Bab. 3

2.4K 37 0
                                    

Vony's POV

Diruang keluarga sudah ada aku, kak Junif dan Trisna. Malam ini aku sengaja meminta mereka berdua berkumpul diruang keluarga karena aku akan mengatakan sesuatu. Sudah tiga puluh menit kita bertiga masih diam membisu, melamunkan apa yang ada didalam kepala kami masing-masing dan membiarkan tv tetap menyala agar tidak memberi kesan yang sepi.

Aku menghela nafas panjang, suasana seperti ini akibat dari ulahku sendiri. Tidak heran kalau kak Junif dan Trisna hanya diam saja, karena disini aku yang membutuhkan mereka agar kak Junif dan Trisna tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku akan berkuliah di Jepang" kataku sambil menyodorkan surat penerimaan berkuliah di Jepang dan meletakkannya diatas meja. Detik-detik berikutnya mereka berdua tidak meresponku, hingga akhirnya kak Junif pergi meninggalkanku dan Trisna menggunakan kursi rodanya.

Aku dan Trisna membiarkan kak Junif pergi kekamarnya. Setelah mama dan papa meninggal, kami bertiga tidak seperti dulu lagi, dulu kami bertiga adalah saudara yang saling menyayangi dan pengertian satu sama lain. Tapi sekarang tidak, hari-hari kami diisi dengan pertengkaran, perselisihan dan keegoisan. Rasanya persaudaraan kami akan pecah.

Aku memperhatikan Trisna yang tidak bergeming dari posisinya. Melipat kedua tangannya didepan dada dan memperhatikan kertas yang aku sodorkan diatas meja tanpa mau mengambilnya.

"Jadi gimana?" tanyaku.

"Apanya?" tanya Trisna balik.

"Kuliahku"

Aku mendengar Trisna menghela nafasnya dengan kasar, aku tahu didalam hati kecilnya dia tidak setuju dengan keputusanku untuk berkuliah di Jepang. Karena, jika aku pergi meninggalkannya, maka dia harus merawat sendiri kak Junif yang lumpuh itu.

"Yaudah, pergilah..." kata Trisna. Aku membulatkan kedua mataku, setengah percaya dan tidak dengan jawabannya. Walupun masih ada secerca harapan kalau dia ikhlas mengizinkanku pergi berkuliah.

"Kamu enggak apa-apa?"

"Sebenarnya sih enggak, tapi mau gimana lagi, kamu juga punya hak untuk melanjutkan pendidikan" aku merasa lega, setidaknya salah satu dari mereka berdua masih mau mengertiku.

Aku segera beranjak dari dudukku, memeluk Trisna sambil menangis terharu. Trisna yang menerima perlakuanku secara mendadak sangat terkejut, tangannya masih dia lipat didepan dada, sepertinya dia menolak untuk membalas pelukanku.

"Makasih Tris... makasih banget kamu udah mau ngertiin aku..." sekarang, air mataku tumpah ruah, membasahi pundak Trinsa. Dia masih saja tidak bergeming dari posisinya.

"Kuliahlah yang rajin kak, setelah itu bekerjalah, jadilah orang kaya dan aku akan ikut denganmu" jawab Trisna disusul dengan balasan pelukannya.

Aku melepaskan pelukannya dan menatap Trisna, lalu kami berdua tertawa bersama. Seperti dulu, saat mama dan papa belum meninggal. Terkadang aku sangat merindukan masa-masa seperti ini, rindu sekali.

"Janji?" Trisna mengacungkan jari kelingkingnya didepan wajahku.

"Janji" jawabku disusul dengan mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya.

"Janji apa?" tanya Trisna. Sepertinya dia ingin meyakinkanku untuk benar-benar menepati janji yang telah ia berikan padaku.

"Janji berkuliah yang rajin, pergi bekerja, menjadi orang kaya dan membawamu hidup bersamaku" lalu Trisna memelukku dan kusambut pelukannya yang erat itu. Mungkin ini adalah pelukan yang terakhir kalinya sebelum aku benar-benar meninggalkan Trisna untuk berkuliah di Jepang.

***

Junifra's POV

Aku melihat mereka berdua dibalik pintu kamarku yang sedikit terbuka, melihat adik-adikku saling berpelukan dan tertawa bersama. Sebenarnya aku ingin sekali seperti itu, rasanya sudah lama sekali tidak hidup akur dengan mereka berdua setelah mama dan papa meninggal dunia.

Lalu aku mematikan lampu kamarku dan merebahkan tubuhku diatas kasur. Mencoba untuk memejamkan kedua mataku agar tidur dan berharap hari besok akan berubah menjadi seperti dahulu. Setidaknya, walaupun tidak menjadi seperti dahulu, aku selalu berharap ketika aku bangun dari tidurku esok, semuanya akan berubah menjadi baik-baik saja.

Jarum jam telah menunjukkan waktu dua pagi, tapi aku masih belum bisa tertidur. Sedari tadi aku memikirkan tentang kuliah Vony, bagaimana bisa dia berkuliah di Jepang dengan keadaan perekonomian keluarga seperti ini? apa karena beasiswa? kalau karena beasiswa, aku tidak akan heran karena Vony adalah anak yang cerdas.

Aku memutar tubuhku menghadap jendela yang tidak tertutup oleh selambu, menatap indahnya langit kelam dari sini. Setidaknya dengan menatap langit kelam, fikiranku menjadi sedikit lebih tenang.

Setelah itu, lagi-lagi aku memikirkan tentang kuliah Vony nanti di Jepang, tentang kehidupannya dan pergaulannya disana. Aku takut kalau dia sudah berada di Jepang, dia akan bertemu dengan Otani. Kalau dia tahu adikku berkuliah disana, pasti dia akan mengincarnya.

Aku menjambak rambutku frustasi. Kenapa semua ini harus terjadi?! Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Vony setelah itu?! Arrgghhh... aku sangat tidak berguna menjadi seorang kakak! Bodoh! Sialan! bagaimana aku bisa membujuk Vony agar dia mau membatalkan perkuliahannya di Jepang? Pasti dia akan berfikiran kalau aku akan mengahalangi cita-citanya itu. Sumpah, dia tidak akan tenang disana. Andai saja waktu bisa terulang, pasti kejadian itu tidak akan terjadi.

"Kamu masih belum tidur?" aku terkejut karena Vony tiba-tiba saja berada didalam kamarku. Aku tidak tahu persis dimana posisinya sekarang, karena aku membelakanginya menghadap jendela.

Aku tidak menjawab pertanyaannya itu, entah mengapa, semenjak aku divonis mengidap penyakit HIV AIDS, aku merasa seolah-olah tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi adikku sendiri. Mungkin kurang lebih aku merasa malu dengan keadaanku sekarang, menjadi seorang kakak dan lelaki yang sangat tidak berguna bagi mereka berdua.

Tiba-tiba saja kedua mataku terasa sangat berat, aku mulai mengatuk dan tertidur sambil samar-samar mendengarkan ocehan Vony yang sedari tadi hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Persetan dengan hidup Vony nanti di Jepang, aku sangat mengantuk dan ingin sekali tidur.

***

Heuheu, akhirnya kelar juga bab 3. hahaha


One Day in JapanWhere stories live. Discover now