Chapter 11: Umpan

710 45 3
                                    

Ellen perlahan membuka matanya karena silau cahaya lampu dilangit - langit, kemudian mengucek matanya untuk memperjelas penglihatan. Sebelumnya ia merasa ada suara keributan ketika ia tertidur, tetapi rasa lelah berhasil mengabaikan keributan itu dan membuatnya tertidur pulas.

Ellen merasakan sesuatu yang aneh. Ruangan itu begitu tenang daripada biasanya. Ellen merubah posisi yang sebelumnya tertidur menjadi duduk. Ia memandang segala yang ada dihadapannya. Dan ketakutanpun menyelimuti dirinya.

Pintu kayu putih itu terbuka lebar. Lantai depan pintu itu bersimbah darah yang membentuk jejak seperti ada sesuatu yang diseret.

Bibir Ellen gemetar dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Air matanya perlahan menggenangi sudut matanya. Bibirnya yang merah seketika berubah menjadi putih pucat. Ia beranjak dari sofa dan berjalan mendekati pintu kayu putih itu dengan perlahan. Tubuhnya tidak henti - hentinya berguncang.

Kaki telanjang Ellen digenangi darah kental itu ketika ia berada didepan pintu kayu itu. Ia tak kuasa menahan air matanya. Begitu banyak darah didalam ruangan itu. Darah merah segar.

Ellen hampir tak dapat menahan tubuhnya sendiri. Tetapi ia ingin memastikan apa yang terjadi pada kekasihnya. Ia menatap kebawah, mengikuti jejak darah kental itu hingga ia menemukan dimana akhirnya.

"Oh, Tuhan! Richard!" Kata Ellen sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ellen menangis melihat kondisi kekasihnya yang hampir tidak bisa ia kenali. Tangannya tidak bisa berhenti berguncang melihat keadaan kekasihnya yang terikat pada sebuah kursi tua dengan penuh darah, yang jaraknya hanya beberapa kaki dibelakang sofa tempat ia tidur tadi.

"Sa... Sayang...." Kata Richard dengan nada lirih.

Ellen tidak bisa berkata apa - apa. Hanya menangis yang dapat ia lakukan. Ia bahkan tidak tahu lagi apakah ia ketakutan atau sedih melihat Richard.

Ellen berjalan cepat mendekati Richard dan berlutut didepan kekasihnya itu. Ia memegang wajah kekasihnya yang penuh darah. Tak peduli darah menodai kedua tangannya yang putih.

"Aku... Aku minta maaf..." Kata Ellen sambil menangis. "Maafkan aku sayang."

Ellen berusaha memandang mata Richard. Tapi kali ini Ellen hanya melihat sisa mata Richard yang telah hancur dan pinggiran matanya telah membengkak. Wajahnya benar - benar dipenuhi darah berwarna merah pekat.

"Ma.. Maaf aku tidak bisa melihatmu lagi..." Kata Richard dengan suara pelan. Darah dan air liur yang kental membasahi setiap sudut bibirnya penuh luka. Setiap kata yang diucapkan, terasa sangat sakit bagi Richard.

"Aku bersumpah akan membunuhnya. Aku bersumpah kita akan keluar dari sini." Kata Ellen sambil mencium pipi Richard dengan pelan. Tidak peduli betapa menjijikan hal itu jika dilihat orang lain.

"Dia... Dia bilang aku berusaha memanfaatkanmu." Kata Richard pelan. "Memanfaatkan kakaknya untuk keluar. Merusak kebahagiaanya."

Nafas Richard seakan - akan tertahan dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Se... Sekarang. Ia sedang mempersiapkan lubang untuk menguburku." Lanjut Richard. "Dia.. Dia bilang akan memotong lidahku sebelum menguburku. Dia akan kembali."

Richard mulai menangis. Tapi yang mengalir dari matanya hanyalah darah. Ellen tak kuasa melihat kekasihnya itu.

"Aku tidak akan membiarkan dia melakukan itu kepadamu." Kata Ellen kepada Richard. Hatinya remuk mendengar setiap perkataan kekasihnya. Ia dapat merasakan setiap penderitaan yang telah Richard lalui. Tapi ia tahu, perasaannya bukanlah apa - apa.

"Aku akan kembali." Kata Ellen sambil menghapus air matanya. Ia menguatkan tekadnya untuk membawa Richard keluar dari sini. "Bertahanlah, sayang."

Ellen bangkit dari posisi yang tadinya berlutut dan mulai lari menuju keruangan tempat pertama kali ia sadar. Melewati lorong gelap menuju sebuah ruangan yang menjadi awal mula mimpi buruk ini.

Setiba disana, dengan segera Ellen meraih pecahan piring yang disimpannya dibawah kasur tipis itu. Menyimpan benda itu dikantong belakang celana pendek birunya sebagai senjata. Tekadnya sudah bulat untuk melakukan perlawanan kepada lelaki gila yang bernama Evan itu.

Ellen lari melewati lorong yang suram itu, menuju ketempat Richard diikat. Ia segera memposisikan dirinya dibelakang kursi Richard dan segera membuka ikatan ditangan dan kaki kekasihnya itu.

"Aku akan mengeluarkanmu dari penderitaan ini, sayang." Kata Ellen sambil membuka setiap ikatan tali itu.

"Aku... Aku hanya... hanya memperhambatmu." Balas Richard dengan nada tak bertenaga. "Dia kuat. Aku terluka. Dan dia akan mengalahkanmu sayang."

Ellen tidak mempedulikan perkataan Richard. Bagaimanapun ia tetap akan berjuang menyelamatkan Richard. Orang yang benar - benar ia cintai dan mencintainya.

Kaki dan tangan Richard sudah tidak terikat. Ellen mencium tangan kekasihnya, memberinya sedikit kekuatan dan kepercayaan bahwa ia dapat membawanya keluar hidup - hidup. Ellen berdiri tegap. Matanya terbuka lebar. Ia meremas rambutnya dengan kedua tangannya. Memikirkan strategi untuk melawan Evan.

Ellen menemukan ide yang menurutnya cemerlang setelah beberapa  detik berpikir ditempat ia berdiri. Ellen meminta kekasihnya untuk berdiri dan menopangnya berjalan. Richard melingkarkan tangannya dipundak kekasihnya dan memaksakan tubuhnya untuk berjalan. Sesekali ia menjerit karena merasa ada tulangnya yang sakit. Tidak heran, ia telah dipukuli habis - habisan dengan pipa besi oleh si psikopat.

Ellen membawa Richard kembali keruangan pintu kayu putih itu dan membantunya duduk dibalik pintu itu. Ellen tidak menutup pintu itu agar tidak dicurigai Evan. Ellen keluar dari ruangan itu dan melihat dari luar. Memastikan agar Richard tidak terlihat berada dibalik pintu kayu putih yang terbuka itu.

Kemudian Ellen bergegas mengambil kain yang berada dimeja makan dan melumurinya dengan darah yang terdapat dilantai. Ia menyeret kain itu dari lantai yang penuh darah, melewati kursi dimana Richard diikat, dan menuju lorong yang suram itu.

Ellen menyiapkan umpan untuk seorang psikopat. Dan ia berharap psikopat ini memakan umpannya. Jika tidak, umpan itu hanya akan menjadi akhir kisah dia dan Richard.

Setelah Ellen mengotori sepanjang lorong hingga kedalam ruangannya dengan darah kental Richard, Ia melempar kain meja makan itu keatas kasurnya yang tipis dan berdebu itu. Segera setelahnya, ia kembali keruangan utama.

Ketika tiba diruang utama, ia memandang sekitar. Ruangan itu banyak darah. Terlihat mengerikan. Dirinya sendiri terkadang berpikir bahwa Richard tidak akan bertahan lama, karena ia mengalami pendarahan yang cukup parah dikepalanya. Tapi dengan segera ia menepis pikiran itu.

Saat memastikan semua rencana terakhirnya untuk melawan Evan sudah siap, Ellen menemukan telepon genggam Richard tergeletak dibawah kantong plastik sampah yang ia gunakan untuk membersihkan kekacauan sebelumnya.

Segera Ellen meraih telepon genggam itu dan menyimpannya dikantong depan celananya. Setelah itu Ellen kembali keposisinya saat tidur. Ia segera membaringkan dirinya disofa.

Tidak. Pecahan kaca ini hanya melukainya. Ia dapat menyerangku lagi dengan tenaganya yang cukup kuat. Pikir Ellen.

Ellen kembali berdiri dan berlari menuju pintu kayu putih. Ia memandang kekasihnya sesaat kemudian mengambil pipa besi berkarat yang ujungnya bernoda darah merah. Darah Richard. Ellen menyempatkan dirinya untuk mencium pipi Richard sekali lagi.

Cklok! Suara kunci pertama yang diputar dari pintu besi diatas, dapat didengar Ellen. Telinganya sudah tidak asing dengan suara itu.

Ellen berlari melewati pintu kayu itu. Tetapi ia tidak sengaja terpleset karena darah Richard yang menggenangi depan pintu itu. Pipa besi itu terlepas dari tangannya dan menyebabkan bunyi yang cukup kuat.

Kleng kleng!

Cklok! Suara kunci pintu kedua diiringi dengan dorongan pintu besi terbuka.

Ellen mengabaikan rasa sakitnya dan segera berdiri. Ia meraih pipa besi berkarat itu dan meletakkanya tepat dibawah sofa. Dengan menggenggam pipa besi berkarat itu, Ellen dapat merasakan betapa sakitnya jika benda itu dihantamkan kekepala.

Ellen segera membaringkan tubuhnya diatas sofa seperti sebelumnya. Berharap Evan tidak mendengar suara pipa besi berkarat yang terlepas dari genggamannya tadi. Berharap sang monster mengambil umpannya.

Dan Ellenpun mulai menutup matanya.

Under the GroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang