FIVE

142 12 0
                                    

Aku mengerjapkan mata—tidak siap dengan semua berkas cahaya yang menyerang mataku. Perlahan tapi pasti, siluet kekuningan yang kutangkap berubah menjadi wajah Naruto seutuhnya. Yang aneh, cengiran tidak ada di wajahnya. Raut usil yang selalu membuatku ingin menamparnya menggunakan buku kamus bahasa asing lengkap itu digantikan oleh kerutan khawatir. Senyum tipis mulai terbentuk di wajahnya, saat kurespon panggilannya dengan anggukan pelan.

"Minum dulu!" ujar Naruto, seraya menyerahkan segelas ocha hangat untukku. Cairan itu setidaknya meredakan rasa nyeri tenggorokan dan pening yang kurasakan.

Sudah lebih 'bangun', kuselidiki sekali lagi di mana aku berada. Kasur putih yang nyaman, gorden kotak-kotak, ruangan serba putih berbau menyengat. UKS, tentu saja.

Niat hati ingin sedikit mengurut pelipis, jari tanganku menyentuh sesuatu yang tak seharusnya ada di kepalaku. Teksturnya seperti…perban? Ah. Aku ingat. Tadi aku sedang memantau anggota klub basket latihan. Aku duduk di kursi cadangan, tak bergeming, bahkan hingga bola oranye melenceng keluar lapangan dan menghantam kepalaku dengan suksesnya.

Aku KO. Kurasa tadi aku sempat menyeberangi sungai akhirat.

"Kau baik-baik saja, Sas?" Naruto bertanya khawatir.

Aku menatapnya datar, lalu berujar, "Aku sekarat." Tentu saja, dia langsung tertawa.

Naruto membuka gorden pembatas kasur yang kutempati dengan yang lainnya. Tertangkaplah olehku, tiga orang adik kelas dengan tampang ketakutan. Satu di antara mereka tampak pucat. Bibirnya terkatup rapat. Tak perlu memicing untuk bisa memastikan bahwa bahunya bergetar.

Dibantu oleh Naruto, aku mendudukan diri. "Apa aku mirip dengan ring basket di matamu?" tanyaku tanpa basa-basi.

Dua dari tiga menyikut satu yang berdiri di antara mereka. Ah, mana kamera saat dibutuhkan? Wajahnya saat ini seperti seorang narapidana yang hendak dihukum mati.

"MAAF!" koor ketiganya, bersujud di lantai.

Terkutuklah Neji yang bisa-bisanya melimpahkan tanggung jawab klub padaku, sehingga aku terbiasa dengan tampang memelas dan tersiksa dari adik kelas maupun teman seangkatan. Kalau menikmati detik-detik ketakutan mereka bisa disebut sinting, menjadi sinting pun aku rela.

Barangkali hantaman bola basket telah membuat otakku mengalami malfungsi sampai berpikiran seperti ini.

"Sasuke!" tegur Naruto. "kau akan membiarkan mereka bersujud terus di lantai demi memohon maaf?"

"Hn." Mungkin aku sudah keterlaluan.

"Mana bisa seperti itu! Kalau perlu minta mereka mengepel lantai ruang klub menggunakan kuas lukis!"

…Atau mungkin tidak.

"KAMI MOHON MAAFKAN KAMI!"

Aku menyuruh mereka untuk berdiri dan melupakan segalanya. Tadi itu aku hanya sedang jahil. Tapi, melihat mereka masih tampak ragu-ragu, akhirnya aku tertawa juga.

"Sudah, sekarang kalian pulang saja!"

Pamit—masih dengan nada bergetar ketakutan, tiga juniorku itu akhirnya meninggalkan UKS. Aku memandang keluar jendela—langsung menatap lekat pada bangunan di seberang dan siluet merah muda yang dengan mudah kutangkap. Pukul enam sore—kuterka. Biasanya pukul enam sore Sakura dan rengrengan Pengurus OSIS bubar.

All of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang