Sebuah Kenyataan

31 1 0
                                    

Kayla dan Dika masih berada di dalam mobil yang melaju menembus hujan, setelah seharian mereka menghabiskan waktu berdua. Nonton, makan, main time zone. Dan Kayla nampak sangat menikmati kebersamaanya dengan Dika, hingga ia tidak dapat menyembunyikan senyum bahagia dari pandangan mata kekasihnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” Dika menyalakan lampu sent dan membelokan laju mobil.
“Aku seneng banget tiap kali jalan sama kamu. Kamu paling bisa bikin aku ngerasa bahagia kayak gini. Aku sedang nggak berlebihan, tapi aku bener-bener bahagia jadi pacar kamu,”
“Kamu sayang aku?”
“Banget,” jawab Kayla pasti. Matanya menatap dalam-dalam ke mata Dika, seakan mencari perasaan yang sama.
Dika menghentikan mobilnya di pinggir jalan begitu mendengar jawaban Kayla. Dia terdiam, balik menatap kedua mata Kayla. Pandangan mereka bertemu, tatapan keduanya beradu. Dika mengubah posisi duduknya, mendekatkan wajahnya ke wajah Kayla dengan perlahan. Membuat jantung Kayla berdegup tak beraturan. Kayla memejamkan matanya begitu bibir Dika hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya. Kayla dapat merasakan hembusan napas Dika yang hangat.
Dika nampak ragu-ragu, lalu dengan cepat dia menggelengkan kepala dan menarik wajahnya. Ia menghela napas, begitu berat. Hingga Kayla dapat mendengarnya.
“Dika?”
Dika menoleh, tatapan mata yang sebelumnya tajam telah berubah menjadi kesedihan dan, rasa takut, “Maafin aku Kay, aku nggak bisa,”
“Kenapa?”
“Aku nggak bisa bohongin kamu terus. Aku udah jahat banget sama kamu,”
“Bohong? Jahat? Apa maksud kamu, Dika?”
“Aku udah jahat sama kamu, aku udah bohong sama kamu, aku nggak pernah bisa cinta sama kamu. Padahal, kamu begitu tulus memberikan perasaanmu,”
Kayla menggeleng tak percaya mendengarnya, air mata mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Pengakuan Dika telah melukai hati Kayla.
“Aku nggak bisa nerusin ini semua,” lanjut Dika.
“Kenapa? Apa maksud kamu sebenarnya?”
Dika menghela napas sejenak, “Aku pacaran sama kamu, hanya untuk balas dendam sama kakakmu, Diego. Karena dia nggak pernah bisa terima aku,”
Dalam tangisnya, mata itu menatap tajam wajah Dika. Mencari tahu maksud perkataan laki-laki itu. “Balas dendam untuk apa? Apa yang kakakku lakukan padamu?”
“Dia nggak bisa terima perasaanku,” Dika memejamkan mata saat mengatakannya, nada yang keluar dari mulutnya terasa sangat berat.
Kayla tersentak, kaget mendengar kenyataan yang keluar dari mulut Dika, “Jadi kamu,”
“Iya. Aku nggak bisa suka kamu, aku nggak suka perempuan,” Dika memotong perkataan Kayla. Nada bicara Dika penuh penyesalan dan ketakutan.
“Dan Riko adalah pasanganku sekarang,”
Petir menggelegar keras. Bukan hanya di hujan malam itu, tetapi juga di dalam hati Kayla. Gadis itu terdiam, sangat terpukul mendengar pengakuan Dika, begitu kagetnya hingga ia tak dapat berkata apa-apa. Kayla mengatupkan rahangnya kuat-kuat, berusaha menahan amarah yang kini membuncah dalam hatinya.
“Maafin aku, Kay,”
“Kalau tujuanmu cuma untuk balas dendam, kamu berhasil banget, Dika. Kamu berhasil banget nyakitin aku, ngecewain aku. Aku nggak nyangka kamu sejahat itu sama aku. Tega kamu, Dika,” Kayla sangat ingin menamparnya, namun perasaan sayang yang tersisa mencegah Kayla melakukan hal tersebut.
“Maafin aku, Kay,”
Kayla menggeleng, air mata deras mengalir di kedua pipinya. Ia membuka pintu dan keluar. Penuh perasaan kecewa Kayla membanting pintu mobil keras-keras. Dika keluar mengejar Kayla yang berjalan menjauh.
“Kayla, tunggu. Kamu mau kemana?” Dika menggapai lengan Kayla dan membalikan tubuh gadis itu. Hujan deras mengguyur mereka berdua.
“Tinggalin aku. Aku nggak mau lihat kamu lagi,” Kayla mendorong tubuh Dika.
“Nggak mungkin. Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini. Udah malem dan hujan begini. Rumah kita masih jauh, Kayla,”
“Kenapa nggak bisa? Bukannya kamu nggak cinta sama aku?” mata nanar Kayla membuat Dika terpukul.
“Aku peduli sama kamu,”
“Bohong! Kamu nggak peduli sama aku. Setelah apa yang kamu ambil dari aku, kamu mengatakan hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan. Kamu bener-bener cowok paling brengsek yang pernah aku kenal,” Hujan menyatu dengan air mata yang mengalir deras di pipi Kayla.
“Aku mohon, maafin aku,”
“Pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi,” Kayla mendorong tubuh Dika sekali lagi, menjauhkan tubuh laki-laki itu. Kayla merasa jijik melihat Dika.
“Kay,”
“Pergi!”
Dika melangkah mundur, balik badan dan masuk ke dalam mobilnya. Ia mengambil handphone dan menghubungi Diego. Dika menutup telepon genggamnya, menghela napas, lalu menjalankan mobil itu dengan perlahan. Meninggalkan Kayla seorang diri di tempat itu.
Di bawah guyuran hujan, Kayla masih mematung tak bergerak. Tatapan matanya kosong. Air mata yang bercampur dengan air hujan masih mengalir di pipi Kayla. Seluruh badannya menggigil kedinginan. Gigi-gigi Kayla beradu, menimbulkan suara yang hanya bisa didengar olehnya. Suasana begitu sepi, hanya Kayla seorang diri.
Sedan hitam Diego keluar dari ujung gang. Tampak berjalan cukup perlahan, menuju ke tempat Kayla berdiri. Mobil itu berhenti satu meter di depan Kayla. Lampu mobil menerpa seluruh tubuhnya, membuat Kayla menyipitkan mata karena silau. Diego membuka pintu mobil, mengeluarkan sebuah payung dan mengembangkannya. Laki-laki itu keluar dari balik kemudi dan bergegas menghampiri Kayla.
“Kayla, kamu nggak apa-apa?”
Ia bertanya dengan agak keras, mengiringi suara hujan yang semakin deras. Diego membagi payungnya, melindungi Kayla dari air hujan, meskipun Kayla sudah basah kuyup kehujanan sejak tadi.
“Kayla?” Diego memegang bahu Kayla dan mengguncang-guncangkan dengan lembut.
Ia tetap membisu, tak ada tanda-tanda hendak menjawab pertanyaan kakaknya. Diego menghela napas sedih, lalu membimbing Kayla ke dalam pelukannya. Tatapan matanya begitu iba memandang Kayla.
“Kita pulang,”
Kayla tetap tidak mengeluarkan kata-kata, tidak berbicara apapun. Kayla hanya membalas pelukan Diego, menikmati rasa aman yang menjalar diseluruh tubuhnya. Ia tetap terisak di dalam pelukan laki-laki itu.
Tak sepatah katapun yang terucap dari mulutnya ketika Diego menuntun dia berjalan ke arah mobil. Pandangan Kayla mulai samar, semua terlihat semakin gelap, dia merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Kayla pingsan sebelum berhasil masuk ke dalam mobil.
“Kay!”
Wajahnya pucat, kulitnya terasa sangat dingin. Diego membopong tubuh adiknya dan memasukkan ke dalam mobil. Dengan sigap dia meletakkan tubuh Kayla di jok depan dan melingkarkan sabuk pengaman. Sesaat kemudian Diego sudah berada di balik setir mobil dan menjalankan kendaraan itu menembus hujan.
Sementara itu dari sebuah sudut gang, Dika memperhatikan kakak beradik itu dari dalam mobil. Ia merasa begitu terpukul dan menyesal. Dika menjatuhkan kepalanya ke kemudi. Ia memejamkan mata dan menghela napas.

Perlahan, Kayla membuka mata. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan tempat dia berada saat ini. Beberapa menit kemudian Kayla baru menyadari bahwa dirinya telah berada di kamarnya sendiri.
Kejadian semalam kembali melintas dalam ingatan Kayla. Perlahan, air mata mengalir membasahi pipi. Perasaannya tidak menentu. Rasa kecewa, sakit hati, marah, benci, dan rasa sayang menyatu dalam hatinya saat ini. Semua itu hanya untuk satu orang, Dika, orang yang dia cintai, dan orang yang telah membuatnya kecewa.
Sayup-sayup, Kayla mendengar suara keributan dari halaman rumah. Dengan hati-hati Kayla bangkit dari tidurnya, ia merasa lemas saat mengangkat tubuhnya sendiri. Sampai-sampai harus bersandar pada dinding untuk melangkah ke jendela. Sekilas, Kayla menoleh ke arah cermin, dia mendapati wajahnya yang pucat pasi, kedua matanya terlihat sayu.
Kayla menyingkap gorden jendela, melihat apa yang tengah terjadi di luar. Matanya melihat Diego dan Dika di depan pagar rumah. Wajah Diego menunjukkan amarah yang begitu besar, kedua tangannya mengepal. Kayla dapat mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas dari jendela kamar.
“Brengsek! Apa maksud kamu bikin Kayla seperti itu?”
“Maafin aku, Di. Aku bener-bener nyesel. Aku udah mencoba untuk cinta sama Kayla, tapi aku nggak bisa. Aku cinta sama kamu,”
Kayla terkesiap mendengar perkataan Dika. Ia menutup mulut menggunakan tangannya, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara. Tangisannya semakin deras.
Diego merasa jijik mendengar ucapan itu, dengan emosi yang meluap ia mengarahkan kepalan tangan ke pipi kiri Dika. Darah segar mengalir begitu saja dari sudut bibirnya.
“Kamu sakit, Dik,”
Dika menggeleng, “Aku nggak sakit. Aku sadar dengan apa yang aku rasain saat ini. Dan aku cuma ingin kamu tahu, itu saja,”
“Terus kenapa kamu melakukan semua ini sama Kayla?”
“Karena kamu nggak bisa terima aku. Dulu aku hanya ingin manfaatin Kayla untuk balas dendam sama kamu, tapi perasaan Kayla yang tulus membuatku kehilangan niat itu. Aku tidak tega. Aku menyesal, sungguh,” ungkap Dika.
“Dasar brengsek, bajingan!” Diego kembali mengarahkan pukulannya  ke arah Dika.
“Diego!” teriakan Rianti dari depan pintu menghentikan tangan Diego tepat sebelum mendarat di pipi Dika.
“Diego, hentikan. Mama tidak pernah mengajarkan kamu menjadi kasar seperti itu. Cepat masuk,”
Diego menurunkan tangannya, matanya menatap tajam ke arah Dika. “Jangan dekati Kayla lagi, atau aku akan menghajarmu lebih dari ini,” ancam Diego sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Dika memegang pipinya yang memar, mengusap darah di sudut bibir menggunakan punggung tangan. Ia mengangkat wajahnya, melihat jendela kamar Kayla di lantai dua. Dika nampak tersentak begitu menyadari Kayla sedang berdiri mengawasi, mendengarkan apa yang dia katakan kepada Diego. Tatapan mata kayla terlihat penuh kekecewaan. Rasa bersalah langsung memenuhi benak Dika.
Kayla tak dapat menahan perasaannya saat menatap Dika. Ia menutup gorden jendela, menghilangkan tubuh Dika dari pandangannya. Gadis itu menjatuhkan diri di lantai. Air mata terus mengalir di kedua pipinya. Ia menelungkupkan wajah, merasakan sakit yang teramat dalam.
Rianti berjalan mendekati Kayla yang masih duduk sambil memeluk lutut. Dia berjongkok, menyeka air mata anak gadisnya. Membimbing Kayla berdiri dan duduk di tepi ranjang.
“Ma,” Kayla tak kuasa menahan air mata yang semakin banjir membasahi pipinya. Ia memeluk erat Rianti. Membenamkan wajahnya ke dalam dada orang tuanya.
Rianti membelai rambut Kayla dari kepala hingga ujung, sesekali ia menciumnya. Hatinya sangat terluka melihat putri bungsunya menangis sedemikian rupa. Rianti membiarkan Kayla terus menangis dalam pelukannya. Dalam lindungannya. Ia mencoba menopang semua beban anak gadisnya itu.
“Kayla kecewa, Ma. Kenapa Dika jahat banget sama Kayla, Kenapa Kayla di kecewain seperti ini? Kayla sayang sama Dika tapi kenapa justru ini yang Kayla dapat?”
Wanita itu diam mendengarkan curahan hati anaknya. Sekuat tenaga ia berusaha mengontrol emosi, walaupun sakit yang Kayla rasakan saat ini juga dapat dirasakan olehnya. Rianti hanya berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihan di depan Kayla. Orang tua akan mencoba kuat, dan memberikan kekuatan untuk anaknya, Rianti melakukan itu saat ini.
“Apa salah Kayla sampai Kayla harus merasakan sakit ini? Kayla benci Dika, Ma. Kayla benci, benci!” tangisan gadis itu semakin dalam, menyayat hati Rianti yang sejak tadi diam.
“Sayang, Allah maha mengetahui kemampuan hamba-Nya. Tidak ada cobaan yang tanpa perhitungan-Nya. Semua rasa sakit yang sedang kamu rasakan sekarang, akan diganti dengan senyuman sama Allah suatu saat nanti. Kayla harus ikhlas menerimanya,” Rianti mencoba memberi pengertian, dengan lembut jari-jari tangannya membelai rambut Kayla.
“Apa yang sedang terjadi padamu adalah salah satu cara Tuhan untuk membuatmu dewasa. Lewati masalah ini dengan sekuat kemampuanmu, Mama percaya kamu akan menjadi wanita yang tangguh setelahnya,”
Kayla menyandarkan kepala, mendengarkan dengan seksama nasehat-nasehat yang diberikan kepadanya. Kayla menyesal telah berbohong selama ini. Hatinya semakin perih saat teringat tentang itu.
“Ma,” Kayla mengangkat wajahnya, menatap wanita itu, “Maafin Kayla udah sering bohong sama Mama. Kayla selalu bilang kalau Kayla mengerjakan tugas. Tapi sebenarnya Kayla pergi sama Dika,” gadis itu membuat pengakuan.
Rianti tersenyum penuh pengertian, “Semoga setelah ini kamu lebih bisa memilih mana yang benar dan mana yang tidak benar untuk dilakukan. Kita tidak belajar kalau tidak melakukan sebuah kesalahan,”
“Kayla harus janji untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan kemarin. Mama tidak pernah mengajarkan anak-anak Mama untuk berbohong,”
Kayla mengangguk.
“Sekarang kamu istirahat dulu. Pulihkan kondisi badanmu, juga perasaanmu. Mama selalu ada untukmu, Kayla,”
Sekali lagi Kayla mengangguk dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Sebuah kecupan kembali mendarat di keningnya. Rianti menarik selimut dan menutup badan Kayla. Lalu beranjak, membiarkan anak gadisnya untuk menenangkan diri.

KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang