televisi untuk meluapkan segala kesepian yang ia rasakan dirumahnya.

Ponsel dalam saku nya bergetar. Maura terburu buru mengambil ponsel itu dalam sakunya dan melihat ada sebuah panggilan masuk.

Devan Arthur Calling you.

Maura tersenyum senang karena tak menyangka seorang Devan menelponnya. Padahal Devan sama sekali tak pernah menjawab pesannya sekalipun.

Maura mengangkat panggilan itu dengan raut wajah senangnya.

"Haiiii! Vaaaan."

"Maura cepat ke luar rumah."

"Ha?"

"Sudah cepat Maura. Lama sekali."

"Oh iya iya. Siap kapten."

Maura tak mendengar suara apapun dari ponselnya. Sungguh terlalu Devan menutup ponselnya tanpa kata kata terakhir, memang laki laki sialan.

Maura melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya. Maura tersenyum senang saat melihat Devan yang berada di halaman rumahnya dengan pandangan menoleh ke kanan dan ke kiri. Maura terkekeh geli.

Maura menghampiri Devan. Ia memandang Devan yang masih belum tersadar bahwa ada dirinya di depan nya.

"Astagfirullah." Devan mengucapkan kata Istighfar saat melihat Maura yang berada di hadapannya sangat dekat.

Maura menekuk mulutnya kebawah karena ulah Devan yang menganggapnya seperti setan dalam benak Maura, Devan lah yang setan ataupula Iblis!

"Ih apansi, Van! Kek gua setan aja kalo nggak iblis."

Devan mengalihkan pandangannya ke kanan dan ke kiri lagi. "Emang lo iblis."

Maura memajukan bibirnya, kesal.

"Kenapa lo kesini? Tau darimana rumah gua?"

Devan memandang Maura yang sok cute, menurutnya. Devan hanya menggelengkan kepalanya.

About ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang