JANJI

133 4 1
                                    

Kayla semakin menguatkan perasaannya kepada Dika sejak kejadian di rumah sore itu. Gadis itu telah memberikan miliknya yang paling berharga. Perasaan Kayla terlihat semakin besar untuk kekasihnya.
Setiap hari mereka bertemu dan pergi berdua selepas pulang dari sekolah, gadis itu semakin sering berbohong kepada mama dan kakaknya. Tugas sekolah adalah alasan yang selalu Kayla pilih untuk menutupi setiap kali ia pergi bersama Dika.
Suasana kafe terlihat tidak begitu ramai oleh pengunjung yang sejenak menikmati waktu senggangnya. Hanya terdapat lima orang di tempat itu, termasuk Kayla dan Dika yang duduk di salah satu sudutnya, satu gelas capuchino dan kopi hitam tersaji di hadapan mereka.
“Apa kamu nggak bosen tiap hari ketemu sama aku?” Dika menyeruput kopi hitam dalam cangkir setelah mengajukan pertanyaan itu.
Kayla nampak tidak suka dengan pertanyaan yang baru saja dia dengar, “Kenapa nanya kayak gitu? Kamu bosen ketemu sama aku?”
“Nggak lah, aku hanya takut kamu jenuh karena kita ketemu setiap hari. Aku senang tentu saja, dapat pergi kemana saja bareng kamu tiap hari,” Dika coba menjelaskan.
“Ya udah, sama aja berarti. Aku nggak pernah bosan ketemu sama kamu. Walaupun tiap jam, asal sama kamu aku nggak bakal ngerasa bosan. Aku nggak suka sama pertanyaanmu barusan,”
“Iya, maaf. Jangan ngambek dong, Sayang,” Dika menghilangkan kejengkelan Kayla dengan membelai pipinya yang putih.
Kayla selalu luluh ketika Dika melakukan itu. Seketika jengkelnya mereda, seulas senyum langsung melengkung di bibir Kayla. Dika tersenyum puas, dan melepaskan tangannya.
“Dika, mama dan Kak Diego udah mulai nanya-nanya ke aku” wajah Kayla berubah serius.
“Tentang?”
“Ya tentang kenapa setiap hari pulang sekolah sampai sore. Dan kenapa hampir setiap malam aku pergi keluar. Aku mulai bingung mencari alasan,”
“Bilang aja ngerjain tugas di rumah temanmu itu, siapa? Indri?”
“Udah, alasan itu yang aku berikan tiap kali mereka bertanya. Tapi sampai kapan aku berbohong sama mereka?”
Dika menutup wajahnya dengan kedua tangan, dia merebahkan diri di sandaran kursi setelahnya. Wajahnya nampak berpikir, membisu beberapa jenak.
“Kapan kamu akan bilang sama Kak Diego tentang hubungan kita? Aku juga sudah tidak ingin main kucing-kucingan seperti ini. Beban, terus-terusan bohong sama mereka,” Mata Kayla sendu, tatapannya tak lepas dari wajah Dika.
“Bersabarlah. Aku sedang menunggu waktu yang tepat,”
“Selalu seperti itu yang kamu katakan saat kita membicarakan ini, ada apa sebenarnya, Dika? Jujurlah, aku pengin tahu semuanya,”
Laki-laki itu mulai panik ketika beberapa pasang mata melirik ke arah mereka. Suara Kayla terdengar sampai ke meja-meja yang lain, membuat pengunjung di kafe itu menatap mereka.
Dika merasa tidak nyaman.
“Besok, aku janji besok akan kukatakan semuanya kepadamu. Sekarang berhentilah menangis, kita jadi tontonan pengunjung yang lain,” tangan Dika kembali meraih pipi gadis dihadapannya.
“Janji?”
Terasa berat ketika Dika menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Kayla, “Iya. Aku janji,”
“Aku menunggu itu,”

Musik yang diputar melalui i-phod menemani langkah Naga. Sesekali dia menggumam mengikuti lagu yang dia dengar, tak peduli dengan orang-orang yang berjalan di sekitarnya. Naga hanya akan tersenyum saat ia berpapasan dengan seorang suster yang menurutnya cantik, atau manis, atau paling tidak, tidak gendut. Begitu dalam benak Naga.
Akhirnya Naga sampai di depan pintu sebuah ruangan, ia mengambil i-phod dari saku celana dan mematikannya. Naga mengetuk pintu ruangan, suara seseorang di dalam menyuruhnya masuk.
“Sore, Dok,”
“Sore, Nak Naga. Silakan-silakan,”
Naga menurut dan duduk di depan Dokter yang terlihat tengah mencatat sesuatu di sebuah buku. Ia mengamati sekitarnya, memperhatikan setiap benda yang berada di tempat itu. Bau obat selalu tercium oleh hidung Naga setiap kali ia masuk ruangan ini.
“Langsung dari sekolah?”
“Iya, Dok. Dari pada bolak-balik, males,”
Dokter itu nampak berjalan ke sebuah lemari kecil di sudut ruangan dan mengambil map berwarna biru dari dalam laci. Kemudian melangkah dan duduk di kursinya semula. Dengan pelan ia menyerahkan map biru tersebut kepada Naga.
“Gimana hasilnya, Dok?”
“Maaf nak Naga, dari hasil pemeriksaan terakhir, sama sekali tidak ada perubahan tentang penyakit anda,” jawabnya dengan nada menyesal.
Naga tersenyum mendengar jawaban Dokter. Ia berhenti meneliti hasil laboratorium di tangannya dan memasukan kembali ke dalam map, lalu diletakkan di atas meja. Dokter menatap Naga.
“Mungkin satu-satunya cara hanya transplantasi sumsum tulang belakang,” kata Dokter itu kemudian.
“Apa itu bisa menjamin saya bisa sembuh, Dok?”
“Saya tidak bisa menjanjikan hal itu, karena seperti yang saya katakan sebelumnya, penyakit anda sudah cukup parah. Tetapi jika kita melakukan transplantasi kemungkinan anda sembuh lebih besar dari pada hanya mengandalkan obat yang saya berikan,”
Naga terdiam, tatapan kosong dia berikan kepada Dokter yang sudah merawatnya sejak pertama kali dirinya di diagnosa.
“Bagaimana, Nak Naga?”
“Terima kasih, Dok. Tapi sepertinya saya tidak perlu melakukan operasi. Pasrahkan saja sama Tuhan,”
Dokter paruh baya itu mendesah pelan. Ia meletakan kaca mata yang sejak tadi menempel di wajahnya, “Maaf sebelumnya, tetapi melihat hasil lab terakhir ini,” ia meraih map yang berada di hadapan Naga, “Mungkin hanya beberapa bulan lagi anda bisa bertahan,”
Naga hanya tersenyum mendengarkan penuturan Dokter.
“Tapi itu hanya sebuah prediksi. Sebagai manusia biasa, saya berharap apa yang saya katakan tadi salah,”
“Terima kasih, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu,” Naga bangkit dari duduknya.
“Sebentar Nak Naga,”
Ia menuliskan sesuatu di sebuah kertas, lalu menyerahkan kepada Naga.
“Ini resep obat. Minum obat ini saat anda merasa sakit. Sekali lagi, obat ini hanya mengurangi rasa sakit, tidak bisa menyembuhkan,”
Naga menerima resep dari tangan Dokter, mengucapkan terima kasih dan memohon diri sekali lagi, kemudian melangkah keluar.
Naga meneliti resep tersebut, meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia mengambil i-phod dari dalam tas dan menempelkan earphone di kedua telinganya. Naga menghela napas dan tersenyum sebelum melanjutkan langkahnya.

KaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang