PROLOG

430 16 3
                                    


Benar, tiba-tiba saja aku sedang berdiri di bawah guyuran hujan deras malam ini. Aku lupa sudah berapa detik, atau menit, atau bahkan jam aku berdiri mematung di tempat ini. Yang jelas sudah cukup lama untuk membuat semua tubuhku menggigil, untuk membuat kulit-kulit jemariku keriput menjijikan. Dan yang paling aku tidak suka adalah bunyi gigiku yang beradu. Berisik dan mengganggu.
Lalu apa lagi ini? Kenapa mataku terus mengeluarkan air? Apa ini air hujan? Bukan, cukup hangat dibanding air hujan. Tetapi kenapa hatiku terasa dingin? Dan, sangat sesak.
Ada apa ini? Ya Tuhan, kenapa sesak sekali, bahkan untuk bernapas pun aku harus berusaha sekuat tenaga. Apa aku selemah ini? Tidak, rasanya aku lebih kuat dari ini, paling tidak perasaanku mengatakan itu. Tapi kenyataannya saat ini aku memang merasa lemah. Sangat lemah.

Kayla hanya berbicara dalam hati. Dia terus mematung, tidak peduli dengan hujan yang semakin deras dan malam yang semakin larut. Sama sekali tanpa gerakan, bahkan seakan tidak bernyawa.
Suasana di sekitarnya begitu sepi. Tentu saja, dengan hujan sederas itu dan malam yang semakin gelap, bahkan kelelawar pun pasti enggan untuk keluar dari sarangnya. Hanya suara gemericik air hujan di atas aspal yang terdengar.
Tiba-tiba sebuah sedan hitam keluar dari ujung gang, tampak berjalan perlahan menuju ke tempat Kayla berdiri. Lalu berhenti tepat satu meter di depannya. Pintu depan terbuka, disusul pengemudinya yang keluar sesaat setelah ia mengembangkan payung. Bergegas menghampiri gadis yang masih berdiri mematung itu.

Siapa itu? Apa aku mengenalmu? Kamu tidak asing bagiku. Tapi, siapa? Dan untuk apa kamu kesini?

Tak sepatah pun kalimat itu keluar dari mulutnya, Kayla hanya mengucapkan dalam hati.
“Kayla, kamu nggak apa-apa?”

Kayla? Siapa dia? Apa itu namaku?

“Kay?”
Kayla tetap membisu, tak ada tanda-tanda hendak menjawab pertanyaan dari laki-laki di hadapannya. Dan Kayla tetap bergeming saat tubuhnya mendapat dekapan tiba-tiba.
“Kita pulang,” ajaknya kemudian.

Pulang? Kemana? Dan, betapa nyamannya pelukan ini, hangat dan aku merasa sangat aman. Aku kenal kamu, aku kenal pelukan ini, aku kenal rasa aman ini. Benar, kamu adalah laki-laki yang selalu melindungiku selama ini. Kamu, kakakku.

Tak sepatah katapun yang terucap dari bibir Kayla ketika Kakaknya menuntun dia berjalan ke arah mobil, hanya ada isak tangis yang tak kunjung berhenti. Sampai pandangan Kayla mulai samar, semua terlihat semakin gelap di matanya.
Kayla pingsan sebelum berhasil masuk ke dalam mobil.
“Kay!”
Laki-laki itu buru-buru membopong tubuh adiknya dan memasukan ke dalam mobil. Dengan sigap dia mendudukkan Kayla di jok depan dan melingkarkan sabuk pengaman. Sesaat kemudian keduanya sudah berada di dalam mobil yang berjalan menembus hujan.
Sementara dari sebuah sudut gang, seorang cowok memperhatikan kakak beradik itu dari dalam mobil. Raut wajahnya menunjukkan rasa penyesalan yang dalam. Laki-laki itu menjatuhkan kepalanya ke kemudi, lalu memejamkan mata dan menghela napas berat.

KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang