AKAN SELALU ADA

17 0 0
                                    


Sore itu Kayla duduk di bangku kayu taman, ia tengah melihat gerombolan anak-anak yang sedang bermain. Beberapa anak bermain bola, anak lainnya sedang berkejar-kejaran, sebagian lagi sibuk mengejar kupu-kupu yang terbang rendah diantara bunga-bunga yang tumbuh dengan teratur.

Nampak orang tua mereka tengah mengawasi gerak-gerik buah hatinya dengan seulas senyum. Kayla turut tersenyum menyaksikan kegiatan sore hari yang cerah itu.

Ia memandang langit yang berwarna jingga, matahari yang sudah berada di barat hanya terlihat sedikit, yang hanya menyisakan riak-riak sinar yang tak lagi terlihat silau seperti siang tadi. Awan beriringan berjalan perlahan. Burung-burung sesekali terbang melintas.

Kayla selalu suka suasana yang seperti ini, damai, dan dia selalu merasa tenang.

Siluet seorang laki-laki terlihat dari kejauhan.

Kayla sangat hapal dengan gaya berjalan cowok yang sedang melangkah ke arahnya. Bagaimana ayunan tangannya saat berjalan, gerakan kakinya saat melangkah. Semua benar-benar melekat dalam memori otak Kayla. Beberapa waktu yang lalu, langkah laki-laki itu masih beriringan dengan langkahnya, dan itu membuat Kayla harus menahan luka.

Dika berdiri di hadapan Kayla dengan napas yang sedikit tersengal, bekas wajah tergesa-gesa tergambar darinya. Ia menatap gadis itu dan memaksakan senyum di bibir. Kayla membalasnya.

"Udah lama? Sori ya, telat,"

Dika membuka percakapan di antara mereka, ia duduk di sebelah Kayla.

"Nggak apa-apa. Aku aja yang datang lebih cepat dari janji kita, pengen duduk lama disini,"

Dika mengangguk. "Kamu apa kabar?"

Kayla menoleh ke arah Dika, "Baik. Kamu sendiri?"

"Aku juga baik. Cuma lagi sedikit flu, tapi nggak masalah,"

Keduanya lalu terdiam, Kayla kembali beralih ke arah anak-anak yang masih asik dengan mainan mereka masing-masing, sesekali ia tersenyum menyaksikan polah mereka. Dika memandang Kayla.

"Kamu suka anak kecil ya?"

"Suka. Lihat mereka, nyenengin banget. Bebas, belum punya pikiran apa-apa kecuali bermain. Mereka selalu ceria, setidaknya itu yang aku lihat,"

"Melihat mereka bermain membuatku kangen dengan masa kecil kita dulu. Waktu kecil, kita juga sering bermain di sini kan? Aku, kamu, dan Kak Diego,"

"Dulu kita bertiga sering bermain bersama di tempat ini. Memang belum sebagus sekarang. Tapi itu nggak mengurangi keceriaan kita, kita tetap bisa tertawa, berkejaran kesana kemari. Dan terkadang kita baru akan pulang saat mama menyusul kita kesini, saat hari sudah mulai gelap,"

Dika mendengarkan cerita Kayla dengan seksama. Ia tidak ingin menyela Kayla yang sedang mengenang masa kecilnya, masa kecil yang pernah ada dirinya di dalamnya. Saat ini, Dika hanya ingin mendengarkan Kayla bercerita.

"Kamu inget? Dulu aku jatuh dari ayunan itu," Kayla menunjuk sebuah ayunan yang terlihat tua dan sedikit berkarat.

Dika mengangguk,

"Tentu,"

"Waktu itu kakiku berdarah. Aku takut banget, nangis sejadi-jadinya. Terus kalian berdua langsung nolongin aku. Kamu dan Kak Diego gantian gendong aku sampai rumah," Kayla menghela napas sejenak.

"Dan kita semua dimarahin sama tante Rianti. Diego yang dimarahin habis-habisan waktu itu," potong Dika terbawa pembicaraan Kayla. Ia tertawa kecil.

"Aku kangen saat-saat itu," ujarnya lirih.

"Maafin aku, Kay."

Kayla menatap Dika lekat, "Maaf kenapa?"

"Soal hubungan kita. Aku, kamu, dan Diego. Ini semua salahku. Seandainya aku bisa seperti cowok lain, pasti kita nggak bakal kayak gini,"

"Sejak kapan?"

"Maksudnya?"

"Sejak kapan kamu jadi seperti ini?"

Dika terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Kayla.

"Aku nggak tahu pasti sejak kapan aku seperti ini. Mungkin sejak aku SMP. Kamu tahu bagaimana keadaan keluargaku, Ayahku yang sampai sekarang belum pernah aku lihat, dan ibuku yang setiap hari kerjaannya cuma mabuk-mabukan sepulang kerja. Setiap kali dia mabuk berat, yang dia lakukan adalah menyiksaku, entahlah, mungkin itu pelampiasan atas semua masalah yang terjadi padanya," terang Dika panjang.

"Aku mendapat pukulan dari ibuku setiap hari. Setiap dia pulang kerja, meskipun aku nggak bikin salah apa-apa. Mungkin karena aku anak haram, atau mungkin aku memang bukan anak kandungnya,"

"Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Dika, bagaimanapun juga dia ibumu," potong Kayla.

Dika tersenyum sinis. "Itu semua bikin aku trauma, yang selanjutnya menimbulkan kebencian. Pertama aku benci ibuku sendiri, lalu entah kenapa aku jadi benci semua wanita. Yang ada dalam pikiranku, mereka semua sama seperti ibuku. Aku takut dengan wanita,"

"Termasuk aku?"

Dika tersenyum, "Kamu pengecualian. Lalu perasaan itu datang, perasaan nyaman saat bermain dengan Diego. Aku selalu tenang, selalu merasa nyaman dan aman saat ada di samping Diego. Bisa di bilang, Diego cinta pertamaku,"

Kayla cukup risih mendengar pengakuan Dika kali ini, ada perasaan marah dan kecewa dalam hatinya. Namun Kayla lebih memilih untuk tidak menunjukkan kepada Dika. Ia hanya diam dan mendengarkan. Dika terlihat masih ingin mengatakan sesuatu.

"Aku tahu, kamu pasti kecewa. Bahkan mungkin benci sama aku. Dan aku nggak akan maksa kamu untuk maafin aku, karena aku tahu aku memang salah,"

"Kemarin, aku sempet ragu waktu mengajakmu ketemu di tempat ini. Aku takut kamu masih marah dan nggak mau ketemu aku. Tapi ternyata kamu mau datang ke sini,"

Kayla mengangguk pelan, "Awalnya aku emang benci banget sama kamu, bener-bener sakit banget waktu aku tahu semuanya. Bahkan sampai sekarang pun rasa kecewa itu masih ada,

"Tapi beberapa hari setelahnya, aku bisa lebih menerima. Meski kadang rasa sakit itu masih ada, tapi tak perlu dengan tangisan untuk menunjukkannya. Dan menurutku, hak kamu untuk memilih jalan hidupmu sendiri. Termasuk dengan pilihanmu sekarang,"

Gadis itu tersenyum ke arahnya.

"Makasih atas pengertiannya ya, Kay,"

"Hanya saja, aku masih sangat menyesal. Kamu telah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku," tatapan mata Kayla nanar.

Dika menunduk, ia menunjukkan rasa penyesalan yang sangat dalam atas apa yang telah dia lakukan kepada Kayla. Laki-laki itu menutup wajahnya dengan tangan.

"Maaf,"

"Tapi sudahlah, itu bukan sepenuhnya salahmu. Dan sedalam apapun penyesalan ini, hidup harus terus berjalan, bukan? Walaupun dengan diriku yang sudah tidak lagi utuh. Semoga kelak tetap ada laki-laki yang mau menerima kondisiku,"

"Akan selalu ada orang yang mau menerima masa lalu orang lain,"

Kayla mengangguk pelan.

"Semoga. Tapi, aku mohon banget sama kamu," Kayla memberi jeda pada kalimatnya.

"Jangan kakakku, ya," lanjutnya serius.

Dika terdiam. Kembali menutup muka dengan kedua tangan. Ia menarik napas dalam-dalam dan melepaskan dalam sekali helaan.

"Akan ku lakukan, Kayla,"

Kayla tersenyum puas.

"Dan aku juga punya satu permohonan ke kamu," tutur Dika kemudian.

"Apa?"

"Kita, masih bisa berteman kan?"

Kayla bangkit, dengan telapak tangan ia membersihkan bagian belakang celananya.

"Akan ku lakukan, Dika,"

Kayla tersenyum manis dan melangkah pergi meninggalkan Dika yang menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. Dika merasa sedikit lebih lega.

KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang