"Gimana-gimana review filmnya, Nge?" Alisa duduk di sebuah kursi plastik hijau. Memutar badan dramatis, langsung menghadapku. "Rizal Mantovani emang dapet uniknya ya di sini?"
Bima Fattan mengambil tempat di samping Alisa (ini kok kesannya mereka berdua mau mewawancaraiku, ya). "Dia mah film sejelek apapun kalau ada Maudynya pasti dibilang bagus!"
"Eh anjir, gue nggak segoblok itu, ya?" Enak aja. Aku cukup profesional hanya untuk menilai sebuah karya. Si Fattan ini kalau ngomong suka nggak ngaca memang.
Yups. Kami baru saja keluar gedung teater (aku memaksa mereka untuk menikmati karya Rumah produksi Tujuh Bintang Sinema---Trinity, The Nekad Traveler---yang di strudarai oleh Rizal Mantovani dan dibantu dengan penulis skenario Rahabi Mandra). Keren abis!
"Coba kasih tahu ke gue, di film mana Maudy aktingnya nggak maksimal?"
Anjrit, aku kelabakan. "Ya ... gimana, ya, Bim. Memang dia nggak pernah main-main kalau akting. Semuanya ngalir, bagus, dan jelas pasti cerdasnya dia ketauan. Udahlah, Boy. Lo harus akuin kalo standar kita itu beda. Jelas. Aku seperti Maudy. Dan kamu ... seleranya sinetron."
Bima mendengus keras.
Aku udah mengumpulkan keberanian buat bilang begitu, dia hanya mendengus. Tahi kucing memang. "Lagian ya. Baca The Naked Traveler aja gue tuh udah dibuat mati tahu nggak. Berasa kayak ... anjrit! Gue karyawan kantoran, meeen! Tapi nggak bisa kayak Trinity yang selalu traveling dengan harga hemat dan fun gitu.
"Berpesta tiga hari di karnaval di Seychelles, lo bayangin deh tuh serunya kayak apa. Terus camping bersama singa di Tanzania, ikut kapal ekspedisi penelitian bawah laut di Pulau Koon, nyobain aktivitas pemompa adrenalin di New Zealand, kebakar matahari setelah siklon di Fiji, sampai ketemu dinosaurus terbesar di dunia di Kanada. GILAAAAA! Gue mau jadi kayak Trinity!" Aku meringis waktu sadar eskpresi kedua teman di depanku. "Sori. Setelah nonton film Maudy, atau The Nekad Traveler, jangan pancing gue buat kasih review, ya? Hasilnya begini. Panjaaaang!"
"Bukan karena ada Hamishnya, kan?" Alisa menggoda. Cuih. Lihat dia kedip-kedip mata gitu bikin aku pengin cakar wajahnya. "Jangan-jangan gara-gara ada Hamish. Sekalian nostalgia sama tetangga yang sulit kau jangkau."
"Najis, Al!" Aku tertawa. "Lagian, ya, Mas Hamish gue mah sukanya yang religi. Berkerudung masya Allah. Kalau Hamish ono kan demennya yang seksi kayak Mbak Merica. Ehsalah, Raisa maksud akoh."
"Makan, makan, makan! Gue laper!" Bima berdiri, menuju stan makanan. Kayak yang udah tahu aja mau pesan apa. "Lo berdua mau makan apa, Nyet?"
"Gue bakso!" Aku menunjuk lebih dulu (for your information, bakso being the first in my heart). Ya gitu, aku baru akan memesan makanan lain saat berada di restoran dan bakso diisolasi. Huft. "Lo apa, Al?"
"Lagi mikir." Mau makan aja mikir keras. FD satu ini memang lumayan tampangnya (kalau kepepet anchor pada nggak bisa atau masalah lain, mukanya Alisa solutif banget). "Di situ ada salad buah nggak ya, Bim?"
Bima langsung melengos. Tanpa menjawab, dia sudah berdiri di depan kasir.
Di depanku, Alisa terkikik. Ia bangkit, mengikuti Bima di belakang. Pasti ujung-ujungnya minum jus buah aja. Udah hafaaaaal!
"Nge, gue mau ngomongin hal random nih." Alisa memangku dagunya di atas tumpukan kedua tangan (aku kadang ngeri kalau dia udah pasang tampang begini). "Lo sering ditanyain kapan kawin nggak?"
Jujur saja, aku sempat mngembuskan napas lega. Tadi kukira dia akan mengatakan 'Gue lagi butuh duit, lo ada enggak?' Sumpah, ya itu horor banget! "Belum. Gue masih dua lapan. Masih muda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Break a Leg! [SUDAH TERBIT]
ChickLit[ CERITA DIPRIVASI ] [ SEBAGIAN PART DIHAPUS ] Angesti seorang Program Director di televisi swasta. Memiliki lingkungan yang super konyol bahkan keluarganya sendiri. Untuk itu, di usianya yang sudah 28 tahun, ia bertekad bisa mendapatkan lelaki seri...