TWO

219 21 2
                                    

Siang itu, kelas kami sedang belajar Fisika—mata pelajaran kesukaanku. Di tengah pembahasan soal, wali kelas kami mengintrupsi pembelajaran. Katanya, hari itu jadwal Konsultasi Wajib bagi kelas kami. Jadi, tiga orang secara bergantian harus mengunjungi Ruang Konseling.

Aku dan Sakura menjadi siswa terakhir yang mengunjungi tempat terkutuk itu.

Ah... Apa aku belum bilang kalau aku benci Ruang Konseling? Alasannya sederhana, sih. Aku tidak suka kehidupan pribadiku ada yang mengusik. Dan semua guru penghuni tempat terkutuk ini paling senang mengulik kehidupan pribadi siswanya. Mengerikannya lagi, mereka seolah punya keahlian khusus sampai bisa membaca pikiran siswa yang datang.

Datang kemari, aku selalu merasa seperti tersangka tindak kriminal yang sedang diintrogasi. Apalagi kalau saat itu sedang ada masalah yang kupikirkan. Orang-orang psikologi memang mengerikan.

"Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura, ya? Silahkan duduk!"

Kami duduk di sofa empuk ruangan itu, berhadapan dengan Rin-sensei. Beliau memegang sebuah buku yang kuyakini berisi salinan riwayat konselingku maupun Sakura selama di SMP.

"Pertama, Sensei mau tanya, apa cita-cita kalian?"

Huh. Pertanyaan klasik untuk anak baru. Aku mulai bosan mendengarnya.

Sakura yang pertama kali menjawab, "Saya ingin jadi Penulis, Sensei!"

"Ganti cita-cita? Seingatku kau ingin jadi Power Ranger Merah, tuh!" kataku, berusaha menahan tawa saat Sakura merona malu dan mencubit lenganku.

"Forget it already!"

"Mana bisa? Saat itu kau terlihat yakin sekali, Sakura! Oh, apakah alien yang kau ancam di depan kelas tidak muncul juga sampai-sampai kau berubah haluan ingin menjadi Penulis?"

Aku menyeringai puas, saat Sakura menghempaskan wajahnya ke atas meja.

"Lalu, bagaimana denganmu, Sasuke?" Rin-sensei berdeham, senyum geli terpasang di wajahnya.

"Arsitek," jawabku pendek.

"Tidak tertarik mengikuti jejak Ayahmu menjadi Perwira?" Rin-sensei menyimpan buku yang tadi, kali ini menopang dagunya.

Dan berurusan dengan bom, senjata, maupun hal lain yang membahayakan nyawa? Aku ingin hidupku damai, terima kasih.

"Tidak."

"Oke, lanjut! Bagaimana kesan kalian setelah masuk ke sekolah ini?"

"Senang! Suasananya baru, banyak teman baru, banyak ilmu baru, guru-gurunya juga punya cara unik dalam mengajar. Top markotop!" Sakura mengacungkan jempolnya. Sisa-sisa kekesalan gara-gara kugoda tadi sudah tidak terlihat.

"Hn."

Itu artinya 'setuju', kalau kalian tidak mengerti.

"Di kelas? Apa ada anak yang kalian suka atau kebalikannya?"

"Hanya Naruto yang menyebalkan," jawabku spontan.

Rin-sensei tertawa, "Padahal... Tadi, Naruto bilang kau teman terdekatnya di kelas, lho!"

Naruto bilang seperti itu? Aku nyaris merasa bersalah telah mencapnya menyebalkan. NYARIS. Karena sedekat apa pun kami dalam pandangan Naruto, tidak akan menghapuskan fakta bahwa dia memang menyebalkan.

All of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang