HUJAN

139 4 0
                                    

Naga menghampiri Kayla dan Indri yang tengah menikmati makanan di kantin saat istirahat sekolah, seragamnya nampak basah oleh keringat. Ia menarik kursi di sebelah Kayla dan duduk di kursi itu.
“Basketan?” sambut Indri.
Cowok itu mengangguk, “Tadi main bentar sama anak-anak,”
“Wajahmu pucat lagi tuh. Jangan terlalu capek makannya,” tutur Indri yang hanya dibalas senyuman masam oleh Naga.
“Seragamnya sampai basah gitu, nggak risih ntar di kelas?” tanya Kayla penasaran, ia bergidik.
“Aku bawa seragam cadangan kok, ntar aja ganti pas mau masuk,”
Jawab Naga yang langsung membuat kalimat oh keluar dari bibir Kayla.
Naga memutar tutup botol air mineral yang sejak tadi berada di tangan kirinya, ia meminum separuh isi botol tersebut. Sementara Kayla dan Indri memandang cowok di hadapannya lekat-lekat. Senyum kecil menghiasi bibir mereka.
“Eh, ada apa? Ada yang aneh?”
“Heran aja, kemarin kamu sampai pingsan tapi kok ya sekarang malah main basket. Apa udah beneran nggak apa-apa?”
“Tuh, Ga. Kayla udah mulai perhatian tuh. Seneng kan kamu?” Indri mendapatkan cubitan kecil di lenganya.
Naga tersenyum.
“Tenang aja, aku udah sehat kok. Sekali lagi makasih ya kemarin udah nolongin,”
“Sama-sama, Naga,” jawab keduanya serempak.
“Kay, tawaranku masih berlaku nih,”
“Tawaran apaan?”
“Pergi ke tempat yang pernah aku omongin ke kamu itu, gimana?”
Kayla nampak berpikir sejenak, “Jangan sekarang deh, nanti aku mau pergi,” tolak Kayla.
“Sama Dika?” tebak Naga.
Kayla mengangguk. Naga langsung menyesal telah bertanya, ia kembali menenggak air dalam botol mineral di tangannya.
“Bagaimana kalau besok? Mungkin aku bisa,”
Kayla mencoba menghibur Naga yang terlihat kecewa. ia sendiri merasa tidak enak karena selalu menolak ajakan yang ditawarkan laki-laki itu.
Wajah Naga kembali antusias, “Beneran?”
“Iya. Tapi aku nggak janji. Tapi aku usahain pokoknya,”
“Oke, besok aku tunggu kamu. Kamu mau ikut?” Naga beralih pada Indri.
“Boleh?”
“Iya lah, kalau nggak ngapain aku tawarin.”
Indri Nampak berpikir sejenak, “Oke deh,” jawab Indri akhirnya.
“Sip pokoknya,” Naga mengacungkan jempol kanannya.
Kemudian ia memohon ijin untuk pergi mengambil seragam cadangan yang ia bawa di dalam tas. Laki-laki itu bersiul riang. Kayla tersenyum kecil sambil memandang punggung Naga yang mulai menjauh dari tempat itu.
“Seneng banget tuh anak. Akhirnya kamu mau diajak pergi sama dia,” Indri berdiri, lalu mengajak Kayla beranjak menuju kelas. Istirahat sudah hampir usai.
“Yah, ngerasa nggak enak aja terus-terusan menolak ajakannya. Aku juga penasaran sebenarnya mau ngajak kemana sih kok sampai nggak menyerah gitu,” Kayla masih mengunyah potongan wafer Tango yang tersisa di mulutnya.
Indri berjalan di depan Kayla, lebih dulu menapaki anak tangga pertama.
“Sepertinya kamu mulai bisa menghilangkan pikiran negatifmu tentang Naga. Buktinya kamu udah mau menerima ajakan cowok itu, padahal belum tau mau dibawa kemana,”
“Aku kan cuma nurutin saranmu,”
“Mungkin aja kan, besok Naga membawamu pergi ke tempat yang nggak jelas, terus kamu diapa-apain sama dia. Kan banyak tuh kejadian-kejadian kayak gitu sekarang,” Indri tertawa usil begitu menyelesaikan kalimatnya.
“Kalau dibawa ke tempat yang nggak jelas, terus diapa-apain, berarti kamu juga kena. Kamu kan ikut juga besok,”
“Oh, iya ya,” jawab Indri sambil menggaruk kepalanya.
Kayla menjitak kepala sahabatnya pelan, “Dasar dodol.”

