"Programku libur, Ma!"
Aku sudah menjawab lebih dari tiga kali dan Mama masih tetap berteriak dari bawah. Ini kalau bukan karena aku adalah anak berbakti, barangkali Mama sudah menangis karena bentakan dan kalimat sarkasku.
"Emang kalau libur mau dekem di kamar aja?!"
Mengembuskan napas, aku menyibakkan selimut. Bangkit dari kasur (oh ya ampun kakiku bersentuhan dengan dinginnya lantai dan aku lupa meletakkan sandal di mana) demi menemui Mama tercinta. Seperti biasa, ia sedang wara-wiri antara wilayahnya (dapur) dan meja makan. Mengenakan apron pink dan rambutnya sudah ia sanggul rapi.
Heran. Aku nurun siapa sampai Mas KPI bilang kalau aku hanya cantik karena bidikan kamera. Lihatlah, perempuan yang tiga bulan lalu baru bertamah usianya menjadi 54 itu masih terlihat menawan (ya setidaknya di mata Papa) terlepas dari beberapa kerutan di mata dan dahinya (Mama menyangkal ini dan selalu melempar serangan bom untuk mengejekku).
"Aku libur, Ma! Please, aku mau enak-enakan di kasur. Nggak mau keluar kamar. Tolong, aku butuh me time karena kalau enggak sebentar lagi aku bakalan selesai. Mati, Ma. Aku bakalan mati karena stres!"
Mama sama sekali nggak kelihatan terganggu. Tetap asyik entah menuangkan apa di mangkuk dan ... yang kutahu itu susu putih di dalam gelas.
"Ma."
"Iya, iya. Mama denger. Enggak budek. Sana masuk kamar lagi. Gadis kok kelakuan begitu."
Aku mengendikkan bahu, berbalik ke dalam kamar. "Ini sampe kapan gue begini, Gustiiii! Umur dua lapan tapi tiap libur di bawah selimut!" Aku menarik selimut kasar dan menutupkannya sampai ke kepala. "Lama-lama gue ikut take me out nih!"
Jangan mencibirku, please. Atau perempuan yang sedang menertawakan peran yang kuemban dan nasib yang kujalani ini berarti tak waras. Gadis sepertiku patut untuk dibantu dalam menemukan pasangan hidup bukan dicaci karena nggak laku (orang tuaku sendiri yang melakukannya) agar tak semakin gila.
Aku hanya ingin ucapan selamat pagi (buang semua saran untuk datang ke Indomaret san Alfamart karena setiap pagi aku sudah melakukan itu di dekat kantor). Aku juga ingin merasakan berpegangan tangan dan cekaka-cekiki bersama pasanganku di cinema.
Terakhir aku melakukan semua itu saat umurku 25 (damn! Aku sudah terlalu lama sendiri). Semuanya boleh memutar lagu Kunto Aji. Dipersilakan.
Dengan malas, aku menurunkan selimut hingga kepalaku menyembul saat mendengar suara notifikasi. Apapun yang mereka koarkan lewat ponsel pintar itu, sebenarnya aku tidak akan peduli. Sebab, yang hanya ingin kulakukan sekarang adalah mengatukkan kepala ke meja rias atau dinding kokoh itu agar bayangan wajah iklan rokok Mas KPI musnah.
Semuanya seakan aku baru mengalami masa puber dan bertemu dengan pangeran berdarah Arab.
Tetapi Mas KPI lebih dari sekadar darah Arab! Aku pastikan dia memiliki darah Arab, Pakistan, Belanda, Turki, Brazil dan semua negara produsen lelaki tampan. Fiuuh.
Ada sebuah pesan di Twitter. Aku mendesah. Sia-sia sepuluh detik aku mengais tenaga dan waktu. Biasanya, hanya berupa direct messages dari akun tak tentu arah. Dan, biasa juga, aku akan langsung memblok---
"ASTAGFIRULLAH!" Aku langsung duduk. Menjerit kecil karena kepalaku terbentur kepala ranjang. Aku masih bisa lebih sial daripada ini. Jadi, stay calm. Jangan mengumpat. "Farhan Afrian." Aku mengulang nama akun itu berkali-kali. "Farhan Afrian." Menepuk kedua pipi (lumayan kencang sampai menimbulkan bunyi dan terasa cukup panas), aku tersenyum lebar. "GOTCHA!"
Farhan Afriandi: Kamu masih sehat, Angesti?
Me: Kamu mau ngasih obat atau antar aku ke rumah sakit?
KAMU SEDANG MEMBACA
Break a Leg! [SUDAH TERBIT]
Chick-Lit[ CERITA DIPRIVASI ] [ SEBAGIAN PART DIHAPUS ] Angesti seorang Program Director di televisi swasta. Memiliki lingkungan yang super konyol bahkan keluarganya sendiri. Untuk itu, di usianya yang sudah 28 tahun, ia bertekad bisa mendapatkan lelaki seri...