Pandai dalam olahraga, cerdas dalam akademik, tidak banyak tingkah, bertampang tampan pula. Siapa yang cukup bodoh untuk tidak menjadi penggemarku?
Bukannya terlalu percaya diri atau apa. Aku tahu, tidak seperti saat di SMP, tak ada kaum hawa yang meneriakkan namaku setiap aku lewat. Tak ada yang terang-terangan menyatakan perasaannya padaku di tengah koridor. Tak ada yang nekat membobol lokerku dan membuatnya dipenuhi bingkisan hadiah berwarna-warni. Mengingat tahun pertamaku di sekolah ini, tiada waktu tanpa Sakura di sisiku.
Apalagi setelah Naruto memutuskan untuk menganggap kami pasangan suami-istri di depan publik, kaum hawa semakin menjaga jarak denganku. Walau diam-diam mereka masih mencuri pandang dan ber-blushing-ria setiap berpapasan denganku.
Tahun kedua…well, aku sempat mendengar cekikikan nakal dan jeritan a la fangirl di sana-sini. Lokerku juga sempat dipenuhi amplop berbau menyengat. Sumber tertera : anak baru. Tapi, aku terlalu sibuk memikirkan berjuta cara untuk membunuh Hyuuga Neji (yang bisa-bisanya menjadikanku Kapten Basket tanpa menanyakan persetujuanku) tanpa diketahui oleh polisi, untuk sekadar peduli pada keadaan lokerku.
Setelah aku berhenti menghindari Sakura dan menerima fakta—bahwa aku memang seorang laki-laki mesum dan membiarkan anak itu mengganggu waktu tenangku lagi, lokerku kembali bersih. Ah, para gadis berisik itu juga menyisi perlahan.
Sekarang, di awal tahun ketiga, lagi-lagi lokerku penuh oleh amplop dan bingkisan. Semua barang itu kubawa ke ruang klub, dibantu oleh rekan-rekanku—setelah satu rentetan ancaman penambahan jadwal latihan fisik. Setelah beratus-ratus surat cinta dibaca, disimpulkan bahwa mereka semua jatuh cinta padaku gara-gara demonstrasi ekskul tempo hari.
"Bukankah mereka benar-benar manis?" Naruto tertawa kecil.
"Mereka jatuh cinta karena aku terlihat keren saat bermain basket? Karena aku tampan? Apa manisnya hal itu?" Aku mendengus. Itu alasan bodoh, kecuali anggapan bahwa aku tampan. Itu sebuah fakta yang tidak dapat direkayasa. "Kemampuanku tidak mungkin kekal. Mungkin saja aku kecelakaan, atau ada yang lebih hebat dariku."
"Itu salahmu karena terlalu menonjolkan diri, Kapten!" Seorang adik kelas yang tidak kuingat namanya menggelengkan kepala heran. Aku memicing kecil, tertawa dalam hati ketika berhasil membuatnya berjengit takut.
"Aku tidak menonjolkan diri. Kemampuanku saja yang terlalu hebat," tukasku, sambil menyeringai.
"Jangan terlalu besar kepala. Sadarlah, sebentar lagi kau akan pensiun, Kapten!" Naruto menggamparku memakai handuk.
Lalu kenapa kalau aku pensiun? Aku akan tetap keren, kok.
"U-umm… Kapten?" Aku menolehkan kepala. Sesuatu yang hitam berada di tanganku. Kantung plastik? "Kau melewatkan surat yang satu ini."
Aku mengernyit tidak mengerti. Ini hanya sampah bekas bungkus bingkisan, kan? Kenapa dia menyebutnya su—Ahh… Ada sesuatu di bagian dalam kantung plastik itu. Putih warnanya.
Meet me on the rooftop, senpai.
Siapa gerangan yang menuliskan pesan di bagian dalam kantung plastik? Memakai tipe-x pula?
Entah dia kehabisan kertas atau memang kurang kerjaan, aku tidak mengerti.
Suara tawa Naruto lagi-lagi berhasil membuatku merasa dongkol. Dan kenapa anggota yang lain ikut-ikutan tertawa?

KAMU SEDANG MEMBACA
All of Me
FanfictionItachi selalu bilang, jika ada perempuan dan laki-laki bersahabat, salah satunya pasti memiliki perasaan lebih. Aku selalu menyangkal, kami akan bersahabat sampai kapanpun. Tak peduli jika orang-orang bilang kami pasangan yang sempurna. Bertemu kemb...