Sedan hitam itu berjalan perlahan menembus hujan deras yang telah mengguyur jalanan sejak beberapa menit yang lalu. Dika meraih payung di jok belakang, lalu keluar dari mobil dan membuka pintu gerbang rumahnya. Tak lama kemudian laki-laki itu kembali berada di belakang setir, dan mengemudikan mobil masuk ke dalam garasi di rumahnya.
“Turun yuk,” ajaknya ketika mobil telah terparkir sempurna di dalam garasi.
Kayla menurut, ia membuka pintu mobil dan keluar. Dika mengulurkan tangan, yang langsung dibalas oleh Kayla. Laki-laki itu menggandeng tangan Kayla, membimbingnya masuk ke dalam rumah.
Dika meraih sebuah handuk yang menggantung di sebelah kamar mandi dan menyerahkan kepada Kayla. Ia mulai mengeringkan rambutnya yang basah.
“Aku ganti baju sebentar ya,” pamit Dika, gadis itu mengangguk.
Kayla mengembalikan handuk yang baru saja ia pakai ke tempatnya semula setelah rambutnya sedikit lebih kering. Lalu melangkahkan kaki menuju ruang tengah. Pandangannya menyapu setiap sudut rumah Dika. Rumah yang luas tapi tampak sepi.
Di luar, hujan masih terdengar cukup deras. Sesekali kilat terlihat, di susul dengan suara petir yang keras, membuat Kayla harus memejamkan mata karena rasa ngeri merasuk. Gadis itu berhenti di depan sebuah foto seorang wanita seusia mamanya.
Ia mengenalnya, ini  Mama Dika.
“Seragam sekolahmu nggak basah kan?”
Dika yang telah selesai mengganti pakaiannya keluar dari dalam kamar. Sedikit membuat Kayla kaget dan melonjak.
“Maaf,”
“Nggak apa-apa,” jawab Kayla sambil tersenyum.
“Seragam sekolahmu?” laki-laki itu bertanya untuk kedua kalinya.
Kayla nampak meneliti seragamnya, “Sedikit basah, tapi nggak apa-apa,”
“Baguslah, karena di sini jelas nggak ada baju seukuranmu. Ada punya mama kalau kamu mau?”
“Nggak usah, ini aja nggak apa-apa,”
Kayla melangkah mendekati sofa, ia menjatuhkan pantatnya. Dika mengikuti Kayla, duduk di sebelah gadis itu, merapatkan badannya kepada Kayla. Keduanya nampak hening beberapa saat. Belum ada topik yang mereka temukan untuk dijadikan bahan obrolan.
“Dingin,” Kayla menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Dika tersenyum, lalu menggenggam kedua tangan Kayla, memberikan kehangatan kepada kekasihnya itu. Kayla balas tersenyum.
“terima kasih,” ucapnya.
“Rumah kamu sepi,” lanjut Kayla, tangannya masih berada di genggaman tangan Dika.
“Tiap hari juga kayak gini. Mama baru pulang nanti malam, atau mungkin besok pagi. Wanita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Rumah ini selalu menghadirkan sepi untukku,” terang Dika dengan nada kecewa.
Kayla menatap wajah laki-laki di sampingnya itu sembari tersenyum. Ia melepaskan genggaman tangan Dika, lalu memindahkan tangannya kepada wajah kekasihnya. Kayla mengusapnya dengan penuh kelembutan.
“Kamu tidak perlu merasa kesepian sekarang, ada aku yang akan selalu menemanimu,” gadis itu coba menghibur.
“Terima kasih,”
Tiba-tiba petir terdengar menggelegar di luar, membuat Kayla terlonjak kaget dan seketika menelungkupkan wajahnya ke dada cowok di hadapannya.
“Kamu tidak perlu merasa takut sekarang, ada aku yang akan selalu menjagamu,” ujar Dika yang masih memeluk Kayla.
Gadis itu mencubit Dika, “Itu kan kata-kataku barusan. Kamu nyebelin,” rasa takut dalam diri Kayla sekejap hilang.
Keduanya tertawa kecil, sebelum akhirnya mereda dan saling pandang. Kayla menatap mata Dika lekat-lekat, menikmati setiap keindahan yang dimiliki oleh laki-laki itu. Tanpa ia sadari wajah Dika semakin dekat. Kayla memejamkan mata, dan dirinya dapat merasakan hangatnya hembusan napas yang keluar dari hidung Dika. Waktu terasa melambat untuk Kayla.
Bibir mereka bersentuhan, Kayla dapat merasakan lembutnya bibir laki-laki itu. Manis, Kayla merasakan rasa manis ketika lidah mereka bertaut. Darahnya berdesir, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dia menikmati setiap detik waktu yang sedang berjalan saat ini.
Kayla merasakan bibir Dika merayap turun, merasakan geli dan sensasi aneh yang menjalari sekujur tubuh ketika bibir itu sampai di daerah lehernya yang putih, Kayla masih memejamkan mata.
Gadis itu mendesah pelan. Kayla membiarkan tangan Dika yang mulai melepas kancing seragamnya satu persatu, menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhnya, meletakkannya begitu saja di lantai. Semua berjalan begitu cepat ketika Kayla telah menyadari bahwa sudah tak sehelai benangpun menempel di tubuhnya.
Gadis itu membeku, lidahnya kelu. Darahnya berdesir lebih cepat ketika Dika merebahkan badannya di atas sofa.
Sore itu, Kayla memberikan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya kepada laki-laki yang sangat ia cintai, kepada seseorang yang Kayla percaya akan bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.
Kayla merelakan Dika mengambilnya.

KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang