9. Begin

706 36 1
                                    

Mark turun dari tangga dengan rambut basah yang sedikit berantakan.

Stella menatap takjub, lalu ia berkata dalam hati, "Tuhan menciptakan fisik yang sempurna, untuk mengimbangi sifat buruknya."

Gerakannya seolah slow motion, Mark terlihat tampan menggunakan pakaian santai. Kaos polos warna putih yang dipadukan dengan celana panjang.

"Mana makanannya?" tanya Mark menatapnya

"Nih!" jawab Stella sambil meletakkan semangkuk sup ayam di meja makan.

Stella menarik kursi untuk duduk dan bersiap menyantap sup ayam. Mark menarik kursi yang akan diduduki Stella.

"Lo mau apa?" Stella mengerutkan dahinya.

"Lo ngga liat apa? Gue mau makanlah!" jawab Stella.

"Siapa yang bolehin lo makan di sini?"

"Apa?" Stella semakin tidak mengerti jalan pikiran Mark.

"Makan di bawah!" ucap Mark.

"Apa?! Lo pikir gue anjing!" Stella marah, ia beranjak ke pantry menuju wastafel dan membuang makanannya.

"Lo ngga lupa sama janji lo 'kan?" Stella terdiam sebentar

"Gue berhenti! Gue ngga bisa diperlakuin kaya gini!" Stella menyerah padahal ini baru sehari ia menjadi pembantunya.

Ia keluar dari rumah Mark, sambil terus mengumpat sepanjang jalan.

'Brengsek, brengsek, brengsek!'

'Sialan, sialan, sialan!'

'F**k u!'

Tiba-tiba hpnya bergetar, tanda ada telpon masuk.

"....."

"Apa?!!" Ia langsung berlari, menghentikan taksi dan menuju ke sebuah tempat.

***

Stella memasuki rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia ingin segera melihat keadaan orang tersebut.

"Stella?" seseorang memanggil namanya.

Stella langsung berlari raut khawatir nampak diwajahnya. "Bagaimana keadaannya?"

Dokter keluar dari ruangan ACCU.

"Maafkan kami, kami sudah berusaha sebisa mungkin tapi Tuhan berkehendak lain."

Sedetik kemudian, suara tangis pecah.

"Sonya, kamu sudah berjanji takkan meninggalkan Ibu." Ibunya menangis sesenggukan tangisnya terdengar sangat pedih.

Stella menatap kosong pintu ruangan tersebut. Menahan mati-matian air matanya agar tak jatuh dan membuat Ibu Sonya semakin sedih.

Ia memegang kuat pundaknya, untuk menguatkan Ibu Sonya. Ia harus merelakan kepergian anaknya.

Malam berganti pagi.

Langit mendung mengiringi pemakamannya. Angin berhembus kencang.

Tampak semua orang berpakaian serba hitam, seorang Ibu tengah menaburkan bunga di atas makam tersebut. Tertera nama Sonya Nevada.

"Gue mau ngomong sama lo, jangan pulang dulu." Stella menoleh ke belakang sebentar lalu menganggukan kepalanya.

Ia menghampiri laki-laki yang memakai kacamata hitam di samping pohon itu.

"Lo mau ngomong apa?" ucap Stella to the point.

Martin melepas kacamatanya, "lo percaya Sonya bunuh diri?"

All About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang